Senin, 10 Juni 2013

Pelarian Alenca dan Bianca



Bianca memandangi kertas yang sudah lusuh ditangannya. Dikertas itu terdapat foto seorang wanita dengan tulisan dicari. Perlahan dua butir tetes airmata turun membasahi pipi Bianca.
“Buat apa kamu menangisi orang yang sudah mati.” Suara itu mengagetkan Bianca. Segera dia hapus airmatanya dan melipat kertas yang dipegangnya tadi dan dimasukkan kedalam saku. Dia tak ingin, Alenca, saudari kembarnya merebut kertas itu dan mengoyaknya.
“Dia belum mati dan kamu tahu itu.”
“Dia sudah mati! Mau berapa kali ku bilang hah? Mau sampai kapan kamu begini? Apa tidak cukup semua yang dia lakukan untuk menyakiti mu? Kita pindah sampai sejauh ini bukan agar kamu bisa mengenang dia terus menerus.” Alenca marah dan Bianca menunduk kan kepalanya. Kalau membicarakan dia pasti Alenca selalu marah.
“maaf.” Suara Bianca seperti cicit tikus, nyaris tak terdengar. Alenca mendengus kesal lalu pergi meninggalkan Bianca.

Sudah empat bulan berlalu mereka pindah ke kota baru ini. Kota besar yang terlalu sibuk untuk mencari tahu siapa mereka. Kota yang tak mempedulikan siapa pun. Alenca suka suasana seperti ini. Setidaknya tidak akan ada yang bertanya mengapa mereka pindah ke kota ini atau siapa dia yang selalu dikenang Bianca. Dia, dia yang tak akan pernah lagi Alenca sebut namanya. Wanita jahat yang sangat Alenca benci. Dan Alenca makin frustasi melihat Bianca yang tak bisa melupakan dia. Betapa jahatnya wanita itu pada Bianca tapi tetap saja Bianca tak bisa melepaskan dirinya dari dia.
“Dia bagian diriku Al, dia tak akan bisa ku singkirkan dari pikiranku.” Bianca meratap sedih.
“Tidak. Kamu bodoh. Coba lihat apa yang dia lakukan padamu. Bisa – bisanya dia menjual tubuhmu pada lelaki keparat dan perempuan bejat itu. Dan kamu masih memikirkannya?”
“Jangan ungkit itu! Dia hanya butuh uang, aku tahu dia terpaksa menjualku.”
“Omong kosong. Bian, kapan kamu akan sadar? Dia itu jahat. Tidak sepantasnya dia hadir dihidup kita. Dia itu bukan siapa – siapa. Kamu bodoh kalau terus – terusan mengingat dia.”
“Tapi Al, dia....”
“Sudah! Cukup. Aku tak mau lagi mendengar apa pun tentang dia.” Alenca menggebrak meja dan Bianca terdiam. Selalu, pertengkaran yang terus berulang.

Mimpi malam yang kesekian. Bianca bermimpi hal yang sama terus menerus. Darah segar membasahi seprei putih. Alenca menatap dengan bengis ke pria yang telah memperkosanya. Pria itu tergeletak tak berdaya, masih dalam keadaan bugil.
“ayo pergi!” teriak Alenca, Bianca yang masih syok menurut saja ketika tangannya ditarik Alenca. Alenca memakaikan pakaian ketubuh Bianca.
“Kita tinggalkan dia disini. Biar dia yang jadi tersangka pembunuhan ini.” Kata Alenca lagi.
“Tapi....kita tak mungkin meninggalkan dia. Aku butuh dia Al.”
“Dengarkan aku, besok pagi pelayan hotel akan menemukan mayat lelaki bajingan ini. Jika kita tak lari, kita yang akan dipenjara. Biar dia yang menjadi tertuduh karena orang – orang menyaksikan dia bersama lelaki ini sebelum menyerahkan tubuhmu pada lelaki bajingan ini. Sudah cukup Bian, sudah cukup kamu dipermainkan dia. Dia tak mencintaimu, dia memanfaatkan mu. Kita pergi sekarang juga.” Perkataan tegas Alenca dengan terpaksa dituruti Bianca. Pelarian yang tak berujung dan ketakutan terus menerus. Mimpi yang terus berulang dan membuat keringat dingin menetes ketika Bianca bangun.

Pelarian yang sempurna menurut Alenca. Dia mengganti penampilannya begitu pula dengan Bianca. Menyuruh Bianca yang pendiam tinggal di apartemen kecil yang mereka sewa dan dia mencari pekerjaan. Bukan hal sulit mencari kerja dikota besar seperti kota ini. Asal mau bekerja apa saja. Alenca sekarang bekerja sebagai pramusaji di restoran dan pekerjaannya cukup menyenangkan. Teman – teman kerjanya juga menyenangkan. Mereka sering mengajak Alenca untuk pergi jalan – jalan setelah pekerjaan mereka selesai, kadang Alenca ikut tapi lebih sering Alenca menolak. Ia teringat Bianca yang sendirian dirumah. Walau telah menjalani kehidupan baru, tetap saja Alenca merasa was – wa ketika bertemu dengan polisi. Rasa cemas itu belum mau hilang sampai sekarang.

Bianca mengintip dari balik tirai jendela. Alenca sudah tertidur lelap tapi Bianca masih terjaga. Takut untuk tidur dan memimpikan hal yang sama. Malam selalu Bianca habiskan untuk melihat kejalan, mengawasi satu dua orang yang pulang dari pesta di night club atau pengemis yang berjalan tak tentu arah. Bianca tak berani berharap dia akan datang menjumpai mereka. Alenca akan marah jika Bianca berpikir seperti itu. Bianca sangat tergantung pada Alenca. Meski Bianca lebih tua beberapa menit dari Alenca, tapi Alenca lebih pemberani sedangkan Bianca lebih pendiam dan tertutup.
“Bian, tidurlah. Kalau kamu tak tidur, besok aku akan kecapekan waktu pergi bekerja.”
“Kamu tidur saja duluan.”
“Kamu pasti tahu aku tak akan bisa tidur kalau kamu masih terjaga.” Alenca melirik Bianca yang masih memandang keluar. Bianca menghela napasnya. Lalu berjalan naik ke atas tempat tidur. Menarik selimut dan berbaring disamping Bianca. Dia tak ingin ribut lagi dengan Alenca. Dipejamkannya matanya. Berusaha untuk tidur. Alenca juga kembali menutup matanya.

Kecerobohan Alenca akhirnya memutuskan jalan pelarian mereka. Karena tak punya uang lagi sedangkan obat Bianca harus ditebus, Alenca menggunakan kartu kredit dia yang mereka curi. Polisi pun berhasil mengendus pelarian mereka. Maka tak perlu menunggu lama, polisi bergerak. Alenca yang baru akan berangkat kerja terkejut ketika polisi datang mengetuk apartemennya. Lari pun tak ada jalan lagi. Apartemen mereka sudah dikepung dari berbagai arah. Alenca mengumpat marah ketika tangannya dan tangan Bianca diborgol polisi.
“Nona Bella, anda ditahan atas kasus pembunuhan. Segala perkataan anda bisa menjadi bukti. Anda berhak didampingi pengacara.”
“Namaku bukan Bella, namaku Alenca dan dia Bianca.” Alenca mendesis marah. Para polisi saling memandang heran. Tapi mereka tetap menyeret wanita yang mereka tangkap. Alenca terus saja mengumpat dan menyuruh Bianca untuk tak menangis. Polisi terlihat kebingungan.
“Dia bicara sendiri?” salah satu polisi terlihat bertanya pada temannya dan temannya mengangkat bahu.

“Yang mulia, sebagai pembela dari saudari Bella saya mengajukan untuk mencabut tuduhan terhadap nona Bella atas kasus pembunuhan saudara Roki. Seperti yang mulia lihat, nona Bella memiliki penyakit mental dan dia seharusnya dimasuk kan ke rumah sakit jiwa untuk memulihkan mentalnya. Boleh dikatakan pembunuh yang sebenarnya adalah kepribadian lain nona Bella, bernama Alenca. Dari kesaksian dokter Agus dan dokter Tika, Bella datang dari desa untuk mencari pekerjaan di kota, tapi dia ditipu. Dia terpaksa, maaf, menjual dirinya. Lalu muncul kepribadiannya yang lain bernama Bianca yang pendiam dan merasa tersakiti karena harus menjual diri, dan Alenca muncul berikutnya. Merasa marah pada diri sendiri karena harus menjual tubuh dan terakhir melakukan pembunuhan.” Pembela melihat kearah wanita tertuduh yang sekarang duduk dengan memakai baju khas rumah sakit jiwa. Tangan terikat. Rambut awut – awutan, pandangan matanya kosong. Dia tak mempedulikan orang – orang dipengadilan, kadang ia mengumpat marah, kadang malah terlihat sedih dan ketakutan. Alenca mendengus kesal mendengar kata rumah sakit jiwa, sedangkan Bianca begitu ketakutan melihat banyak orang yang melihat mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar