Senin, 01 April 2013

Perpisahan

Kisah kami telah usai, ya telah usai lima bulan yang lalu ketika ia memilih pergi meninggalkan ku. Meninggalkan luka yang mengangah sakit dan meninggalkan kenangan pahit untuk ku.
"Adik akan pergi." Itu ucapan pertamamu ketika itu. Aku yang bersiap - siap pergi kerja, menoleh padamu.
"Ke kampus? bukannya hari ini adik tidak ada jadwal?" Aku bertanya heran, seingatku hari senin dia biasanya tidak masuk kuliah dan lebih memilih mendekam di kamar. Dia menggelengkan kepalanya.
"Jadi mau kemana? mau sekalian kakak antar?" Lagi - lagi pertanyaanku dijawab dengan gelengan. Dia malah bangkit dan mengambil air. Menenguknya cepat dan melihat lagi kearahku.
"Maaf kak, adik enggak bisa sama kakak lagi. Adik akan pergi." Perkataannya membuatku bingung, dia tak bisa lagi bersamaku dan akan pergi, jadi.....
"Adik mau putus dari kakak?" Dia mengangguk dan sebongkah batu jatuh tepat dihatiku. Tarikan napas dan helaan napas jadi berat.
"Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang sanggup keluar dari mulutku. Dia memalingkan wajahnya. Tak mau menatapku. "Ini bukan salah kakak." Jawaban klise dan aku tak mau mendengar itu. Sepertinya dia tahu, dia meneruskan perkataannya. "Adik menemukan orang lain."
"siapa?" Tanyaku seketika. "Kakak tidak mengenalnya. Dia....teman baru di kampus. Adik jatuh cinta padanya."
"Apakah adik tak lagi mencintai kakak?"
"Bukan tak lagi mencintai, tapi........adik menyayangi kakak dan adik tak lagi bisa membedakan apakah itu rasa cinta atau sayang atau membutuhkan. Adik hanya merasa terbiasa dengan adanya kakak. Tapi adik kehilangan rasa akan debaran jatuh cinta."
"Tak mungkin bisa merasakan jatuh cinta berulang - ulang. Bukankah itu berarti adik harus mencari cinta yang baru dan baru lagi terus menerus. Apakah itu yang adik ingin lakukan?" Aku duduk di kursi. ku lirik arloji ditanganku. Sudah pukul delapan dan berarti kalau lima menit lagi aku tak berangkat, aku bakal telat tiba di kantor.
"Tidak, adik bukan ingin seperti itu. Tapi untuk saat ini, itulah yang adik rasakan."
"Jadi adik lebih memilih bersamanya daripada bersama kakak?" Anggukan nya sama sekali tak membuatku semakin lega, aku menghela napas. Tak tahu harus berkata apalagi.
"Maaf kak."
"Adik belum tentu bahagia bersamanya. Pikirkan lah lagi." Aku masih berusaha mengyakinkannya. Tapi dia begitu teguh dengan pendiriannya. Dan sebelum aku pergi ke kantor, dia masuk kekamar dan membawa kopernya. Rupanya semalam tanpa sepengetahuanku dia sudah mempersiapkan semuanya. Dia pamit dan sekali lagi meminta maaf. Dia pergi dan aku masih mematung. Hari itu aku tidak masuk kantor.

Lima bulan yang lalu setelah kepergiaannya aku gigih mencarinya. Menungguinya di kampus, mencoba mengyakinkannya lagi akan kebersamaan kami. Aku juga berjumpa dengan wanita yang telah merebutnya dari sisinya. Dnegan marah wanita itu bilang aku jangan lagi mendekati pacarnya. Dulu aku lah yang terlalu dingin dan mengacuhkannya begitu saja, jadi jangan lagi berharap agar dia kembali padaku. Itu perkataan wanita itu dan dia hanya diam. Selama sebulan penuh aku tak menyerah. Mengirimnya sms, menghubunginya, mencarinya dan terus, terus berusaha. Tapi dia sama sekali tak membalas sms ku atau mengangkat teleponku. Terakhir kuhubungi, nomornya telah tak aktif lagi. Dia pun tak ada dimana - mana lagi. Di kampus dia tak pernah terlihat lagi. Kata temannya dia telah lama tak masuk kuliah. Aku kehilangan jejaknya. Sebulan dan aku putus asa. Pekerjaanku kena imbas, kacau sekacau hatiku. Boss marah besar dan mendampratku habis - habisan. Memberiku surat teguran dan kalau aku masih kacau dia tak segan - segan memecatku walau aku telah sepuluh tahun lebih berjasa padanya.

"Sudahlah, jangan seperti ini kawan. Aku yang sedih melihatmu begini." Sahabatku menangis melihat keadaanku.
"aku bingung harus bagaimana. Aku sengsara kawan. Rasanya hidupku selesai begitu saja."
"Sudah, sudah. Ku mohon bangkitlah. Kamu akan benar - benar mati kalau begini terus. Ingat bukan hanya dia hidupmu, masih ada keluargamu, masih ada aku sahabatmu."
"Tapi......." Sahabatku tak menunggu jawabanku, dia langsung menarik tanganku dan membawaku pergi. Pergi kesuatu tempat yang aku bahkan tak tahu untuk apa. Kami sampai di suatu rumah kecil dengan perkarangan luas. Tampak disitu anak - anak yang......ya ampun, mereka semua cacat. Tapi tak ada semburat kesedihan diwajah mereka. Mereka malah terlihat sangat ceria.
"Lihat anak - anak itu. Mereka cacat tapi mereka ingin hidup. Bagi mereka cacat bukan penghalang. Kamu lihat anak yang memakai kursi roda itu, yang rambutnya agak panjang. Dia juara olympiade Fisika. Lalu anak perempuan kecil yang memakai tongkat itu, dia penulis berbakat. Cerpennya sudah banyak dicetak di majalah anak - anak. Dan bukan hanya mereka berdua, tapi semua anak - anak ini berbakat. Cacat bukan pilihan mereka tapi mereka juga tak menjadikan itu alasan agar hidup mereka terpuruk." Setelah melihat semua itu, sahabatku membawaku pulang. Dan tak berkata apalagi sepanjang perjalanan pulang. Dia tahu aku pasti mengerti apa tujuannya membawaku kesana dan terima kasih teman untuk membuka mataku.

Setelah melihat panti asuhan yang merawat anak - anak cacat, aku bangkit kembali. Berusaha melupakan kenangan pahit walau susah. Aku bekerja dengan tekun juga jadi rajin berkunjung ke panti asuhan itu. Sahabatku rupanya adalah salah satu pengurus panti itu. Dan baru sekarang aku tahu. Betapa aku telah terpaku pada duniaku sendiri hingga mengabaikan semua hal. Menata ulang hidupku kembali. Mengosongkan rumah kontrakan, pindah kerumah kontrakan yang lebih kecil. Lebih menghargai hidupku. Menghapus semua jejak tentangnya agar tak lagi terpuruk dalam kesedihan.

Lalu hari ini tiba, dia kembali dengan linangan air mata. Meminta maaf padaku dan berucap menyesal telah meninggalkan ku, semua yang telah dia lakukan hanya terdorong emosi sesaat. Tapi bukankah seharusnya kata - kata itu dia ucapkan lima bulan yang lalu. Aku menggeleng. Sudah terlambat. Bukan karena aku pendendam, aku sudah memaafkannya. Dia terus menangis. Sahabatku juga disitu. Sahabatku diam, tak berkata apa. Terlihat jelas kesedihan diwajahnya. Semakin lama aku disini semakin tak rela aku pergi. Ya, semua telah terlambat. Semalam setelah lembur sampai larut malam demi mengejar deadline, aku mengendarai mobil dengan tubuh lelah. Sampai tak sadar lampu telah berubah menjadi merah, aku terus menyetir dan sebuah sepeda motor melintas tepat dihadapanku. Aku kaget dan membanting setir. Mobil ku berputar oleng dan menabrak pembatas jalan. Mobilku hancur begitu pula diriku. Aku tewas seketika. Dia dan sahabatku masih belum beranjak dari kuburanku, padahal para pelayat telah lama pergi.
Sudah terlambat dan aku harus pergi sekarang, jiwaku bukan milik dunia ini lagi sekarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar