Memang Semi sangat bersemangat menolong Sita begitu pula dengan
Pras. Tapi mereka mengalami jalan buntu. Hari ini Pras dan Semi duduk diwarung
kecil yang berada tepat di depan rumah dimana Anju berada. Sita juga ada
disana, hanya mereka berdua yang bisa melihat Sita. “Saya bisa merasakan Anju
berada sangat dekat tapi sepertinya ada sesuatu yang menghalangi.” Sita berkata
tak yakin.
“mungkin karena rumah itu dijaga dengan ketat. Rasanya sangat
mustahil masuk kedalam. Lihat, rumah itu dijaga puluhan orang dan lagi ada
anjing besar yang berada di teras rumahnya.” Pras menggeleng tak menemukan
jalan keluar. Semi tampak berpikir keras. Ketika pemilik warung meletakkan
pisang goreng dan teh, Semi bertanya pada bapak pemilik warung tersebut.
“Bapak tahu siapa yang tinggal di rumah itu?”
“Yo jelas tahu dek, semua orang disini tahu siapa pemilik rumah
itu. Ada apa toh dek?”
“kami dari Asuransi Pak, mau menawarkan Asuransi kesana.” Bohong
Semi.
“Oh.....ya tapi susah kayak dek. Mereka tidak terima tamu. Bapak
aja yang kadang diminta satpamnya ngantar kopi kadang takut ngeliat anjing –
anjingnya yang gede. Serem dek.” Setelah berkata begitu bapak pemilik warung
itu masuk kembali kedalam.
“sepertinya meski kita mengaku dari asuransi paling jauh kita
hanya sampai didepan pagar lalu diusir.” Semi mengangguk menyetujui perkataan
Pras. Tiba – tiba pintu pagar rumah tersebut terbuka dan mobil BMW hitam
meluncur keluar.
“itu dek pemilik rumah itu. Tuan Baron.” Celetukan pemilik warung
membuat mereka mengikuti arah kemana mobil itu bergerak. Karena belum juga
menemukan jalan keluar, mereka memutuskan untuk pulang saja. Sita terlihat
kecewa tapi dia tahu Semi dan Pras sudah berusaha.
“aku
menyukai malam daripada pagi. Malam membuat bayangan tak lagi tampak, hanya
diri kita sebenarnya, malam juga mendamaikan tubuh yang telah lelah seharian
bekerja.” Anju berkata saat sedang membuaiku. “Tapi malam itu gelap.” Kata ku.
“Malam tak
gelap. Malah malam membuat bintang kelihatan. Lihatlah berratus – ratus bintang
dilangit, kerlipnya selalu indah. Dulu saat aku dijalanan, malam selalu indah
untukku. Walau perutku kelaparan tapi langit penuh bintang selalu membuatku
yakin besok aku akan bangun lagi untuk melihat bintang malam berikutnya.”
“Bagaimana
dengan bulan? Bulan juga bercahaya kan?” kataku sambil menyandarkan kepalaku
dilengan Anju. Anju mengecup pucuk kepalaku.
“Entahlah,
tapi menurutku cahaya bulan tak seterang bintang. Walau bulan lebih besar tapi
cahaya nya seolah redup. Aku lebih menyukai bintang dan karena nya aku juga
menyukai malam. Langit yang disapu hitam lalu perlahan kerlap – kerlip bintang
bermunculan.”
“Anju,
ceritakanlah dongeng tentang bintang.”
“Baiklah.
Dahulu kala, dinegeri nun jauh dari negeri kita tersebutlah seorang pemuda
pengelana. Pemuda tampan ini berkelana demi mencari seorang istri. Bukannya
dinegerinya berasal tak ada wanita, malah banyak. Tapi tak satu pun yang bisa
membuatnya jatuh cinta. Karena dia tahu wanita – wanita itu mencintainya karena
ketampanan dan juga kekayaan orangtuanya. Semakin jauh iya berkelana semakin
tak dia temukan seorang gadis pun yang betul – betul mencintainya. Akhirnya dia
pun lelah dan memutuskan untuk berhenti dan pulang kerumahnya. Dalam perjalanan
pulang dia menemukan seorang gadis yang terduduk sambil menangis. Rasa iba
pemuda itu membuat dia mendekati gadis itu dan bertanya ada apa gerangan? Gadis
itu bercerita bahwa dia baru saja dihina oleh teman – temannya dan tahu lah
pemuda itu mengapa gadis itu dihina. Rupa gadis itu sangat buruk. Hidungnya
besar dengan gigi yang besar pula lalu dikulit wajahnya timbul benjolan –
benjolan besar. Seandainya saja aku bisa mendapat suami yang tampan tentu aku
tak akan dihina mereka, kata gadis itu. Semula sang pemuda mengira gadis itu
tertarik padanya tapi ketika mata gadis itu sama sekali tak menatap wajahnya,
pemuda itu baru tahu kalau bola mata gadis itu berwarna kusam petanda dia tak
bisa melihat dengan jelas.”
“Jadi apakah
pemuda itu menikahi gadis itu?” tanya ku tak sabar mendengar cerita
selanjutnya. Anju mencubit hidungku. “Tidak, tepatnya belum. Pemuda itu
menumpang menginap dirumah gadis itu. Rumah gadis itu kecil dengan Ayah yang
telah tua. Ketika gadis itu pergi kehutan mencari kayu bakar dan juga sayur
mayur, ayah gadis itu bercerita kalau gadis itu adalah gadis yang baik. Dulunya
demi menolong ayahnya yang sekarat dia bersedia memberikan wajah cantiknya
kepada penyihir yang memiliki obat untuk menyembuhkan ayahnya.”
“Penyihir?”
“Penyihir itu seperti dukun tapi dia lebih sakti. Dia bisa melapal kan mantra dan juga bisa meramu obat atau racun. Melihat gadis yang rajin juga tak pernah mengeluh meski memiliki cacat fisik, pemuda itu jatuh hati. Dia pun melamar gadis itu untuk dinikahinya.”
“Penyihir itu seperti dukun tapi dia lebih sakti. Dia bisa melapal kan mantra dan juga bisa meramu obat atau racun. Melihat gadis yang rajin juga tak pernah mengeluh meski memiliki cacat fisik, pemuda itu jatuh hati. Dia pun melamar gadis itu untuk dinikahinya.”
“Apakah
gadis itu berubah jadi cantik kembali?”
“Tidak Sita
sayang. Dia tetap gadis buruk rupa dan suaminya sang pemuda tampan. Mereka
hidup bahagia. Tentu saja banyak yang iri pada siburuk rupa. Betapa
beruntungnya dia. Ada juga yang menyindir kasar bahwa gadis itu menggunakan
guna – guna. Begitu tampankah engkau wahai suamiku sehingga orang – orang mengunjingkan
kita? Tanya siburuk rupa. Apalah arti kemolekan wajah ini? Ini hanya kulit
istriku. Bukankah kamu mencintaiku bukan karena wujud ku? Si istri menggeleng
dan berkata, aku bahkan tak bisa melihat jelas rupamu. Aku hanya melihat
sesosok lelaki yang tulus baik juga mulia, itulah kamu dimataku suamiku. Si
suami tersenyum dan berkata begitu pula yang dilihatnya dari istrinya. Kabar
keberuntungan siburuk rupa sampai kepenyihir yang telah memiliki wajah rupawan
si buruk rupa dulu nya. Dia mengeram kesal karena sang pemuda tampan dulu
pernah menolaknya sekarang malah menikah dengan siburuk rupa. Dengan
kekuatannya sipenyihir menculik si buruk rupa. Ditawannya si buruk rupa dalam
kerangkeng ajaib miliknya. Sang suami tentu tak tinggal diam. Dia mendatangi penyihir
itu. Tak akan ku bebaskan istri mu wahai pemuda bodoh. Akulah sicantik, mengapa
kau nikahi siburuk rupa ini? Penyihir itu berkata dengan marah.
Sebab dia
memiliki hati yang lebih cantik dari mu wahai penyihir jahat. Perkataan pemuda
tampan malah ditertawai penyihir. Kau mau aku membebaskan istri mu? Gampang.
Akan ku bebaskan istrimu jika kau mau menikahiku.
Jangan.
Teriak siburuk rupa. Apalah artinya jika aku hidup tapi suamiku dimiliki wanita
lain. Lebih baik aku mati saja.
Ya, lebih
baik kami mati saja jika kamu tak ingin membebaskan istriku.
Dasar kalian
biadab. Baiklah, akan kukabulkan keinginan kalian. Dengan penuh amarah sang
penyihir mengayunkan tongkatnya kepada sepasang suami istri itu. Seketika tubuh
mereka bercerai burai. Tapi bukan darah atau daging malah kerlip – kerlip
cahaya yang menjadi serpihan tubuh mereka. Perlahan cahaya – cahaya itu terbang
kelangit. Penyihir itu berusaha menangkapnya dengan menggunakan sapu terbang
tapi akibat kecerobohannya dia menabrak gunung dan mati saat itu juga. Cahaya –
cahaya itu akhirnya bersemayam dilangit. Mereka selalu ada di langit, tapi saat
malam saja mereka bisa terlihat, itulah bintang.”
“Ceritanya
sedih. Mereka mati.”
“Hanya tubuh
mereka yang mati, tapi tidak jiwa mereka. Mereka ada dilangit bersama – sama.
Jika Sita melihat langit, lihat lah bintang dan ingatlah kisah mereka, cinta
mereka tetap adadan tak pernah hilang.” Anju lalu mengecup pipiku dan
menyuruhku tidur. Aku pun terlelap dalam pelukan Anju.
Pras menatap Semi yang terlihat mencorat – coret buku. Kekasihnya
tak bisa dibilang cantik tapi Semi memiliki wajah yang manis juga mata yang
bersinar. Pras selalu senang melihat mata Semi apalagi jika Semi menemukan
suatu hal yang membuatnya bersemangat, pasti matanya langsung bersinar. Sebagai
anak tunggal Semi bukan anak manja, dia bisa dibilang dewasa. Pras yang anak
bungsu dari tiga bersaudara malah kadang bisa tak lebih dewasa dari Semi. Tapi
itu lah mereka, Semi yang bersemangat dan Pras yang santai. Tapi Pras juga bisa
bersemangat dan Pras akan mengeluarkan daya upayanya, semua demi Semi.
“Sepertinya kita mesti menyelidiki tentang si Baron itu.” Tiba –
tiba Semi mengangkat kepalanya dan menyampaikan apa yang terlintas diotaknya.
“Maksudnya?”
“Iya, kita harus tahu apa yang disenangi, ditakuti, dibenci dan
semua hal – hal seperti itu. Dengan begitu baru kita bisa menyusun rencana.
Kalau kita tidak tahu apa pun tentang musuh kita, dijamin kita akan kalah
perang.” Semi mengumpamakan seolah mereka sedang berperang. Mau tak mau Pras
mengakui ide Semi boleh juga. Daripada mereka tak bergerak sama sekali, ide
Semi mungkin adalah jalan keluarnya.
“Baiklah, ayo kita selidiki.”
“Yup, ayo kita telanjangi musuh kita.”
“kalau mau menelanjangi, aku bersedia kamu telanjangi loh sayang.
Hehehe” Cengiran Pras dibalas dengan timpukan pulpen yang mendarat dikepala
Pras.
“Mau mu. Week...” Pras tertawa dan mengacak – acak rambut Semi.
Hasil Penyelidikan Semi
Baron Simuktar
Lahir tanggal 15/08/1956. Bintang Leo. Punya
peliharaan 5 ekor Herder, 1 Harimau dan 4 buaya. Ada tahi lalat di hidung
sebelah kanan. Terkenal jahat tapi tak tersentuh polisi. Kabarnya polisi sudah
menjadi kaki tangannya. Anak buahnya banyak, banyak banget. Pembantu dirumahnya
ada 5 orang semuanya gadis muda. Tidak percaya orang luar. Punya satu istri dan
dua orang anak, tapi semuanya tinggal di Singapore. Kabarnya ada simpanan, tapi
belum jelas. Salah satu artis dikabarkan merupakan selingkuhannya. Suka wanita
cantik, suka mengoleksi karya – karya seni, suka berburu, suka dibangga –
banggakan.
Hasil Penyelidikan Prasetyo
Baron Simuktar adalah mafia yang terkenal
tapi tak tersentuh hukum. Tentu uang dan kekuasaanlah penyebabnya. Suka wanita
dan punya peliharaan binatang – binatang mengerikan. Koleksi seni nya banyak,
legal maupun ilegal. Kabarnya pembantu dirumahnya semua pernah ditiduri. Kata
salah seorang pembantunya, asal mau melayani Baron maka uang tak jadi masalah.
Baron tidak pelit tapi jika menolak, maka akan diusir tapi sebelum itu pembantu
itu akan digilir anak buah Baron (belum ada yang melapor kasus ini, menurut si
pembantu dulu pernah kejadian tapi polisi mendiamkan). Tidak suka pada
wartawan. Tidak suka ada yang tak mengenal dirinya.
“sepertinya hasil penyelidikan kita sama. Dia pria mata
keranjang.”
“ya, tapi kita harus bagaimana? Tidak mungkin kita menyewa pelacur
untuk menggoda dia. Bisa – bisa kita yang bakal kena bunuh.” Semi bergidik
ngeri.
“Dekati pembantu yang memberimu info Pras.” Sita tiba – tiba
berkata.
“Hah?maksudnya bagaimana? Kita minta dia kerjasama?” Semi tak
mengerti ucapan Sita begitu juga dengan Pras. “Saat Pras mewawancarainya saya
bisa melihat bahwa dia sebenarnya tidak senang dengan tuannya itu.”
“kamu bisa membaca pikiran orang?” Semi berkata dengan takjub.
“Bisa dibilang begitu tapi tak boleh terlalu sering saya lakukan
karena akan mengurangi energi jiwa ku.” Pras dan Semi mengangguk bersamaan.
Kini mereka telah punya senjata tapi mereka tetap harus menyusun rencana agar
si pembantu mau menolong mereka.
Anti nama pembantu itu dan dia bersedia membantu. Tidak, mereka
tak menceritakan tentang kisah Sita, tapi ketika Pras mengatakan bahwa patung
yang dibeli tuannya adalah barang ilegal, Anti percaya. “Wong, orang jahat
pasti ya semua barangnya juga hasil kejahatan. Kalo gak karena suami saya kerja
jadi bodyguardnya sudah lama saya diperkosa dia. Aku sih mau – mau saja bantu
tapi nanti kalau hilang tiba – tiba, bisa ngamuk dia. Ngeri kalau si Baron
ngamuk.”
“Tenang mbak, mbak cuma perlu mengambil lalu meletakkan pecahan
patung ini di dekat bawah dimana patung itu diletakkan. Nanti dia mengira
patungnya jatuh.”
“Oh iya, iya. Kebetulan tuan Baron baru beli kucing, nanti aku
salahkan saja si kucing. Biar tahu rasa tu kucing, kayak raja aja mesti
dilayani setiap hari.” Rencana pun disepakati. Besok pagi mereka akan bertemu
dipasar tempat biasa Anti berbelanja.
Pasar tentu saja ramai. Orang – orang berlalu lalang, tapi tidak
dengan Semi dan Pras. Mereka menunggu dimuka pasar. Sita juga ikut menunggu.
Perasaannya tidak enak tapi dia diam saja tak ingin Semi dan Pras ikut merasa
tidak enak. Dari jauh mereka melihat Anti berlari mendekati mereka. Ketika
sampai dihadapan mereka, Anti berkata dengan napas ngos – ngosan. “Gawat,
gawat. Patungnya sudah dibuang!.”
“Hah? Kok dibuang? Yang bener mbak?” Semi bertanya dengan kaget.
Anti mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya.
“Tadi pagi – pagi sekali istri dan anak – anaknya pulang, lalu
anak bungsunya masuk kekamar dan menangis ketika melihat patung india itu.
Katanya ada hantunya. Tuan Baron karena
anaknya terus menangis dia lalu menyuruh anak buahnya membuang patung itu. Tadi
aku baru tahu ketika tak melihat patung india itu. Kata suami ku baru saja
dibuang.”
Bersambung............