Bianca memandangi kertas yang sudah lusuh
ditangannya. Dikertas itu terdapat foto seorang wanita dengan tulisan dicari. Perlahan
dua butir tetes airmata turun membasahi pipi Bianca.
“Buat apa kamu menangisi orang yang sudah
mati.” Suara itu mengagetkan Bianca. Segera dia hapus airmatanya dan melipat
kertas yang dipegangnya tadi dan dimasukkan kedalam saku. Dia tak ingin,
Alenca, saudari kembarnya merebut kertas itu dan mengoyaknya.
“Dia belum mati dan kamu tahu itu.”
“Dia sudah mati! Mau berapa kali ku bilang
hah? Mau sampai kapan kamu begini? Apa tidak cukup semua yang dia lakukan untuk
menyakiti mu? Kita pindah sampai sejauh ini bukan agar kamu bisa mengenang dia
terus menerus.” Alenca marah dan Bianca menunduk kan kepalanya. Kalau membicarakan
dia pasti Alenca selalu marah.
“maaf.” Suara Bianca seperti cicit tikus,
nyaris tak terdengar. Alenca mendengus kesal lalu pergi meninggalkan Bianca.
Sudah empat bulan berlalu mereka pindah ke
kota baru ini. Kota besar yang terlalu sibuk untuk mencari tahu siapa mereka. Kota
yang tak mempedulikan siapa pun. Alenca suka suasana seperti ini. Setidaknya tidak
akan ada yang bertanya mengapa mereka pindah ke kota ini atau siapa dia yang
selalu dikenang Bianca. Dia, dia yang tak akan pernah lagi Alenca sebut
namanya. Wanita jahat yang sangat Alenca benci. Dan Alenca makin frustasi
melihat Bianca yang tak bisa melupakan dia. Betapa jahatnya wanita itu pada
Bianca tapi tetap saja Bianca tak bisa melepaskan dirinya dari dia.
“Dia bagian diriku Al, dia tak akan bisa ku
singkirkan dari pikiranku.” Bianca meratap sedih.
“Tidak. Kamu bodoh. Coba lihat apa yang dia
lakukan padamu. Bisa – bisanya dia menjual tubuhmu pada lelaki keparat dan
perempuan bejat itu. Dan kamu masih memikirkannya?”
“Jangan ungkit itu! Dia hanya butuh uang, aku
tahu dia terpaksa menjualku.”
“Omong kosong. Bian, kapan kamu akan sadar? Dia
itu jahat. Tidak sepantasnya dia hadir dihidup kita. Dia itu bukan siapa –
siapa. Kamu bodoh kalau terus – terusan mengingat dia.”
“Tapi Al, dia....”
“Sudah! Cukup. Aku tak mau lagi mendengar apa
pun tentang dia.” Alenca menggebrak meja dan Bianca terdiam. Selalu,
pertengkaran yang terus berulang.
Mimpi malam yang kesekian. Bianca bermimpi
hal yang sama terus menerus. Darah segar membasahi seprei putih. Alenca menatap
dengan bengis ke pria yang telah memperkosanya. Pria itu tergeletak tak
berdaya, masih dalam keadaan bugil.
“ayo pergi!” teriak Alenca, Bianca yang masih
syok menurut saja ketika tangannya ditarik Alenca. Alenca memakaikan pakaian
ketubuh Bianca.
“Kita tinggalkan dia disini. Biar dia yang
jadi tersangka pembunuhan ini.” Kata Alenca lagi.
“Tapi....kita tak mungkin meninggalkan dia. Aku
butuh dia Al.”
“Dengarkan aku, besok pagi pelayan hotel akan
menemukan mayat lelaki bajingan ini. Jika kita tak lari, kita yang akan
dipenjara. Biar dia yang menjadi tertuduh karena orang – orang menyaksikan dia
bersama lelaki ini sebelum menyerahkan tubuhmu pada lelaki bajingan ini. Sudah cukup
Bian, sudah cukup kamu dipermainkan dia. Dia tak mencintaimu, dia memanfaatkan
mu. Kita pergi sekarang juga.” Perkataan tegas Alenca dengan terpaksa dituruti
Bianca. Pelarian yang tak berujung dan ketakutan terus menerus. Mimpi yang
terus berulang dan membuat keringat dingin menetes ketika Bianca bangun.
Pelarian yang sempurna menurut Alenca. Dia mengganti
penampilannya begitu pula dengan Bianca. Menyuruh Bianca yang pendiam tinggal
di apartemen kecil yang mereka sewa dan dia mencari pekerjaan. Bukan hal sulit
mencari kerja dikota besar seperti kota ini. Asal mau bekerja apa saja. Alenca sekarang
bekerja sebagai pramusaji di restoran dan pekerjaannya cukup menyenangkan. Teman
– teman kerjanya juga menyenangkan. Mereka sering mengajak Alenca untuk pergi
jalan – jalan setelah pekerjaan mereka selesai, kadang Alenca ikut tapi lebih
sering Alenca menolak. Ia teringat Bianca yang sendirian dirumah. Walau telah
menjalani kehidupan baru, tetap saja Alenca merasa was – wa ketika bertemu
dengan polisi. Rasa cemas itu belum mau hilang sampai sekarang.
Bianca mengintip dari balik tirai jendela. Alenca
sudah tertidur lelap tapi Bianca masih terjaga. Takut untuk tidur dan memimpikan
hal yang sama. Malam selalu Bianca habiskan untuk melihat kejalan, mengawasi
satu dua orang yang pulang dari pesta di night club atau pengemis yang berjalan
tak tentu arah. Bianca tak berani berharap dia akan datang menjumpai mereka. Alenca
akan marah jika Bianca berpikir seperti itu. Bianca sangat tergantung pada
Alenca. Meski Bianca lebih tua beberapa menit dari Alenca, tapi Alenca lebih
pemberani sedangkan Bianca lebih pendiam dan tertutup.
“Bian, tidurlah. Kalau kamu tak tidur, besok
aku akan kecapekan waktu pergi bekerja.”
“Kamu tidur saja duluan.”
“Kamu pasti tahu aku tak akan bisa tidur
kalau kamu masih terjaga.” Alenca melirik Bianca yang masih memandang keluar. Bianca
menghela napasnya. Lalu berjalan naik ke atas tempat tidur. Menarik selimut dan
berbaring disamping Bianca. Dia tak ingin ribut lagi dengan Alenca. Dipejamkannya
matanya. Berusaha untuk tidur. Alenca juga kembali menutup matanya.
Kecerobohan Alenca akhirnya memutuskan jalan
pelarian mereka. Karena tak punya uang lagi sedangkan obat Bianca harus
ditebus, Alenca menggunakan kartu kredit dia yang mereka curi. Polisi pun
berhasil mengendus pelarian mereka. Maka tak perlu menunggu lama, polisi
bergerak. Alenca yang baru akan berangkat kerja terkejut ketika polisi datang
mengetuk apartemennya. Lari pun tak ada jalan lagi. Apartemen mereka sudah
dikepung dari berbagai arah. Alenca mengumpat marah ketika tangannya dan tangan
Bianca diborgol polisi.
“Nona Bella, anda ditahan atas kasus
pembunuhan. Segala perkataan anda bisa menjadi bukti. Anda berhak didampingi
pengacara.”
“Namaku bukan Bella, namaku Alenca dan dia
Bianca.” Alenca mendesis marah. Para polisi saling memandang heran. Tapi mereka
tetap menyeret wanita yang mereka tangkap. Alenca terus saja mengumpat dan menyuruh
Bianca untuk tak menangis. Polisi terlihat kebingungan.
“Dia bicara sendiri?” salah satu polisi
terlihat bertanya pada temannya dan temannya mengangkat bahu.
“Yang mulia, sebagai pembela dari saudari
Bella saya mengajukan untuk mencabut tuduhan terhadap nona Bella atas kasus
pembunuhan saudara Roki. Seperti yang mulia lihat, nona Bella memiliki penyakit
mental dan dia seharusnya dimasuk kan ke rumah sakit jiwa untuk memulihkan
mentalnya. Boleh dikatakan pembunuh yang sebenarnya adalah kepribadian lain
nona Bella, bernama Alenca. Dari kesaksian dokter Agus dan dokter Tika, Bella
datang dari desa untuk mencari pekerjaan di kota, tapi dia ditipu. Dia terpaksa,
maaf, menjual dirinya. Lalu muncul kepribadiannya yang lain bernama Bianca yang
pendiam dan merasa tersakiti karena harus menjual diri, dan Alenca muncul
berikutnya. Merasa marah pada diri sendiri karena harus menjual tubuh dan
terakhir melakukan pembunuhan.” Pembela melihat kearah wanita tertuduh yang
sekarang duduk dengan memakai baju khas rumah sakit jiwa. Tangan terikat. Rambut
awut – awutan, pandangan matanya kosong. Dia tak mempedulikan orang – orang dipengadilan,
kadang ia mengumpat marah, kadang malah terlihat sedih dan ketakutan. Alenca
mendengus kesal mendengar kata rumah sakit jiwa, sedangkan Bianca begitu
ketakutan melihat banyak orang yang melihat mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar