Sudah
seratus hari semenjak kecelakaan itu merenggut nyawa Aylin. Semua yang hadir
diruangan tampak bersedih. Mereka berkumpul dan mengenang Aylin. Semula hanya
sebuah status di facebook lalu semua terdorong untuk mengadakan acara ini.
“Aylin...siapa
yang tidak mengenal wanita ceria dan supel seperti dia.” Ren memulai pidatonya.
Pidato yang sebenarnya tidak tahu kata apa yang sanggup dia ucapakan untuk
seseorang yang mengisi masa lalunya. Kemeja hitam yang Ren kenakan menambah
kelam wajahnya. Dia mengusapkan telapak tangannya kewajah.
“Kita
telah kehilangan seseorang yang selalu membuat kita bersemangat. Kehilangan
tawa cerianya. Kepergian Aylin adalah kesedihan yang sangat untuk kita semua.
Seandainya Aylin disini dia pasti akan menertawakan kita. ‘Hei, kok wajah
kalian sedih semua sih. Ayolah, kita jangan murung terus, bersenang – senang
dong.’ Itu pasti kata – kata yang diucapkan Aylin.” Ren tersenyum kecil dan
anggukan dari teman – temannya membuat Ren tahu kalau mereka juga mempunyai
pikiran yang sama.
Ren
berjalan dan duduk disudut. Membiarkan teman – teman yang lain memandangi foto
– foto Aylin yang terpajang di dinding. Ren mengusap rambut pendeknya, seolah
ingin mengusap aura suram. Anis yang datang dan membawa minuman untuk Ren, ikut
duduk disamping Ren.
“Aylin
tidak akan suka melihatmu bersedih gara – gara dia.” Meski tersenyum tapi
tampak jelas Anis juga sama kelamnya. Wajah orientalnya terlihat sedih,
terlebih gaun hitamnya seolah mendukung kesedihan itu.
“Ironis
ya, acara ini memang untuk Aylin dan dia memang selalu suka menjadi pusat
perhatian tapi acara ini ada kerena kepergiannya.” Tiba – tiba Biana datang dan
mengambil kursi lalu duduk dihadapan kedua temannya. Hari itu meski Biana
tampil santai, kaos hitam dan celana jeans panjang tapi dia juga terlihat
sedih. Anis menunduk, membiarkan rambut panjangnya menutupi wajahnya.
“Kalau
saja hari itu aku tidak meninggalkan Aylin, tentu Aylin tidak akan mengalami
kecelakaan itu.” Anis menangis. Bulir – bulir airmata jatuh dan pengakuan itu
meluncur dari mulut Anis.
Malam
itu Aylin mengajak Anis untuk clubing. Menikmati hingar bingar musik. Anis
sebenarnya tidak ingin ikut. Besok dia harus kuliah. Tapi seperti biasa Aylin
tidak menerima penolakan.
“Hanya
sebentar Nis. Aku hanya ingin bersenang – senang. Setelah itu aku janji akan
pulang.” Anis luluh dan termakan janji Aylin. Mereka mulai bersenang – senang,
Aylin lebih tepatnya. Aylin sama sekali tak berniat membayar semua
kesenangannya. Lagi – lagi Anis mengalah, membiarkan dompetnya menipis. Tapi
ketika jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, Anis menagih janji Aylin.
“Ayo
kita pulang Lin. Ini sudah jam satu.”
“Baru
jam satu. Sebentar lagi.”
“Tadi
kamu juga bilang begitu, sebentar lagi, sebentar lagi. Besok aku ada quis Lin.
Ayo lah, kita pulang. Biar aku antar ke kost mu.” Bisa saja Anis pulang duluan
tapi larut seperti ini pasti tidak ada taksi apalagi club ini jauh dari tempat
biasa mereka berkumpul. Tidak ada seorang pun yang mereka kenal.
“Buat
apa kuliah sih. Jangan jadi kuper begitu dong Nis. Sia – sia aku permak kamu
dari si gemuk jadi si tenar royal.” Aylin cekikikan. Mungkin alkohol yang sudah
masuk memperngaruhi otaknya. Anis tidak suka dengan kata – kata Aylin. Anis
tahu dia memang pemalu. Aylin yang mengajarinya banyak hal, mengenalkan lebih
dalam tentang dunia Lesbian yang dulu Anis tidak berani akui. Aylin pula yang
menjodohkannya dengan Karen. Tapi pertolongan Aylin tidak lah gratis. Aylin
tidak segan meminta.
“Jangan
pelit sama makcomblangmu Nis. Belum tentu kamu bisa jadian dengan Karen kalau
bukan karena campur tanganku.” Anis terlalu lugu dan menurut begitu saja. Tapi
kali ini Anis memberontak. Dia tidak mau lagi menuruti perkataan Aylin apalagi
setiap kata yang keluar dari mulut Aylin selalu menyakitkan hatinya.
“Kalau
kamu tidak mau pulang, aku pulang duluan.” Ancam Anis.
“Pulang
saja sana. Dasar cewek kuper. Jangan – jangan Karen mau sama kamu cuma karena
kamu kaya.” Aylin menyelesaikan katanya dengan tawa cekikikan. Anis tak mau
lagi menunggu, dia segera keluar dengan wajah marah. Sudah cukup dia mendengar
kata – kata Aylin.
Ren
mengusap bahu Anis lembut. Ren yang mengenal Aylin sedemikian lama tahu betul
kalau yang diceritakan Anis adalah benar, bukan hanya rekaan Anis.
“Karen
memang dari lama sudah memintaku menjauhi Aylin. Tapi aku tidak tega. Dia yang
mengenalkan ku dengan Karen. Malam itu, kalau saja aku tidak meninggalkan
Aylin......” Diantara isak tangisnya Anis bercerita.
“Kecelakaan
itu bukan mau mu, Nis. Kamu tidak salah. Sebenarnya malam itu Aylin juga
meneleponku. Tapi aku juga tidak berniat menolongnya sama sekali.” Ren yang
semula mengusap bahu Anis kemudian mengacak rambut pendeknya. Mungkin orang
akan mengira Ren adalah lelaki kalau tidak memperhatikan betul lekuk tubuhnya
yang tersembunyi. Ren mulai bercerita, mengakui tentang kejadian malam sebelum
kecelakaan Aylin.
Malam
sudah larut, bahkan dini hari sudah menjelang. Ren mengumpat kesal ketika bunyi
memekakkan handphonenya membuatnya bangun. Ren semula ingin tidak mempedulikan
saja, tapi biasanya telepon dijam segini selalu penting. Ren bangkit, khawatir
terjadi sesuatu terhadap anggota keluarganya yang memang berada jauh diluar
kota. Ketika nama Aylin yang tertera dilayar handphone, Ren mengerutkan
dahinya. Membiarkan telepon itu berbunyi beberapa detik lagi sebelum dengan
malas menjawab.
“Kok
lama banget sih ngangkat teleponnya.” Belum sempat Ren berkata, Aylin sudah
menyerang dengan rentetan kata kesal.
“Aku
lagi tidur.” Hanya itu. Ren memang tak berniat bertanya apa pun. Tapi seperti
yang Ren kira, Aylin sama sekali tidak merasa mengganggu tidur Ren.
“Jemput
aku dong. Ini aku lagi dijalan Lilalama. Depan klub Akar.”
“Aku
tidak bisa. Ngantuk. Naik taksi saja.”
“Kalau
ada taksi dari tadi aku juga naik taksi aja. Gimana sih. Ayolah, apa kamu tega
membiarkan aku sendirian disini.” Suara memelas Aylin sama sekali tidak
mempengaruhi Ren. Ren sudah terbiasa bahkan boleh dibilang muak.
“Dimana
teman – temanmu? Pacarmu? Suruh saja mereka. Aku mau tidur lagi, sudah ya.”
“Eh...tunggu
Ren...ayolah Ren. Cuma kamu yang bisa aku harapkan, aku malu kalau meminta
tolong teman yang lain. Aku juga sudah tidak punya pacar lagi. Membosankan banget
si Biana itu. Lagipula BB dan Galaxy ku sudah mati. Powerbank lupa ku bawa. Hanya
handphone kecil ini hadiah darimu yang masih ada.” Rayuan Aylin mengetuk hati
Ren sedikit tapi Ren teringat dengan semua yang telah dilakukan Aylin padanya.
Ren menghembuskan napasnya. Dia memutuskan sudah cukup Aylin memanfaatkan
dirinya. Menyalahkannya karena Aylin kabur dari rumah demi bersamanya dulu,
lima tahun yang lalu.
“Aku
benar – benar tidak bisa, maaf. Besok ada meeting penting.”
“Jadi
kamu tidak mau nolongin aku hah? Sudah hebat ya? Apa kamu mau aku menyebarkan
kalau kamu itu lesbian dikantormu? Membawa lari aku lalu begitu saja tidak mau
bertanggung jawab!” Seperti yang Ren duga, sifat asli Aylin muncul kembali.
kata – kata pedas dan ancaman.
“Sudah
cukup Lin. Aku minta maaf kalau kamu merasa aku yang menyerumuskanmu kedunia
lesbian. Aku tidak mau melakukan pembelaan apapun karena bagimu tetap aku yang
salah. Tidak perlu mengancamku lagi karena semua teman kantor bahkan Boss ku
sudah tahu tentap siapa aku. Mereka menerimaku dengan baik. Jadi jangan ganggu
aku lagi. Seperti katamu dulu, kita sudah berpisah jangan ikut campur lagi.” Tanpa
menunggu jawaban Aylin, segera Ren mematikan handphonenya. Dia tidak ingin
mendengar makian Aylin lagi, itu hanya akan membuat tidurnya tidak nyenyak.
Semenjak mereka putus Aylin memang selalu saja meneror dan mengancam. Ren yang
tidak mau terlibat masalah, memberikan saja apa yang dimau Aylin. Tapi makin
lama Ren merasa tidak bebas apalagi ketika dia bertemu dengan Cecil, karyawan
baru dikantornya. Dia tidak ingin usaha pendekatan dengan Cecil berjalan tidak
lancar gara – gara Aylin. Maka sebulan yang lalu Ren memberanikan diri coming
out. Dan ternyata ketakutan yang selama ini Ren simpan tidak beralasan. Boss nya
menerima dengan baik dan rekan – rekan kerjanya juga begitu. Meski ada satu dua
yang mencibir dibelakang. Ren tahu mereka hanya pura – pura baik karena Boss
mereka tidak mempermasalahkan jati diri Ren. Tapi rekan – rekan yang memang
akrab sangat menerima siapapun Ren.
Ren
mengakhiri ceritanya, memandangi Anis dan Biana. Anis yang semula menangis
menjadi terdiam.
“Bisa
saja aku pergi menjemput Aylin dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.” Ren
meneruskan kata – katanya.
“Tidak,
Ren. Kamu tidak salah. Ini semua sudah digariskan. Sebenarnya malam itu aku
berada disana.” Biana yang dari tadi mengumpulkan keberanian untuk bercerita
akhirnya berkata. Pengakuan yang sebenarnya ingin dia simpan.
Biana
tak dapat terlelap, dia memilih membawa mobilnya dan berkeliling. Entah kemana.
Tanpa Biana duga sosok Aylin berdiri diatas trotoar seperti menanti sesuatu
atau mencari sesuatu. Biana mendekatkan mobilnya hingga sejajar dengan posisi
dimana Aylin berdiri. Kaca mobil diturunkan.
“Biana
sayang.....aku sudah menduga itu kamu. Antar aku pulang ya.” Aylin berseru
kegirangan ketika tahu Biana yang berada didalam mobil.
“Ngapain
kamu disini malam – malam begini?”
“Si
begok Anis ninggalin aku. Dari tadi nunggu taksi tapi enggak ada satu pun.”
“Kamu
pasti maksain Anis clubing kan? Sudah kubilang jangan begitu pada Anis.”
“Udah
deh jangan ceramah. Antarin aku pulang ya.” Aylin masih bersikap manis.
“Aku
bukan ceramah. Ah sudah lah, kamu memang susah dibilangin.”
“Heh,
jangan sok tahu kamu ya. Mau nolongin apa enggak sih? Sok banget sih. Apa kamu
mau aku bayar pake tubuhku dulu baru kamu nolongin!” Sikap Aylin yang kasar
membuat Biana yang semula ingin membukakan pintu mobilnya menjadi urung. Lagi –
lagi Aylin bersikap seperti itu.
“Kamu
tidak berubah ya, Lin” Biana berkata dengan sedih. Wanita yang pernah dia cintai
ternyata kini malah dbencinya. Mungkin kata kasar sudah mendarah daging tapi
ketika Biana tahu tentang Aylin yang suka menyewakan tubuh seorang wanita pada
wanita atau bahkan pria membuat Biana terkejut. Aylin bahkan tidak segan
menjual tubuhnya sendiri.
“Anjing!
Udah deh, jauh – jauh sana kalau tidak mau nolong.” Dengan sepatu haknya Aylin
menendang mobil Biana. Biana tidak mau berdebat lagi, dia kembali memacu
mobilnya meninggalkan Aylin yang mengacungkan jari tengahnya pada Biana.
“Malam
itu kalau saja aku tidak termakan umpatan kasar Aylin tentu aku akan
mengantarnya dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.” Pandangan Biana diselimuti
kesedihan mungkin juga rasa bersalah. Anis meremas lembut tangan Biana lalu Ren
menepuk pelan bahu Biana.
“Tidak,
kamu tidak salah Na. Seperti katamu tadi. Ini sudah digariskan. Pemabuk yang
mengendarai mobilnya secara ugal – ugalan itu lah yang bersalah. Dia menabrak
Aylin yang berdiri menunggu taksi ditrotoar.”
“Ya,
benar kata Anis. Kita hanya kebetulan berhubungan sebelum maut menjemput Aylin.
Lagipula Aylin pasti tidak ingin orang lain tahu kalau dia tidak kita
pedulikan.” Ren menambahkan kata – kata Anis.
“Benar,
Aylin selalu ingin terlihat sempurna dimata orang – orang. Kita tidak perlu
menceritakan hal yang malah akan merusak namanya. Biar saja kematiannya
dikenang karena kecelakaan yang menggenaskan saja.” Biana memandangi Ren dan
Anis. Mereka mengangguk bersamaan. Sepakat dengan keputusan kalau pengakuan
mereka akan terkubur bersama kematian Aylin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar