Saat awan kelabu menghiasi langit hatinya aku berusaha menghapusnya. Aku memohon pada matahari untuk menyinarinya lalu aku berusaha menghangatkan lagi hatinya. Ketika hujan turun membasahi bumi aku segera mengambil payung dan memayunginya. Tak kubiarkan setetes pun hujan mengenai tubuh indahnya. Dia lah wanita indahku. Senyum manisnya selalu mampu meredam amarahku. Dia memanggilku wanita perkasa, jagoannya. Aku bahagia mencintainya dan dia juga bilang kalau dia bahagia mencintaiku.
Lima bulan setelah kami berpacaran, kami pun memutuskan untuk tinggal bersama dirumah sederhana ku. Rumah yang tak semengah istana tapi akan mampu melindunginya. Aku juga memintanya berhenti dari pekerjaannya dan melanjutkan kuliahnya lagi. Dia masih mudah dan sayang rasanya kalau dia hanya bekerja sebagai penjaga toko kosmetik, padahal dia sangat pintar. Hidupku rasanya lengkap dengan hadirnya dirinya. Setiap bangun pagi selalu ada yang menyediakan sarapan dan setiap malam selalu ada yang bisa kupeluk.
“kuliahku sangat melelahkan, apa sebaiknya kita cari saja pembantu? Rasanya aku tak kan sanggup merapikan rumah lagi.” Katanya disuatu sore saat kami sedang duduk menikmati senja. “Tak perlu pembantu sayang, aku tak begitu suka ada orang lain berada dirumah kita. Biar aku saja yang mengerjakannya. Toh rumah kita tak begitu besar dan tak kan membutuhkan waktu yang banyak untuk merapikannya.” Dia langsung mengecup pipi ku.
“sayang baik banget. Nanti malam kita nonton yuk, udah lama enggak nonton” aku langsung mengiyakan ajakannya. Bahagia rasanya melihat dia tersenyum senang.
Suatu malamketika aku baru pulang kerja kulihat wajah cemberutnya. Aku memang telat pulang karena tadi banyak pekerjaan dikantor. “maaf sayang, tadi banyak banget kerjaan dikantor.” Dia masih cemberut “padahal udah kumasakin sup ayam kesukaanmu, jadi dingin deh.”
“biar aku panaskan ya sayang, aku juga belum makan. Maaf ya sayang” dia akhirnya tak cemberut lagi ketika aku memakan sup ayamnya dengan lahap. Sebenarnya tadi dikantor aku sudah makan, tapi aku tak ingin dia kecewa. Jadi aku memakannya meski perutku sudah kenyang. “Yang, aku benci banget deh sama Nila dan Yolanda. Masak mereka mamer – mamerin tas baru mereka, katanya aku tak akan sanggup beli karena aku Cuma anak miskin. Katanya sich tas nya Gucci asli, tapi mungkin aja itu cuma barang tiruan. Mereka juga mengejek handphone ku karena katanya udah ketinggalan zaman.” Dia bercerita panjang lebar ketika aku sedang menyendokan sup kedalam mulut ku. “jangan berteman sama mereka lagi sayang.”
“iiihhh…aku juga ogah temenan sama mereka yang. Aku cuma sebel aja sama sikap mereka. Pengen menutup mulut sombong mereka. Coba aku punya banyak uang, pasti aku udah beli yang lebih mahal dari yang mereka punya, pasti enggak bisa ngomong lagi mereka” aku melihat sinar kecewa dimatanya. Aku lalu memberinya kejutan keesokan harinya. Kubelikan tas dengan merk mahal juga handphone terbaru dan tercanggih.
Semakin hari dia jadi semakin cantik. Dia suka ke salon dan aku tahu itu dia lakukan untuk aku juga karena kau senang melihatnya menjadi cantik. Aku bekerja lebih keras agar dapat memberikan apa yang dia mau. Lembur pun ku lakukan agar gaji ku bertambah banyak. Aku tak segan – segan mengeluarkan uang ku untuk wanita indah ku karena ku tahu dia juga sangat – sangat menyayangi ku. Tapi dia berubah. Dia marah – marah. Katanya aku lebih mementingkan pekerjaan. Waktu ku habis untuk pekerjaan. Padahal ini semua ku lakukan untuk dia. Dia tak mau ku peluk lagi, sana peluk laptop ku katanya. Sedih rasanya. Tapi mungkin dia merasa cemburu karena kurang ku perhatikan. Aku lalu mencoba mengurangi pekerjaan ku. Sebisa mungkin kuselesaikan semua tanpa harus lembur. Aku pulang tepat waktu. Tapi mengapa sikap dia tetap dingin? Pertanyaan itu terjawab disuatu malam ketika aku baru selesai makan.
“aku mau putus.” Aku terkejut.
“Jangan bercanda sayang”
“aku enggak bercanda. Aku serius, aku mau putus!”
“iya aku tahu aku salah sayang, aku enggak akan lembur lagi. Aku akan lebih memperhatikan sayang.” Aku berusaha membujuknya untuk berubah pikiran tapi dia seolah tak mendengarnya.
“maaf, tapi aku sudah bosan dengan semua ini. aku mau putus.”
“sayang…kita bisa coba lagi. Aku akan berubah seperti mau mu ya sayang.” Tapi bujukan ku sama sekali tak mempan. Dia tetap pada pendiriannya. Walau aku menangis dan memohon padanya, dia tak memperdulikannya. Hatinya sudah mengeras. Cinta yang dulu ada sudah tidak ada lagi untuk ku katanya. Malam itu juga dia pergi, dia ternyata sudah mempersiapkan semuanya. Dengan taksi dia pergi meninggalkan ku terpuruk seorang diri.
Suram, hari ku terasa suram tanpanya. Aku malas melakukan apapun. Rasanya tak ada lagi semangat hidup. Pekerjaan pun tak ada yang beres ku lakukan. Teguran dari bos pun tak kuperdulikan. Teman – teman berusaha menyemangatiku tapi hati ku telah dia bawa pergi aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Lalu kabar yang bagai sambaran petir disiang bolong itu datang menyengatku. Teman ku dengan sedih bercerita kalau dia melihat wanita indah ku sekarang telah punya kekasih lain. butcy keren dan kaya kata temanku. Aku tak terima, aku pun mendatangi wanita indah ku yang kini telah tinggal di apartemen mewah. Untung saja teman ku berhasil menyelidiki dimana wanita indah ku tinggal. Dia sendirian ketika aku tiba. Aku meminta penjelasannya. Dia terlihat acuh.
“Ya, aku selingkuh. Tapi jangan Cuma salah kan aku. Ini semua salahmu. Aku butuh perhatian tapi kamu malah sibuk dengan pekerjaan.”
“Tapi aku lakukan semua untuk kamu sayang, aku bekerja lebih keras agar bisa membelikan apa yang sayang mau.”
“jangan panggil aku sayang. Aku bukan pacarmu lagi. Dan jangan memberikan alasan demi aku. Salahmu sendiri kenapa gaji mu sedikit sehingga harus bekerja keras baru bisa mendapat uang yang lebih banyak.” Kata – katanya bagai menusuk jantung ku.
“tapi dulu kamu bilang mau menerima ku apa adanya.”
“itu dulu. Cinta saja tak akan cukup! Aku bahagia dengan pacar baru ku. Dia selalu punya waktu untukku dan dia juga bisa memberiku apa saja tanpa harus meninggalkan ku.”
“sayang…kumohon kembali lah dengan ku. Aku mencintaimu…” sama seperti malam itu, dia tak menggubris perkataan ku.
“Hei…kamu budek atau apa. Aku sudah tak mencintaimu. Pergi lah dari sini sebelum kesabaran ku habis. Pergilah sekarang atau aku panggil satpam.”
“tapi sayang….”
“KELUAR!!!!” teriakkan nya membutakan hatiku. Amarah naik dan memenuhi otak ku. Kupukul dia dengan lampu meja yang terletak dimeja yang berada disampingku. Dia pingsan dengan darah yang mengucur. Jantungku berdetak dengan cepat. Entah apa yang telah terjadi, aku bagai robot yang bergerak tanpa diperintah otak ku. Dengan segera aku mengulung dirinya dalam kain gorden. Aku membawanya keluar dan berusaha menghindari bertemu siapa pun. Untung saja satpam bisa kukelabui. Dia lalu kutaruh dalam mobil ku. Aku melaju kencang dan menuju luar kota. Pikiran ku sudah tak bisa berpikir logis lagi. Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan. Kubawa dia kerumah yang ku beli didesa terpencil. Sebenarnya rumah ini mau kuhadiahkan untuknya di hari ulang tahunnya bulan depan. Tak ada yang tahu tentang rumah ini selain aku. Aku membawanya keluar dan masuk kedalam rumah itu. “lihat sayang ini akan menjadi rumah kita selamanya. Kamu pasti senang.” Dia tak menyahut. Kumandikan dia lalu memakaikan pakian terbagus ketubuhnya. Diatas tempat tidur aku memeluknya. “tenang lah sayang aku sudah memaafkan mu, aku tahu kamu Cuma khilaf. Ya kita akan bersama selamnya disini. Selamanya sayang.” Aku memeluk tubuh dinginnya. Kini kami telah bersama dan tak aka nada lagi yang bisa memisahkan kami. Aku memeluknya terus dan tak perduli siang telah berganti malam, dan hari telah berganti minggu. Waktu seolah berhenti bersama kami. Aku bahagia karena dia sekarang telah bersamaku. Kami akan tetap bersama. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar