“Kamu tahu tidak mengapa aku memelihara
kucing hitam?” Dia bertanya sambil mengendong kucing kecil berwarna hitam
legam. Kucing yang semula tak kusetujui untuk dipelihara. Aku tahu dia pecinta
kucing dan aku juga menyukai kucing tapi tidak dengan kucing hitam. Kucing yang
menurut mitos adalah kucing pembawa sial. Aku menggeleng, lebih karena malas
menanggapi perkataannya.
“Kalau kamu ninggalin aku dan aku mati,
maka jiwa ku akan masuk kedalam tubuh kucing ini. Lalu aku yang sudah menjadi
kucing akan mendatangimu.” Dia berkata dengan wajah serius. Aku menatapnya.
“Sinting.” Hanya itu ucapanku tapi dia
malah tertawa terbahak – bahak.
Sembilan tahun telah berlalu dan aku
tiba – tiba teringat dengan kata – katanya ketika Bumi, anakku membawa seekor
kucing hitam dalam gendongannya.
“Ma, lihat kucing ini. kasihan kakinya
luka.” Bumi mengangkat kucing hitam itu agar aku bisa melihat. Telinga kiri
yang memiliki bekas sompel membuatku terkesiap. Sama persis seperti kucing
miliknya. Mungkin hanya kebetulan. Aku membatin.
“sayang obati setelah itu kasih makan.
Tapi tidak boleh dipelihara ya.”
“Tapi kan kasihan Ma.”
“Papamu kan alergi kucing sayang.” Aku
mengelus kepala anakku. Dia mengangguk mengerti lalu membawa kucing itu
kebelakang rumah.
Jauh sebelum aku menikah, aku dan dia
adalah sepasang kekasih yang bahagia. Berkenalan didunia maya lalu berlanjut
didunia nyata. Ah ya, biar kuperjelas, aku pecinta wanita jadi dia adalah
wanita tentu saja. Namanya, ah...sepertinya tak perlu kusebutkan. Cukup hanya
menjadi kenanganku saja. Dia sudah hilang, sembilan tahun yang lalu. Seminggu
sebelum pernikahanku. Pernikahan yang mungkin batal kalau saja dia tidak
menghilang. Tapi mungkin ini yang terbaik. Apa yang akan dikatakan keluargaku
jika aku malah memilih perempuan dibanding pria baik hati yang bersedia
menerimaku meski dia tahu masa laluku.
“Jangan mencoreng nama keluarga ini.
Kalau kamu tidak memikirkan Mama dan Papa, pikirkanlah adik – adikmu. Jangan
egois.” Itu perkataan Mama yang membuatku terduduk diam kala aku ingin kabur.
Mungkin dia marah saat aku memilih memutuskannya. Dia yang posesif tentu tidak
mau menerima hal itu. Menghilang, ya mungkin itu lebih baik untuknya dan juga
untukku.
Suami ku pulang dan langsung bersin –
bersin. Sepertinya Bumi masih belum mengembalikan kucing hitam itu kejalan.
“Padahal tadi dikantor saya baik – baik
saja. Kok tiba – tiba bersin ya?”
“Mungkin gara – gara bulu kucing yang
dibawa Bumi tadi, Bang. Bumi, sayang...” Anakku muncul saat kupanggil dan
kucing hitam ini malah masih dalam gendongannya. Bersin suamiku makin menjadi.
“Sayang, kan Mama sudah bilang kalau
kucing itu mesti sudah dikembalikan ke jalan. Lihat Papa jadi bersin – bersin.”
“Tapi Bumi kasihan, Ma. Milo jalannya
masih pincang.” Aduh, sekarang kucing itu malah sudah diberi nama. Aku segera
membawa Bumi ke teras sebelum suamiku marah.
“Dengar sayang, bagaimana kalau kita
titip kucing ini di Pos Pak Supri. Tapi Bumi janji ya tidak boleh membawa
kucing nya kedalam rumah dan kalau mau masuk ke rumah, Bumi harus membersihkan
diri dulu. Biar bulunya enggak nempel dibaju Bumi.” Aku mencari solusi. Anakku
tentu tidak akan melepas kucing itu begitu saja. Bumi langsung tersenyum senang
dan menganggukkan kepalanya. Tapi aku melihat sesuatu yang aneh. Kucing itu
menatapku. Tatapan yang tajam. Ah, mungkin hanya bayanganku saja.
Semenjak itu kucing hitam yang kini
diberi nama Milo menjadi peliharaan anakku. Semula suamiku tidak setuju tapi
ketika Bumi menangis saat Suamiku menyuruh Pak Udin, supirnya untuk membuang
kucing itu akhirnya suamiku mengalah. Entah mengapa aku merasaka keterikatan
terhadap kucing hitam itu. Saat aku lewat di os Pak Supri, kucing itu selalu
mengeong. Bukan suara meongan yang biasa tapi suara yang menyayat hati.
“Suara kucing nya aneh ya Pak.” Aku
bertanya pada Pak Supri tapi satpamku itu malah mengernyit heran mendengar
pertanyaanku.
“Enggak ah Bu. Biasa saja. Mungkin karena
Ibu tidak pernah melihara kucing.” Aku tidak membalas ucapan Pak Supri karena
kucing itu sekarang malah menatapku tajam.
Malam itu aku bermimpi. Aku berada dalam
ruang yang gelap tapi aku bisa melihat kucing hitam itu. Dia menatapku lalu
mengeong, suara yang begitu menyayat hati. Lalu dari kedua bola matanya keluar
airmata. Aku terkesiap dan terbangun. Mimpi aneh. Bulu kudukku meremang. Tidak itu
hanya sekedar mimpi, aku berusaha mengyakinkan hatiku.
Kedatangan Mama yang tiba – tiba sama
sekali tidak membuat hatiku makin tenang. Mama bukan tipe Ibu yang lembut dan
menenangkan putrinya. Mama keras dan harga dirinya lebih penting daripada
kebahagian anaknya.
“Kata Andy akhir – akhir ini kamu sering
melamun. Dia takut kamu banyak pikiran jadi meminta Mama menemanimu. Ada apa?
Jangan bilang kamu melakukan hal itu lagi.” Hal itu yang dimaksud Mama tanpa
perlu beliau ucapkan pun aku paham.
“Tidak Ma. Aku sudah memiliki Andy dan
Bumi. Aku tidak berhubungan lagi dengan wanita mana pun.” Aku menatap Mama
dengan jengkel tapi Mama sepertinya tidak peduli.
“Syukurlah kalau begitu. Cukup sekali
kamu hampir menghancurkan nama keluarga kita. Ingat ini Rosa, Andy itu pria
yang baik. Dia mau menerimamu meski kamu itu ‘sakit’! jadi jangan macam –
macam.” Aku memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mama. Dia selalu
menganggap apapun yang keluar dari mulutnya adalah hal yang benar. Sebagai anak
sulungnya aku cukup paham.
“Oh ya, ada sebuah berita. Sebenarnya tidak
penting sih. Tapi sebaiknya kamu tahu supaya kamu tidak berharap lagi. Seminggu
yang lalu Mama tidak sengaja bertemu dengan Pak Danu. Dia bercerita kalau Juana
baru meninggal.” Mama bercerita dengan santai seolah itu adalah cerita biasa. Aku
jatuh terduduk. Pak Danu adalah pemilik kost dimana aku dan kekasihku menetap
dulu sebelum ketahuan oleh Mama. Dan tentu saja Joana adalah kekasihku. Sakit
yang teramat sangat menyerang jantungku. Kucing hitam itu datang dan menatapku.
Tatapan tajam serta suara eongan yang menyayat.
Aku harus mencari tahu. Tentu saja
setelah Mama kembali ke rumahnya. Mama pasti tidak akan senang kalau aku
mencari tahu tentang Juana. Aku meminta izin untuk pergi keluar kota. Melayat
teman sekolah, itu alasanku pada Andy. Dan dia percaya. Tak peduli berapa jarak
yang mesti kutempuh. Aku mengendarai mobil empat jam lebih tanpa istirahat. Rumah
kost itu terlihat lebih tua. Pak Danu terlihat duduk di teras. Dia terkejut
melihat kedatanganku.
“Eh, Athisa. Ada apa ya?” Sekilas aku
melihat rasa bersalah dari Pak Danu. Ya, dia memang pantas merasa bersalah. Dialah
yang melaporkan pada Mama tentang hubunganku dengan Juana. Mungkin dia sering
mengintipi kamar kami hingga tahu kami sepasang kekasih.
“Apa betul Juana sudah meninggal?” Aku
tak berbasa – basi. Pak Danu terhenyak tapi hanya sebentar. Pak Danu
menganggukkan kepalanya.
“Bapak tahu dari mana? Dulu Bapak bilang
tidak tahu kemana Juana. Mengapa Bapak bisa tahu dia sudah meninggal?” Aku tidak
bisa menahan diri. Berbagai pertanyaan langsung keluar dari mulutku.
“Bapak sebenarnya tahu dimana Juana
berada hanya saja Bapak sudah berjanji tidak akan memberitahumu. Dia dan suamimu
bertemu disini seminggu sebelum pernikahanmu. Suamimu memintanya menjauh darimu
tapi dia tidak mau. Mereka bertengkar hebat. Bapak tidak tahu harus membela
siapa dan saat bertengkar tanpa sengaja suamimu mendorong Juana. Juana terjatuh
dari tangga. Kami segera membawanya kerumah sakit. Bapak tidak mengerti dengan
istilah medis yang diberitahu dokter. Yang jelas setelah terjatuh, saraf Juana
ikut terantuk. Dia lumpuh dan selama ini dia dirawat di rumah sakit. Suamimu lah
yang membiayai perawatan Juana. Dia meminta Bapak merahasiakan semuanya. Maafkan
Bapak. Bapak merasa berdosa, Bapak tidak sanggup merahasiakannya lagi. Sepuluh hari
yang lalu Juana tidak sanggup lagi bertahan. Dia menghembuskan napas
terakhirnya.” Wajah Pak Danu keruh dan begitu pula denganku. Tenggorakanku
tercekat. Selama ini, ternyata selama ini suamiku yang memisahkanku dengan
Juana. Aku menangis, tangis yang entah menangis nasib tragis Juana atau
nasibku.
Hari itu juga aku pulang ke rumah. Setelah
melihat makam Juana dan menangis lagi disana aku memutuskan untuk pulang. Pak
Danu tak hentinya meminta maaf. Aku hanya mengangguk kecil. Tidak tahu harus
berkata apa lagi. Ada satu orang yang mesti kutanyai lagi, Andy suamiku. Sesampainya
di rumah, langit sudah berubah menjadi gelap. Suamiku sedang duduk menonton
televisi.
“Sudah pulang sayang. Sini, pasti capek.
Biar Abang pijitin.” Aku menurut. Berjalan dan duduk disamping Andy. Baru saja
aku membuka mulut untuk bertanya, Bumi masuk dengan mengendong kucing hitam.
“Kok dibawa masuk kucingnya. Hacim...hacim...”
Andy langsung bersin – bersin. Kucing hitam itu menatapku tapi kali ini
tatapannya sendu. Dia mengeong, suara yang seperti memberitahuku kalau dia sudah
tahu aku tahu. Aku mendekati Bumi lalu mengambil kucing hitam itu. Dalam
gendonganku, kucing hitam itu menitikkan airmata. Aku juga ikut menangis.
“Mama kenapa?” Bumi bertanya heran. Aku tidak
sanggup menjawab. Aku dan kucing hitam menatap Andy yang masih bersin – bersin.
Kami sama – sama menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar