Kamis, 12 Januari 2012

Benang Takdir


Memandangi butir – butir hujan yang membasahi jendela kaca, menempel lalu jatuh meninggalkan embun di kaca. Basah dan terdengar seperti alunan nyanyian kelabu dari langit. Hujan yang turun dengan deras membuatku semakin merapatkan selimut yang membungkus tubuhku dengan nyaman dari tadi. Kaki yang semula kubiarkan menyentuh lantai kini juga ku angkat dan bersemayam nyaman di atas sofa dan di dalam selimut. Susu coklat yang baru kubuat terasa hangat dan aromanya mengelitik hidung. Kuhirup wewangian yang mengenakan dan kuteguk secara perlahan susu coklat hangat itu. ah…seandainya saja Bintang ada disini, tentu suasana akan lebih indah. Mudah – mudahan saja Bintang tidak menembus hujan yang mengguyur bumi ini. Terkadang dia terlalu nekat dan tak mau mendengar nasehatku. Bintang…..nama yang sudah sebulan ini mengisi hari ku. Kekasih yang begitu baik dan ceria. Dia selalu menuturkan lantunan kata yang membuatku nyaman dan ingin selalu mendengar ceritanya. Ah, dasar seorang penulis bisa saja menghipnotisku dengan kata – katanya. Hujan, kumohon segera lah berhenti agar kekasihku tak basah dan sakit karena mu. Hari ini dia berjanji akan datang kesini dan biasanya dia selalu menepati janjinya. Ponselnya dari tadi tak diangkatnya dan aku yakin dia dan vespa birunya pasti sedang meluncur kesini. Aku bukan membencimu hujan, aku malah menyukai ritme rintik air yang jatuh menabu bumi. Aku hanya tak ingin kekasih ku kenapa – kenapa. Ah…benci hujan…..aku jadi teringat dengan sosok itu, sosok dimasa kecilku yang sangat kurindukan sampai saat ini. Sosok bocah perempuan tomboy yang ceria dan punya banyak mimpi, Xing. Xing yang nakal, Xing yang sayang pada ku, Xing yang menceritakan beratus kisah indah padaku, Xing yang menemaniku di tempat baru. Apakabarnya dia sekarang ya?



17 tahun yang lalu saat aku baru kelas tiga SD, Papa dan Mama memutuskan untuk pindah ke rumah Nenek yang berada di desa. Aku dan Deo tentu saja juga ikut dibawa. Tempat baru, harus menyesuaikan diri dan mencari lagi teman baru. Rasanya itu sangat berat untuk ku. Terlebih aku bukan anak yang pandai bergaul. Lalu Xing muncul, dia orang pertama yang menyambut kedatangan kami. Dengan suara cerianya dia mengajak ku berkenalan. Setelah kami masuk, Nenek baru menjelaskan pada kami siapa Xing. Dia cucu dari teman nenek yang sedang sakit saat ini dan kedua orangtuanya adalah arkeolog yang sedang berada di negeri antah berantara menggali situs kuno. Semula orangtuanya ingin membawanya tapi neneknya melarang dan meminta bantuan nenek untuk mengasuh Xing. Nenek tentu saja dengan senang hati menerima Xing apalagi dengan kedatangan Xing, rumah nenek yang sepi kini jadi lebih ceria dan ramai. Xing seumuran dengan ku dan sejak hari pertama kami bertemu Xing selalu mengekori ku kemana pun aku berada. Semula aku jengah diikuti seperti itu apalagi dia selalu menanyaiku dengan beribu pertanyaan.

“tidak bisakah kamu melakukan hal lain selain mengikuti ku?”

“siapa yang mengikutimu. Aku hanya berjalan dan kebetulan kita menuju arah yang sama.” Aku tahu dia berbohong dan itu tambah membuatku jengkel.

“jangan bohong! Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Aku berjalan kekiri, kamu juga kekiri, aku kekanan kamu juga kekanan. Aku berhenti kamu juga berhenti.”

“huh…galak amat sih. Kebetulan itu selalu ada dan mungkin kita dituntun peri rumah untuk berjalan menuju lorong tempat para peri tinggal.” Xing berkata dengan mata berbinar, ya terlihat begitu berbinar. Apakah aku salah lihat?

“jangan membohongiku. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi.”

“kamu memang anak kecil, bukankah umur kita sama. 10 tahun. Ah, tapi aku lebih tua lima bulan. Kata nenek Mia kamu lahir dibulan Desember, bulan penuh hujan. Basah, dingin dan kelabu seperti mata mu saat ini.”

“sok tahu! Jadi kamu apa? Bulan penuh matahari, panas dan menyengat seperti kamu hah?” mendengar kata – kata ku Xing malah tertawa geli lalu berjalan meninggalkan ku. Sekarang ku lihat dia mengekori adik ku Deo, tapi Deo kelihatan senang diekori Xing karena tak berapa lama kemudian mereka telah berada di halaman dan bermain perang – perangan.



Malam pertama di rumah nenek membuatku tak bisa memejamkan mata. Rasanya kantuk seolah terbang dan tak mau hinggap dimataku. Xing yang tidur diatas ku – tempat tidur kami bertingkat, turun dan tersenyum padaku. Ya tersenyum. Walau lampu telah dimatikan, tapi cahaya bintang dan bulan dari balik jendela membuatku dapat meilhat dengan jelas senyumnya. “Tea, kamu tak bisa tidur ya?” aku mengangguk.

“ayo, ikut aku.” Xing menarik tanganku. Aku yang tak tahu akan dibawa kemana entah mengapa menurut saja. Dia membawaku menyusuri rumah nenek yang gelap. Yang lain tentu sudah terlelap sekarang. Dibagian belakang rumah Xing menarik seutas tali yang tergantung di atas langit – langit. Seketika tangga kayu kecil terpampang dihadapan kami. Xing menuntunku menaiki anak – anak tangga itu, memasuki sebuah bilik yang ternyata adalah loteng. Aku baru tahu di rumah nenek ada loteng. “loteng ini dijadikan gudang oleh nenek Mia, jadi kalau siang hari kita pasti dilarangnya buat bermain disini” Xing seolah bisa membaca pikiran ku. Kami berjalan memasuki loteng dan berdiri tepat di depan jendela bundar. Dari sana aku bisa melihat halaman rumah nenek, jalan setapak, gunung yang terlihat kecil dan langit berbintang. Rasanya semua terasa kecil. “lihatlah, dari sini rumah – rumah terlihat kecil, jalanan juga kecil. Kita lah yang besar dan kita lah yang menentukan apa yang kita lihat. Tak ada yang perlu kita takuti, lihat saja bahkan gunung pun terlihat kecil dari sini.” Perkataan Xing walau aneh, tapi membuat ku tenang. Aku tersenyum dan mengangguk menyetujui kata – katanya. Semalaman kami memandang dari kaca jendela bundar sampai tertidur disana. Sebelum kami ketahuan, Xing membangunkan ku ketika subuh hampir menjelang dan kami kembali ke kamar.



Semenjak itu aku dan Xing menjadi teman akrab, dimana ada dia disitulah aku berada begitu pula sebaliknya. Sayangnya kami tidak satu sekolah karena Xing memilih sekolah yang dekat dengan rumah nenek sedangkan aku disekolahkan oleh Papa dan Mama disekolah yang menurut mereka lebih bagus meski lumayan jauh dari rumah nenek. Karena jarak sekolah dan rumah yang lumayan jauh, setiap hari Xing selalu menantiku diujung jalan setapak rumah nenek. Dia berteriak kegirangan ketika bus sekolah menurunkan ku. Kami lalu segera makan siang bersama dan setelah itu langsung pergi keluar. Kami menjelajahi desa, menapaki gunung dan memandangi langit bersama – sama. Xing menceritakan banyak kisah tentang keajaiban alam. Peri – peri hutan yang bersemayam di pohon dan memberi spirit pada tanaman yang ada di hutan. Raksasa – raksasa yang menakutkan tapi selalu melindungi hutan. Peri penabur musim semi, kunang – kunang penari dan begitu banyak kisah yang dia dongengkan. Xing, dia membuat masa kecil ku begitu menakjubkan. Berwarna dan tak lagi membuatku menyesali harus tinggal di desa. Aku jatuh cinta, jatuh cinta pada semangatnya, jatuh cinta pada keceriaannya, jatuh cinta pada setiap kisah yang ia ceritakan, jatuh cinta pada kebaikannya, jatuh cinta pada dirinya. Diumur ku yang belum genap sebelas tahun aku mengenal cinta karena dirinya. Perasaan aneh yang membuatku tak ingin lepas darinya.

“aku ingin terbang menyeberangi lautan dan bertemu dengan ayah dan ibu.” Suatu malam saat kami baru naik ketempat tidur Xing bergumam dan dari suaranya terdengar nada sedih. Aku lalu naik ke atas tempat tidurnya dan memeluk Xing.

“kamu merindukan orangtuamu?”

“ya…aku sudah lama tak bertemu dengan mereka. Mereka orangtua yang baik. Sangat menyayangi ku, tapi nenek tak mengizinkan ku ikut ayah dan ibu. Padahal di sana aku pasti bisa berpetualang dan menemukan beribu kisah.”

“jika kamu di sana tentu kita tak akan bertemu sekarang.” Xing langsung membalikan wajahnya dan menghadap ku. “percayalah, dimana pun aku berada pasti kita akan bertemu, cepat atau lambat. Ada benang takdir yang saling menarik dan mempertemukan kita.”

“terkadang kamu tidak seperti anak berumur 10 tahun, Xing.” Dia terkekeh. “kamu juga Tea.” Kami tertawa bersama tapi dalam suara kecil. Takut membangunkan seiisi rumah.

“ada aku disini, jadi jangan sedih lagi ya.”

“aku hanya kangen, bukan sedih. Em…makasih ya Tea.” Kami sama – sama tersenyum lalu tak berapa lama kemudian tertidur pulas sambil berpelukan.

Langit berubah kelabu, matahari berlari berlindung dibalik awan. Hujan jatuh rintik – rintik dan lama – lama menjadi deras membasahi setiap jengkal bumi. Xing sedang berdiri memandangi hujan dari balik kaca jendela. Dia terlihat muram. Aku datang dan berdiri disampingnya. “aku benci hujan.” Katanya tiba – tiba.

“kenapa?” aku bertanya dengan penasaran, Xing memandangiku sebentar lalu kembali memandangi rintik hujan.

“Hujan membuatku tak dapat kemana – mana. Tanah menjadi basah, hutan juga ikut basah. Para peri akan bersembunyi begitu pula tanaman akan melipat diri sebisa mungkin terhindar dari hujan. Tak aka nada yang mendendangkan cerita untukku. Aku juga tak dapat berlari kehutan hari ini.”

“ayo kita ke loteng.” Ajak ku, tapi Xing menggeleng pelan. “tidak. Kesana malah membuatku semakin membenci hujan karena dari sana aku bisa melihat dengan jelas hujan membasahi tanah yang ku cintai.” Aku terdiam dan memilih menemani Xing tanpa suara memandangi hujan. Hari ini dia terlihat lain. Suram dan keceriaan seakan sirna dari matanya. Ada apa dengan mu Xing?

Pertanyaan itu terjawab ketika malam tiba, nenek Xing telah meninggal dunia tadi pagi dan Xing akan segera dibawa orangtuanya ketempat mereka. Tentu saja aku sedih, sangat sedih. Perpisahan yang begitu cepat.

“kita pasti akan bertemu lagi Tea. Benang takdir sudah mengikat kita. Cepat atau lambat kita pasti bertemu lagi.” Itu ucapan terakhir Xing, setelah itu dia pergi jauh dan tak memberi kabar lagi.



Aku tersadar dari lamunan ku ketika petir menyambar dengan keras. Hujan seolah tak mau berhenti. Dan aku merasa rindu yang sangat pada Xing. Tanpa sadar aku menuliskan namanya di kaca jendela. Uap air hujan membuat tulisan ku terlihat. Tiba – tiba suara pintu di ketuk. Aku segera bangkit dan membukakan pintu. Bintang berdiri dengan rambut dan pakaian basah. Segera saja aku menyuruhnya masuk dan mengambil handuk untuk mengeringkan kekasihku. Dia duduk disofa sambil melepaskan bajunya yang basah.

“hei, siapa yang menuliskan nama kecil ku di kaca jendela?” pertanyaan Bintang membuatku tertegun. Aku memandangi tulisan ‘XING’ yang tadi ku ukir di kaca jendela. “nama kecil mu Xing?”

“ya, dulu waktu aku kecil aku dipanggil Xing, tapi semenjak ingatan ku hilang aku tak dipanggil begitu lagi. Ya sebenarnya cuma kenangan masa kecil yang hilang sih.”

“tunggu sebentar, apa maksudmu dengan hilang ingatan?”

“waktu kecil aku mengikuti ayah dan ibu ku mencari peninggalan masa lalu, tapi rupanya hutan tempat kami menggali ada lubang besar yang dalam. Aku terjatuh dan kepala ku terbentur. Sebagian memory ku hilang. Yang tak kuingat hanya kisah ketika aku bayi sampai dengan berumur 11 tahun. Waktu itu aku berumur 13 tahun.” Benar kah yang diceritakan Bintang? Kalau dugaan ku benar, berarti Bintang adalah Xing, cinta pertama ku.

“benang takdir…….” Aku tersenyum dan segera memeluk Bintang yang keheranan tapi dia membalas pelukan ku. Ya, pelan – pelan akan kukembalikan ingatan Bintang, ingatan tentang kisah kami.