Hari ini langit cerah tak seperti pertemuanku
dengannya dua minggu yang lalu. Hujan yang lebat waktu itu membuatku terpaksa
berteduh dicafe terdekat. Sial! Hujan selalu membuat taksi digemari orang –
orang dan daripada berebut, aku memilih berteduh sambil menikmati teh hangat.
Saat sedang menghirup aroma harum teh dia tertawa dan berdiri tepat di depanku.
“Masih menjadi penggemar setia teh ya.”
Tawanya yang renyah membuatku tak jadi menyerup teh yang sebenarnya telah
kutiup agar lidah tak membengkak oleh panas. Tanpa ku minta dia langsung duduk
didepanku.
“Bolehkan aku duduk disini?” aku mengangguk
bagai keledai bodoh yang kehabisan kata.
“Coba ku hitung, setahun...em...tiga tahun,
ya tiga tahun kita tak pernah bertemu dan jangan bilang kamu sudah lupa sama
aku ya.” Cengirannya tak berubah dan bagaimana mungkin aku lupa padanya. Aku
balas menyengir, menemukan kata – kata lagi dan meluncurkannya melalui lidah.
“Tentu saja aku tak lupa, bagaimana melupakan
mantan kekasihku.”
“Hahaha.......masih ya, tetap saja menggodaku.
Udah emak – emak loh aku ini, Ky.”
“Kan aku bilang mantan tadi.
Hahaha.....senang saja menggodamu. Kok tumben bisa ada disini?”
“kamu yang tumben kesini. Apa kamu tadi tidak
membaca nama cafe ini?” mendengar pertanyaannya, aku mengerutkan kening,
berpikir. Dan seketika pikiran ku menemukan sasaran.
“Maksud kamu ini cafe....” belum selesai
perkataan ku terucap sempurna dia sudah mengangguk.
“Iya ini cafe kami, Viandra Cafe. Seperti nama putri kami.”
“Iya ini cafe kami, Viandra Cafe. Seperti nama putri kami.”
Tentu saja aku tahu nama anak mereka, karena
setelah dia melahirkan bayi perempuan yang cantik dia langsung meneleponku
memberitahu kabar gembira itu. Aku yang berada di pulau terpisah darinya
langsung memberi saran ketika dia bertanya nama apa yang bagus untuk putrinya.
Viandra, kataku, gabungan antara namanya Vivi dan nama suaminya Andra.
Terdengar biasa tapi dia menyukainya dan lihat lah, nama itu pula yang menjadi
nama cafe miliknya.
“Bagaimana kabar Andra dan mana keponakanku?”
“Andra sedang keluar, ada sedikit urusan
kalau Vian lagi di rumah neneknya, nanti malam setelah tutup cafe baru
kujemput.”
Aku berooh panjang. Dia bertanya dimana aku
selama ini, menghilang dan tak pernah memberi kabar, aku menjawab sibuk dan
banyak pekerjaan. Kami bernostalgia mengenang masa lalu.
Ya, enam tahun yang lalu aku bertemu
dengannya ketika menjadi fotografer freelance di majalah dimana dia juga
bekerja disana. Jangan bayangkan dia sebagai penulis atau editor, bukan, dia
malah bekerja pada bagian finance majalah ini. Jadi setiap aku meminta jatah
fotoku, dia lah yang aku mintai. Pertemuan pertama tanpa kesan, dia terlihat
judes dengan wajah juteknya hanya tersenyum singkat ketika diperkenalkan
denganku. Tapi suatu hari saat baru pulang dari kantor, rupanya kami menaiki
bus yang sama. Di bus itulah terjadi percakapan dan tawanya yang renyah dan
saat itu pula si cupid mengarahkan panahnya tepat kejantungku,
cessss.........menancap sempurna dan aku sadari benar aku telah jatuh cinta
padanya. Ya, jatuh cinta yang berjuta rasanya itu. Entah karena apa, aku tak
bisa menjelaskan. Kami pun bertukar nomor handphone dan malamnya aku mulai
mengsms dia dengan berbagai lelucon.
Aku sempurna mencintainya, bahagia ketika
berjumpa dengannya, jantung memompah semakin cepat ketika makin akrab
dengannya. Umurku ketika itu 20 tahun dan dia lah cinta pertamaku. Jadi mengapa
aku tak menembak nya meminta dia menjadi pacarku? Yang benar saja, nama ku Miki
Alesia dan bisa disimpulkan sendiri mengapa aku tak berani menembaknya bahkan
mengakui perasaan ku padanya.
Setahun lebih aku memendam cinta padanya. Lalu
gosip itu kudengar, berdengung dengan cepat di kantor kami. Aku tak
mempedulikannya karena dia juga tak menceritakan tentang gosip itu. Semula aku
tak percaya, berharap semua itu hanya gosip. Tapi dia datang dan mengajaku
keluar makan siang dan disana lah dia bercerita. Bercerita kalau gosip itu ada
benar dan ada salahnya. Ya, katanya, dia memang menjalin kasih dengan pak Erick
manajer finance di majalah kami dan tidak, dia bukan perusak rumah tangga
orang. Meski Erick telah beristri tapi mereka dalam proses cerai tapi bukan dia
penyebabnya, jauh sebelum mereka menjalin kasih, Erick dan istrinya telah
memutuskan bercerai. Dan ya lagi untuk benar dia mencintai Erick begitu pula
Erick yang mencintainya, dan tidak, dia belum tidur dengan Erick, dia masih
perawan dan dia bersumpah untuk itu. Aku? Apa yang kulakukan. Duniaku runtuh
seketika, aku tersenyum tapi jantungku bagai ditusuk beribu pisau. Aku meminta
dia memikirkan lagi hubungannya dengan Erick dan satu kalimatnya membuatku
yakin kandas sudah harapanku akan cintanya.
“Aku siap dimusuhi seluruh dunia, aku siap.
Aku lebih memilih memiliki dia.” Ya, dia pun sempurna mencintai Erick.
Dimana hatiku? Sudah berserak menjadi
kepingan yang hancur lebur. Aku menangis terisak – isak dikamar kost ku. Tak
peduli makan atau apapun. Tapi besoknya aku tetap pergi kerja, tetap tersenyum
dan ceria bersamanya. Tetap menggoda dan mengatakan aku begitu menyayanginya
dan dia lah kekasihku tapi tentu saja dia menganggap semua yang kukatakan hanya
gurauan. Hanya ulah iseng sahabat tomboynya. Tak tahu kah ia diantara derai
tawa menggodaku aku mengatakan yang sebenarnya? Tapi demi semua sakit yang
kurasakan, aku bahagia ketika melihatnya bahagia. Dia antusias menceritakan
kencannya. Hari – hari ku berlalu dengan segala macam cerita tentang dia dan
Erick. Tentang mamanya yang menentang hubungan mereka, tentang Erick yang
berani mendatangi rumahnya dan menjelaskan semua niat tulusnya pada mama Vivi.
Tentang perceraian Erick yang sudah selesai. Tentang semua hal. Aku runtuh
sekaligus bahagia, bahagia yang bodoh mungkin.
Tepat dua tahun aku mengenal Vivi, hari itu
pula dengan semburat bahagia dia mendatangiku menceritakan kabar bahagia itu
yang merupakan kabar duka cita untukku. Erick sudah resmi melamarnya dan lima
bulan lagi mereka akan menikah. Aku tersenyum dan mengucapkan selamat, ah
betapa munafiknya aku. Kemarin – kemarin aku masih bisa tertawa dan diam – diam
mendoakan mereka segera putus tapi hari ini, ketika mendengar rencana
pernikahan mereka, pupus sudah harapan jahatku. Dan ketika aku ingin menghilang
saja, tawaran itu kudapat. Temanku, fotografer wild life menawariku pekerjaan
di Papua. Majalah online tempat dia bekerja sedang membutuhkan fotografer untuk
membingkai indahnya Papua dalam lensa kamera dan tanpa berpikir dua kali aku
mengiyakan. Tidak mempedulikan larangan Ibu ketika aku menyampaikan berita ini
melalui telepon. “Jangan khawatir Bu, aku akan baik – baik saja” aku bisa
mendengar helaan napas ibu tapi dia megizinkan aku pergi juga. Dia tahu betapa
keras kepalanya aku. Besoknya aku langsung mengundurkan diri. Aku yang sudah
menjadi fotografer tetap tentu saja tidak diizinkan keluar begitu saja tapi
beribu alasan ku berikan agar resign ku diterima. Maka atasanku dengan berat
hati melepasku, seminggu setelah mengajukan surat resign. Vivi menangis, aku
juga. kami berpelukan, pelukan yang tak akan pernah kulupakan. Tangis sedihnya
untukku. Kami berpisah dan aku pun segera terbang ke Papua.
Dia masih sering memberi kabar melalui email
dan mengharap kedatanganku dipernikahannya tapi dengan satu alasan, aku tak
bisa pulang karena terlalu jauh, aku pun tidak datang kepernikahannya. Terakhir
kabar darinya ketika dia melahirkan Viandra. Itu komunikasi terakhir kami.
Kembali ke hari ini, aku menunggu dengan
sabar kereta api yang belum tiba. Duduk menanti diparkiran motor. Dua minggu
yang lalu aku dan Vivi hanya bernostalgia, cinta ku padanya tak pernah hilang.
Ya, sampai hari ini aku masih mencintainya. Cinta yang bahagia melihat dia
bahagia. Bukan cinta yang memiliki. Kulihat sesosok wanita yang kutunggu dari
tadi melambaikan tangan dan berjalan kearahku.
“Udah lama kak?”
“Enggak, palingan cuma lima menit. Yuk.”
Namanya Anita, wanita cantik yang kini
menjadi kekasihku. Kami bertemu di Papua dan dia juga fotografer sama
sepertiku. Tidak, dia bukan pelarianku, dia adalah cinta yang baru. Ketika
cinta ku terhadap Vivi retak dan hancur berkeping – keping, Anita datang
membawa hati yang baru, dan aku juga memberikan cinta yang utuh serta tulus
untuk Anita. Anita adalah lembar baru hidupku dan biarlah Vivi tersimpan aman
sebagai kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar