Cukup hanya satu percakapan
dan itu membawaku menyeberangi benua untuk sampai di kota ini. kota yang telah
kulupakan dan sekian tahun kutinggalkan. Dhika telah menungguku begitu aku
mendarat di bandara. Di dalam mobil aku diam, membiarkan Dhika memulai pembicaraan,
membuka kembali masa lalu kami dan menyusurinya.
20 tahun yang lalu Dengan
takut – takut aku mengikuti Ayah melangkah memasuki rumah baru kami. Wanita itu
tersenyum padaku, wanita yang telah sah menjadi istri Ayah dan memintaku
memanggilnya dengan sebutan Mama. Disampingnya berdiri seorang anak lelaki, dia
seumuran denganku, Andhika namanya. Semula aku protes pada Ayah mengapa kami
harus pindah ke kota kecil ini tapi kata Ayah, dia mendapat tugas di kota ini
jadi kami harus disini. Dikota ini pula Ayah bertemu dengan Mama. Ayah meminta
izinku serta memberi kabar pada Bunda yang saat itu berada di New York. Wanita
itu baik dan lagipula Ayah terlihat mencintainya, aku setuju saja. Perceraian Ayah
dan Bunda membuat Ayah sedih, aku tahu itu dan mungkin bersama Mama, Ayah akan
bahagia.
“Hei, tomboy, yuk main.”
Dhika berteriak ketika aku sedang asik membaca komik diruang keluarga. Aku
segera menatapnya kesal.
“Jangan panggil aku
tomboy.”
“Kamu kan emang tomboy.
Hahaha....” Dhika segera lari sebelum kutimpuk dengan komik. Selalu begitu,
menjahiliku.
Siang itu setelah pulang
sekolah, aku dan Dhika segera berlari turun dari bus begitu bus sampai didepan
rumah kami. Tapi langkah kami terhenti ketika melihat rumah disamping rumah
kami sudah ada penghuni. Tampak mereka sibuk menurunkan barang – barang. Dan
seorang gadis kecil yang sedang memeluk boneka beruang menatap kami.
“Tetangga baru ya?” Dhika
bertanya padaku. Aku mengangkat bahu tak tahu. Tapi gadis kecil itu begitu
menarik perhatianku.
Siapa sangka gadis kecil
itu seumuran dengan kami juga sekelas dengan kami. Kami yang hiperaktif dan dia
yang pemalu, begitu saja berteman akrab.
“Ayo kita main kerajaan –
kerajaan. Audy jadi putrinya. Aku jadi pangerannya. Dhika jadi prajurit.”
Usulku.
“Mana ada cewek jadi
pangeran. Kamu tu jadi dayang Audy saja. Aku yang jadi pangeran.” Dhika segera
protes mendengar pembagian peran yang kuusulkan.
“Enak aja! Aku yang jadi
pangeran. Siapa bilang pangeran harus cowok.” Aku tak mau kalah.
“Emang enggak ada.” Kami
langsung terlibat adu mulut. Membiarkan Audy kebingungan.
“Em...gimana kalau begini
saja, kalian jadi ksatria Audy.” Perkataan Audy membuat kami diam.
“Kan Audy putrinya, jadi
harus ada ksatria yang melindungi putri. Kalian berdua ksatria Audy.” Senyum
manis itu membuat kami mengiyakan begitu saja dan berjanji akan selalu menjadi
ksatria yang melindungi putri, Putri Audy.
Esok tak dapat ditebak,
pertemanan kami rupanya tidak diizinkan untuk bertahan lama. Ayah yang baru
pulang dari rumah sakit setelah mengoperasi pasien yang mengalami kecelakaan
lalu lintas tak menyadari kalau itu lah pekerjaan terakhir yang akan dia
lakukan. Mobil yang dikendarai Ayah ditabrak truck container yang sopirnya
sedang mabuk. Belum sempat tubuh Ayah dibawa ke rumah sakit, napas Ayah telah terhenti.
Aku menangis dan meraung sedih. Pria yang paling kucintai telah tiada. Mama dan
Dhika juga tak kalah sedih. Kami meratapi kepergian Ayah. Belum genap seminggu
kepergian Ayah, Bunda datang. Memintaku untuk tinggal bersamanya. Aku menolak,
bertahan ingin tinggal bersama Mama dan Dhika. Tapi Bunda memaksa. Bunda sampai
menangis. Aku tidak tega melihatnya. Meski baru berumur sepuluh tahun tapi dua
tahun yang lalu aku sendiri yang memilih untuk bersama Ayah daripada bersama
Bunda yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kini, Bunda memintaku untuk
bersamanya. Aku pun pergi bersama Bunda, pergi dan mengubur semua kenangan.
20 tahun telah berlalu, aku
baru tahu kalau Dhika kembali ke kota ini. Setelah aku tinggal bersama Bunda,
Dhika masih sering mengabariku. Tapi lama kelamaan surat itu menjadi jarang dan
kami pun tak pernah lagi saling mengirim surat.
“Kota ini sudah mengalami
banyak perubahaan. Rumah kita dulu sekarang malah sudah jadi mini market.”
Sambil menyetir Dhika bercerita.
“Sejak kapan kamu pindah
kekota ini?” Tanya ku, karena aku tahu lima bulan setelah kematian Ayah, Mama
dan Dhika memutuskan pindah ke kota lain.
“Baru dua bulan, dan aku
baru tahu keberadaannya setelah dia masuk kerumah sakit. San, kamu harus lihat
sendiri dia.” Aku tahu siapa yang dimaksud Dhika. Audy, ya nama itu berhasil
membuatku dan Dhika kembali bertukar sapa. Nama itu pula yang membuatku terbang
sekian ratus mil.
“Bagaimana kondisinya?” Dan
tatapan sedih Dhika menjawab semuanya.
Dia berjongkok disudut
ruangan. Pucat dan kecil, dengan rambut yang tergerai. Aku melihatnya dengan
sedih dari kaca jendela kamar yang memisahkan kami.
“Seminggu yang lalu,
kondisinya tidak setenang ini. Dia mengamuk ketika kami bermaksud membawanya
kerumah sakit. Rumah tua di hutan menjadi tempat tinggalnya selama ini.”
“Maksudmu rumah tua yang
menyeramkan itu?” Aku masih ingat rumah tua di hutan yang tidak berani kami
masuki. Berbagai cerita horor mengisi rumah itu. Dhika mengangguk.
“Kondisinya boleh dibilang stabil,
tapi kami tetap harus mengawasinya.” Dhika terus menjelaskan dan aku memandangi
Audy.
“Bolehkah aku menemuinnya?”
“Boleh, tapi dia sama
sekali tidak akan mengingatmu.” Aku masuk dengan penuh debar. Tak peduli meski
Dhika sudah memperingatkanku. Kurus, kecil, rambut hitam yang panjang dan
menutupi sebagian wajahnya, dan dia terus menunduk meski aku sudah masuk
kedalam ruangan.
“Hai...” sapaku, tapi dia
tetap menunduk.
“Aku Sandy. Dulu kita
pernah berteman, kelas lima SD.” Aku berusaha membangun percakapan tapi
sepertinya itu sia – sia belaka. Audy sama sekali tak beraksi. Aku memilih
duduk didepannya, berusaha terlihat santai.
“Kamu masih suka jadi
putri? Aku malah sekarang sudah jadi ratu. Hehehe....tapi aku tetap mau kok
jadi ksatria kamu.” Dia melirikku tapi segera memalingkan wajahnya. Pertemuan hari
ini berlangsung kaku.
“Ada banyak tubuh yang
terkubur disekitar rumah tua itu. Bahkan diruang bawah tanah terdapat tulang
belulang. Lalu dikamar tidur ada mayat seorang wanita yang diyakini polisi
adalah Mamanya Audy, Tante Risa. Sekarang kasus ini masih dalam penyelidikan
kepolisian. Audy ditaruh dirumah sakit untuk dicheck kesehatan dan kejiwaannya.
Menurut temanku, psikiater yang menangani Audy, jiwa Audy boleh dibilang
hilang. Dia tidak sadar dengan apa yang terjadi maupun apa yang telah dia
lakukan.” informasi dari Dhika menguncangku.
“Jadi apa kesimpulan pihak
kepolisian?”
“Mereka masih belum berani
mengambil kesimpulan. Terlalu riskan. Audy masih belum ditetapkan jadi
tersangka. Memang sepuluh tahun belakangan ini banyak kasus kehilangan orang. Tapi
mayat – mayat yang terkubur itu masih diindentifikasi.” Kantin rumah sakit itu
sepi, aku meminum kopi yang tak terasa enak dan Dhika dengan seragam dokternya
juga memesan kopi sama sepertiku. Dhika yang dokter anak juga terlihat murung
mendapati Audy seperti itu. Entah apa yang telah terjadi pada teman kecil kami.
“Mengapa setelah sepuluh
tahun polisi baru menemukan Audy? Dan kasus banyaknya orang hilang apa tidak
diselidiki?”
“Negeri ini menganggap
orang hilang bukan kasus yang berarti. Lihat saja berkas yang menumpuk
dikepolisian, mereka akan menjanjikan mencari tapi hanya sekedar itu. Seolah membiarkan
kasus itu menguap dan dilupakan. Yang menemukan Audy dirumah tua bukanlah pihak
kepolisian tapi pemancing yang bermaksud memancing di sungai hutan terlarang. Dia tak sengaja
melihat Audy di rumah tua itu. Semula dia mengira kalau Audy itu hantu, seperti yang sering dibicarakan kalau dihutan terlarang ada rumah tua yang angker tapi
sifatnya yang penasaran membuatnya tidak lari malah mendekati rumah itu. Dan dia
menemukan Audy dalam kondisi kelaparan.” Cerita Dhika sama sekali tak
mengurangi kebingungan ku. Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi.
Seminggu sudah aku disini
dan perkembangan Audy belum ada kemajuan sama sekali. Audy masih diam seribu
bahasa. Dia hanya bergerak ketika diberi makanan dan saat ingin kekamar mandi. Hanya
itu. Aku berulang kali mengajaknya mengobrol dan berulang kali pula harus
mendapati kebisuan. Dan sesuai janji ku dengan Natalie, aku harus kembali
besok.
“Kamu harus pulang secepat
ini? Audy sama sekali belum ada perkembangan.”
“Ya, aku harus kembali. Banyak
yang mesti aku urus di New York. Aku tidak ingin terus menunggu seperti ini. Lagipula
aku punya keluarga. Istriku sebentar lagi akan melahirkan. Sebenarnya berat
meninggalkannya dalam keadaan hamil tua seperti itu.” Aku melihat raut
kebingungan diwajah Dhika.
“Sebentar, aku tidak salah
dengar kan? Istri? Kamu....”
“Aku tahu kamu sudah tahu
itu semenjak kita kecil. Kalau kamu tidak tahu tidak mungkin kamu menghubungiku
mengabari tentang Audy, Dhik.” Aku meringis dan Dhika juga. Dia menghela
napasnya.
“Sebenarnya aku hanya
berspekulasi. Jika benar kamu akan datang, berarti cinta pertama kita memang
sama. Bedanya hanya kamu bisa maju dan menata hidup, aku masih terpaku pada putri
kita.” Senyum sendu Dhika membuatku teringat akan apa yang telah kujalani
selama ini. Tentang Natalie yang begitu baik, membuatku bangkit dan merasakan
cinta yang baru.
“Aku tidak pernah melupakan
Audy, sampai sekarangpun dan Natalie, istriku tahu itu. Dia yang memintaku
pulang kesini dan menyelesaikan kebimbangan hatiku selama puluhan tahun ini. Dan
aku sudah menyelesaikannya. Audy cinta pertamaku dan aku juga merasa bersalah
melihat keadaannya sekarang ini. Tapi Natalie adalah cintaku saat ini. Aku harus
kembali ke New York, Dhik.”
“Ya, aku mengerti. Tapi kali
ini jangan sampai kita kehilangan komunikasi ya. Bagaimanapun, kita tetap
saudara.” Kami saling tersenyum. berpelukan erat.
Setengah tahun kemudian aku
mendapat email dari Dhika. Email kesekian yang memang sering kami lakukan
selain berkomunikasi melalui telepon. Email kali ini membuatku terhenyak.
Tentang Audy
Dear Saudariku,
Perkembangan Audy
menemui kemajuan. Audy mulai bicara dan menjelaskan meski tidak lancar tapi
bisa dirangkum apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan menjelaskannya dari hasil
kesimpulan dokter yang menangani Audy.
Audy kecil
berulang kali diperkosa Ayah tirinya. Dia diam karena diancam. Bukan hanya
Ayahnya tapi Paman, adik Ayah tirinya juga melakukan hal bejat itu, bahkan Ayah
tirinya tega membawa Audy untuk dijadikan bahan taruhan ketika dia berjudi. Sampai
remaja, Audy menjadi tertutup. Ibunya baru mengetahui perbuatan itu ketika tak
sengaja memergoki kelakuan bejat suaminya. Ibu Audy marah, memukul suaminya
sampai meninggal. Ibu Audy baru tahu Audy selama ini sering dibawa Ayah
tirinya untuk melayani nafsu lelaki
hidung belang. Ibu Audy memutuskan pindah bersama Audy. Mereka tinggal dirumah
tua itu. Mayat Ayahnya dikubur. Ibunya mulai balas dendam. Memaksa Audy
mengingat siapa saja lelaki yang menyakitinya. Tubuh yang polisi temukan
terkubur dan diruang bawah tanah adalah tubuh yang dibunuh Ibu Audy untuk
pembalasan dendam anaknya, lelaki – lelaki hidung belang itu membalas kesakitan
anaknya dengan kematian mereka. Tapi usia tidak dapat dibohongi, Ibu Audy
meninggal dan tanpa memberitahu siapa pun dimana mereka selama ini tinggal. Audy
yang selalu dijaga Ibunya tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya bisa diam dan
tetap bersembunyi dirumah tua yang dibilang Ibunya sebagai tempat yang aman.
Ini dari hasil
keterangan yang ditangkap dari pembicaraan Audy dengan dokternya. Hanya itu
yang ingin kuceritakan. Kalau ada perkembangan baru lagi, nanti saya kabari.
Best Regards,
Dhika
NB : Sampaikan
salam ku pada Natalie dan keponakanku Angelica.
Aku menutup layar laptopku.
Berdoa semoga Audy pulih dan tidak mengalami trauma. Dan aku juga berharap
Dhika bisa melanjutkan hidupnya, dengan Audy atau pun dengan wanita lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar