Rabu, 24 Juli 2013

Audy, Cinta Pertama Kami



Cukup hanya satu percakapan dan itu membawaku menyeberangi benua untuk sampai di kota ini. kota yang telah kulupakan dan sekian tahun kutinggalkan. Dhika telah menungguku begitu aku mendarat di bandara. Di dalam mobil aku diam, membiarkan Dhika memulai pembicaraan, membuka kembali masa lalu kami dan menyusurinya.

20 tahun yang lalu Dengan takut – takut aku mengikuti Ayah melangkah memasuki rumah baru kami. Wanita itu tersenyum padaku, wanita yang telah sah menjadi istri Ayah dan memintaku memanggilnya dengan sebutan Mama. Disampingnya berdiri seorang anak lelaki, dia seumuran denganku, Andhika namanya. Semula aku protes pada Ayah mengapa kami harus pindah ke kota kecil ini tapi kata Ayah, dia mendapat tugas di kota ini jadi kami harus disini. Dikota ini pula Ayah bertemu dengan Mama. Ayah meminta izinku serta memberi kabar pada Bunda yang saat itu berada di New York. Wanita itu baik dan lagipula Ayah terlihat mencintainya, aku setuju saja. Perceraian Ayah dan Bunda membuat Ayah sedih, aku tahu itu dan mungkin bersama Mama, Ayah akan bahagia.
“Hei, tomboy, yuk main.” Dhika berteriak ketika aku sedang asik membaca komik diruang keluarga. Aku segera menatapnya kesal.
“Jangan panggil aku tomboy.”
“Kamu kan emang tomboy. Hahaha....” Dhika segera lari sebelum kutimpuk dengan komik. Selalu begitu, menjahiliku.

Siang itu setelah pulang sekolah, aku dan Dhika segera berlari turun dari bus begitu bus sampai didepan rumah kami. Tapi langkah kami terhenti ketika melihat rumah disamping rumah kami sudah ada penghuni. Tampak mereka sibuk menurunkan barang – barang. Dan seorang gadis kecil yang sedang memeluk boneka beruang menatap kami.
“Tetangga baru ya?” Dhika bertanya padaku. Aku mengangkat bahu tak tahu. Tapi gadis kecil itu begitu menarik perhatianku.

Siapa sangka gadis kecil itu seumuran dengan kami juga sekelas dengan kami. Kami yang hiperaktif dan dia yang pemalu, begitu saja berteman akrab.
“Ayo kita main kerajaan – kerajaan. Audy jadi putrinya. Aku jadi pangerannya. Dhika jadi prajurit.” Usulku.
“Mana ada cewek jadi pangeran. Kamu tu jadi dayang Audy saja. Aku yang jadi pangeran.” Dhika segera protes mendengar pembagian peran yang kuusulkan.
“Enak aja! Aku yang jadi pangeran. Siapa bilang pangeran harus cowok.” Aku tak mau kalah.
“Emang enggak ada.” Kami langsung terlibat adu mulut. Membiarkan Audy kebingungan.
“Em...gimana kalau begini saja, kalian jadi ksatria Audy.” Perkataan Audy membuat kami diam.
“Kan Audy putrinya, jadi harus ada ksatria yang melindungi putri. Kalian berdua ksatria Audy.” Senyum manis itu membuat kami mengiyakan begitu saja dan berjanji akan selalu menjadi ksatria yang melindungi putri, Putri Audy.

Esok tak dapat ditebak, pertemanan kami rupanya tidak diizinkan untuk bertahan lama. Ayah yang baru pulang dari rumah sakit setelah mengoperasi pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas tak menyadari kalau itu lah pekerjaan terakhir yang akan dia lakukan. Mobil yang dikendarai Ayah ditabrak truck container yang sopirnya sedang mabuk. Belum sempat tubuh Ayah dibawa ke rumah sakit, napas Ayah telah terhenti. Aku menangis dan meraung sedih. Pria yang paling kucintai telah tiada. Mama dan Dhika juga tak kalah sedih. Kami meratapi kepergian Ayah. Belum genap seminggu kepergian Ayah, Bunda datang. Memintaku untuk tinggal bersamanya. Aku menolak, bertahan ingin tinggal bersama Mama dan Dhika. Tapi Bunda memaksa. Bunda sampai menangis. Aku tidak tega melihatnya. Meski baru berumur sepuluh tahun tapi dua tahun yang lalu aku sendiri yang memilih untuk bersama Ayah daripada bersama Bunda yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kini, Bunda memintaku untuk bersamanya. Aku pun pergi bersama Bunda, pergi dan mengubur semua kenangan.

20 tahun telah berlalu, aku baru tahu kalau Dhika kembali ke kota ini. Setelah aku tinggal bersama Bunda, Dhika masih sering mengabariku. Tapi lama kelamaan surat itu menjadi jarang dan kami pun tak pernah lagi saling mengirim surat.
“Kota ini sudah mengalami banyak perubahaan. Rumah kita dulu sekarang malah sudah jadi mini market.” Sambil menyetir Dhika bercerita.
“Sejak kapan kamu pindah kekota ini?” Tanya ku, karena aku tahu lima bulan setelah kematian Ayah, Mama dan Dhika memutuskan pindah ke kota lain.
“Baru dua bulan, dan aku baru tahu keberadaannya setelah dia masuk kerumah sakit. San, kamu harus lihat sendiri dia.” Aku tahu siapa yang dimaksud Dhika. Audy, ya nama itu berhasil membuatku dan Dhika kembali bertukar sapa. Nama itu pula yang membuatku terbang sekian ratus mil.
“Bagaimana kondisinya?” Dan tatapan sedih Dhika menjawab semuanya.

Dia berjongkok disudut ruangan. Pucat dan kecil, dengan rambut yang tergerai. Aku melihatnya dengan sedih dari kaca jendela kamar yang memisahkan kami.
“Seminggu yang lalu, kondisinya tidak setenang ini. Dia mengamuk ketika kami bermaksud membawanya kerumah sakit. Rumah tua di hutan menjadi tempat tinggalnya selama ini.”
“Maksudmu rumah tua yang menyeramkan itu?” Aku masih ingat rumah tua di hutan yang tidak berani kami masuki. Berbagai cerita horor mengisi rumah itu. Dhika mengangguk.
“Kondisinya boleh dibilang stabil, tapi kami tetap harus mengawasinya.” Dhika terus menjelaskan dan aku memandangi Audy.
“Bolehkah aku menemuinnya?”
“Boleh, tapi dia sama sekali tidak akan mengingatmu.” Aku masuk dengan penuh debar. Tak peduli meski Dhika sudah memperingatkanku. Kurus, kecil, rambut hitam yang panjang dan menutupi sebagian wajahnya, dan dia terus menunduk meski aku sudah masuk kedalam ruangan.
“Hai...” sapaku, tapi dia tetap menunduk.
“Aku Sandy. Dulu kita pernah berteman, kelas lima SD.” Aku berusaha membangun percakapan tapi sepertinya itu sia – sia belaka. Audy sama sekali tak beraksi. Aku memilih duduk didepannya, berusaha terlihat santai.
“Kamu masih suka jadi putri? Aku malah sekarang sudah jadi ratu. Hehehe....tapi aku tetap mau kok jadi ksatria kamu.” Dia melirikku tapi segera memalingkan wajahnya. Pertemuan hari ini berlangsung kaku.

“Ada banyak tubuh yang terkubur disekitar rumah tua itu. Bahkan diruang bawah tanah terdapat tulang belulang. Lalu dikamar tidur ada mayat seorang wanita yang diyakini polisi adalah Mamanya Audy, Tante Risa. Sekarang kasus ini masih dalam penyelidikan kepolisian. Audy ditaruh dirumah sakit untuk dicheck kesehatan dan kejiwaannya. Menurut temanku, psikiater yang menangani Audy, jiwa Audy boleh dibilang hilang. Dia tidak sadar dengan apa yang terjadi maupun apa yang telah dia lakukan.” informasi dari Dhika menguncangku.
“Jadi apa kesimpulan pihak kepolisian?”
“Mereka masih belum berani mengambil kesimpulan. Terlalu riskan. Audy masih belum ditetapkan jadi tersangka. Memang sepuluh tahun belakangan ini banyak kasus kehilangan orang. Tapi mayat – mayat yang terkubur itu masih diindentifikasi.” Kantin rumah sakit itu sepi, aku meminum kopi yang tak terasa enak dan Dhika dengan seragam dokternya juga memesan kopi sama sepertiku. Dhika yang dokter anak juga terlihat murung mendapati Audy seperti itu. Entah apa yang telah terjadi pada teman kecil kami.
“Mengapa setelah sepuluh tahun polisi baru menemukan Audy? Dan kasus banyaknya orang hilang apa tidak diselidiki?”
“Negeri ini menganggap orang hilang bukan kasus yang berarti. Lihat saja berkas yang menumpuk dikepolisian, mereka akan menjanjikan mencari tapi hanya sekedar itu. Seolah membiarkan kasus itu menguap dan dilupakan. Yang menemukan Audy dirumah tua bukanlah pihak kepolisian tapi pemancing yang bermaksud memancing di sungai hutan terlarang. Dia tak sengaja melihat Audy di rumah tua itu. Semula dia mengira kalau Audy itu hantu, seperti yang sering dibicarakan kalau dihutan terlarang ada rumah tua yang angker tapi sifatnya yang penasaran membuatnya tidak lari malah mendekati rumah itu. Dan dia menemukan Audy dalam kondisi kelaparan.” Cerita Dhika sama sekali tak mengurangi kebingungan ku. Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu sudah aku disini dan perkembangan Audy belum ada kemajuan sama sekali. Audy masih diam seribu bahasa. Dia hanya bergerak ketika diberi makanan dan saat ingin kekamar mandi. Hanya itu. Aku berulang kali mengajaknya mengobrol dan berulang kali pula harus mendapati kebisuan. Dan sesuai janji ku dengan Natalie, aku harus kembali besok.
“Kamu harus pulang secepat ini? Audy sama sekali belum ada perkembangan.”
“Ya, aku harus kembali. Banyak yang mesti aku urus di New York. Aku tidak ingin terus menunggu seperti ini. Lagipula aku punya keluarga. Istriku sebentar lagi akan melahirkan. Sebenarnya berat meninggalkannya dalam keadaan hamil tua seperti itu.” Aku melihat raut kebingungan diwajah Dhika.
“Sebentar, aku tidak salah dengar kan? Istri? Kamu....”
“Aku tahu kamu sudah tahu itu semenjak kita kecil. Kalau kamu tidak tahu tidak mungkin kamu menghubungiku mengabari tentang Audy, Dhik.” Aku meringis dan Dhika juga. Dia menghela napasnya.
“Sebenarnya aku hanya berspekulasi. Jika benar kamu akan datang, berarti cinta pertama kita memang sama. Bedanya hanya kamu bisa maju dan menata hidup, aku masih terpaku pada putri kita.” Senyum sendu Dhika membuatku teringat akan apa yang telah kujalani selama ini. Tentang Natalie yang begitu baik, membuatku bangkit dan merasakan cinta yang baru.
“Aku tidak pernah melupakan Audy, sampai sekarangpun dan Natalie, istriku tahu itu. Dia yang memintaku pulang kesini dan menyelesaikan kebimbangan hatiku selama puluhan tahun ini. Dan aku sudah menyelesaikannya. Audy cinta pertamaku dan aku juga merasa bersalah melihat keadaannya sekarang ini. Tapi Natalie adalah cintaku saat ini. Aku harus kembali ke New York, Dhik.”
“Ya, aku mengerti. Tapi kali ini jangan sampai kita kehilangan komunikasi ya. Bagaimanapun, kita tetap saudara.” Kami saling tersenyum. berpelukan erat.

Setengah tahun kemudian aku mendapat email dari Dhika. Email kesekian yang memang sering kami lakukan selain berkomunikasi melalui telepon. Email kali ini membuatku terhenyak.

Tentang Audy

Dear Saudariku,

Perkembangan Audy menemui kemajuan. Audy mulai bicara dan menjelaskan meski tidak lancar tapi bisa dirangkum apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan menjelaskannya dari hasil kesimpulan dokter yang menangani Audy.
Audy kecil berulang kali diperkosa Ayah tirinya. Dia diam karena diancam. Bukan hanya Ayahnya tapi Paman, adik Ayah tirinya juga melakukan hal bejat itu, bahkan Ayah tirinya tega membawa Audy untuk dijadikan bahan taruhan ketika dia berjudi. Sampai remaja, Audy menjadi tertutup. Ibunya baru mengetahui perbuatan itu ketika tak sengaja memergoki kelakuan bejat suaminya. Ibu Audy marah, memukul suaminya sampai meninggal. Ibu Audy baru tahu Audy selama ini sering dibawa Ayah tirinya  untuk melayani nafsu lelaki hidung belang. Ibu Audy memutuskan pindah bersama Audy. Mereka tinggal dirumah tua itu. Mayat Ayahnya dikubur. Ibunya mulai balas dendam. Memaksa Audy mengingat siapa saja lelaki yang menyakitinya. Tubuh yang polisi temukan terkubur dan diruang bawah tanah adalah tubuh yang dibunuh Ibu Audy untuk pembalasan dendam anaknya, lelaki – lelaki hidung belang itu membalas kesakitan anaknya dengan kematian mereka. Tapi usia tidak dapat dibohongi, Ibu Audy meninggal dan tanpa memberitahu siapa pun dimana mereka selama ini tinggal. Audy yang selalu dijaga Ibunya tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya bisa diam dan tetap bersembunyi dirumah tua yang dibilang Ibunya sebagai tempat yang aman.
Ini dari hasil keterangan yang ditangkap dari pembicaraan Audy dengan dokternya. Hanya itu yang ingin kuceritakan. Kalau ada perkembangan baru lagi, nanti saya kabari.

Best Regards,
Dhika
NB : Sampaikan salam ku pada Natalie dan keponakanku Angelica.

Aku menutup layar laptopku. Berdoa semoga Audy pulih dan tidak mengalami trauma. Dan aku juga berharap Dhika bisa melanjutkan hidupnya, dengan Audy atau pun dengan wanita lain.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar