Sabtu, 17 Desember 2011

Duyung di Lautan - End


Desir angin malam yang dingin dan menusuk sampai ketulang tak membuat Kana menyurutkan langkahnya. Emosi didalam hatinya siap tumpah bagai seekor banteng yang siap menyerang sang matodor.
Gemerisik pasir pantai dibelakangnya sama sekali tak mengusik Kana. Dia terlalu terpaku pada lautan.
"mau kemana kak?" Hendu yang sekarang menjajari langkah Kana bertanya dengan cemas.
"mau menuntaskan dendam masa lalu" jawab Kana datar.
"dendam apa? Yang benar saja kak, ini sudah larut malam. Bahkan bintang pun telah terlelap."
"pulanglah. Biar aku selesaikan semua ini. Kesalahan yang kubuat sehingga kita harus menjadi yatim." kecemasan Hendu kini berubah menjadi rasa gusar. Rasa gusar yang sama ketika ayahnya pergi dan tak pernah kembali lagi.
"jangan aneh-aneh kak. Ayo kita pulang. Cukup ayah saja yang pergi." tapi Kana seolah tak mendengar permintaan Hendu, dia tetap melangkah ke arah lautan. Hendu mengejarnya, tak membiarkan kakaknya pergi begitu saja.
"aku tak akan membiarkanmu pergi sebelum kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi."
Hendu menarik tangan Kana, meng hentikan langkahnya. Kana menghela napasnya, tahu Hendu serius dengan perkataannya. Kana pun menceritakan semuanya. Tentang petualangan semalamnya dilautan, tentang sang ayah yang mencarinya dengan cemas, tentang raja duyung yang marah, tentang topan yang menelan sang ayah, tentang tangis tanpa suara, dan tentang ingatannya yang hilang bertahun-tahun yang lalu.

Terkejut, seharusnya itu yang didapati Kana diwajah Hendu. Tapi tidak, saudaranya setenang langit cerah. Salahkah mata Kana memandang atau Hendu terlalu pintar menyimpan mimik wajahnya?
Hendu menyisir rambutnya dengan jari. "seharusnya aku menceritakan padamu tentang semua ini. Salah ku memang. Aku hanya ingin kamu tenang. Apalagi baru dua minggu Bunda meninggal." perkataan Hendu malah semakin membuat Kana bingung. Seperti benang kusut, Kana tak mengerti ucapan Hendu.
"apa maksudmu Du?" kali ini Hendu yang menghela napasnya dan bercerita. Cerita yang sebenarnya baru dia ketahui dua bulan yang lalu, kisah yang dituturkan sang Bunda sebelum meninggal.
"dulu ayah kita adalah seorang kapten kapal yang sangat suka berpetualang. Suatu hari kapal ayah diamuk badai. Awak-awaknya menghilang ditelan ombak. Hanya ayah yang selamat dengan bantuan sebuah papan bekas pecahan kayu. Seharian ayah terbawa arus kesana kemari sampai suatu malam putri duyung muncul dan menolong ayah. Ayah diantarnya sampai ketepi daratan. Ayah tentu tak melupakan budi sang putri duyung. Diam-diam ayah menemui putri duyung dan benih-benih cinta pun mulai tumbuh diantara mereka"
"kamu mendongeng?" Kana mengintrupsi cerita Hendu. "dengarkan saja." Kana terdiam dan Hendu melanjutkan ceritanya.
"tapi manusia dan duyung tak mungkin bersatu. Kecuali si duyung berubah menjadi manusia. Maka putri duyung pun menemui penyihir lautan. Memohon dalam tangis pada sang penyihir. Penyihir yang tak tega tapi juga terbatas kekuatannya berjanji menolong putri duyung. Putri duyung akan jadi manusia, tapi hanya mampu bertahan sampai umur 50 tahun. Dan sang penyihir juga meminta mereka menyediakan mayat seorang wanita pengganti putri duyung. Karena penyihir tak ingin menghadapi kemarahan raja duyung jika ia tahu putrinya berubah menjadi manusia. Putri duyung pun menceritakan pada ayah. Ayah mencari mayat, tapi karena tak menemukan mayat ayah pun menangkap seorang wanita tak dikenal lalu dibunuh. Wanita tak dikenal itu diubah menjadi putri duyung yang mati karena mengejar manusia kedaratan. Ayah dan putri duyung asli yang telah menjadi manusia pun menikah dan mempunyai anak kembar. Lelaki dan perempuan."
Mendengar cerita Hendu, kaki Kana menjadi lemas. Dia jatuh terduduk.
"maksudmu bunda adalah putri duyung?"
"ya. Bunda menceritakan padaku. Dia ingin aku menceritakan padamu. Dia tak ingin kita memiliki dendam. Kata bunda mungkin kematian ayah adalah hukuman karena ayah telah menghilangkan nyawa orang lain." Hendu berjongkok dan memeluk kakaknya.
"dendam tak akan menyelesaikan masalah kak. Bunda berpesan agar kita hidup bahagia. Jangan terus melihat masa lalu. Bunda bahagia memiliki ayah walau sebentar dan bunda lebih bahagia memiliki kita." tangis Kana pecah dibahu Hendu. Dia memeluk Hendu dengan erat.
"maafkan Kana ayah, maaf kan Kana bunda. Kana cinta ayah dan bunda. Maafkan aku dik."
"ya, tak ada yang perlu dipersalahkan kak."

Pagi menjelang, merobek tabir malam. Kana menaiki perahunya menuju tempat pertemuaannya dengan Purple. Putri duyung seperti tahu Kana akan datang, dia menanti dengan senyuman manisnya.
"kamu tahu ya kalau bunda adalah putri duyyung?"
Purple mengangguk. "aku adik bungsu kesayangan bundamu. Dia menceritakan semua padaku. Membawamu dan adikmu menemuiku ketika kalian masih bayi. Kakak kadang rindu pada lautan. Dan dia bernyanyi diatas perahu sambil menina bobokan kalian. Aku selalu menjaga agar duyung-duyung yang lain tak tahu keberadaan kakak."
"aku ingin berenang, sudah begitu lama tubuhku tak mencicipi lautan." Kana terjun kelautan. Dengan kaus dan celana yang masih dipakainya. Mereka berenang beriringan. Bagai dua ekor ikan yang menari dilautan. Kepala Kana muncul dilautan.
"kasihan Hendu dia menikah disaat bunda akan meninggal. Permintaan bunda melihatnya menikah dia turuti."
"tapi bukankah Hendu bahagia dengan istrinya?" kepala Purple muncul disamping Kana.
"ya, mereka bahagia. Aku baru tahu mengapa bunda menyuruhku sekolah ditempat yang tak ada lautnya."
"ya, kakak takut Kan teringat kejadian itu dan jadi trauma."
Kana memandangi wajah Purple.
"mengapa hanya aku yang kamu ajak berteman?"
"karena kamu menarik Kan. Sama seperti kakak saat bertemu dengan ayahmu. Sejak aku melihatmu sewaktu bayi, kamu sudah menarikku Kan."
"aku wanita Purple. Dan aku juga baru patah hati."
"oleh wanita juga kan? Dialamku kami bebas memilih. Dan satu lagi, kami tak akan jahat jika manusia tak jahat pada kami."
"hem...menarik. Kalau aku berbuat begini?" Kana mengecup lembut bibir Purple. "apa yang akan kamu lakukan?" bisik Kana saat melepaskan kecupannya.
"inilah yang akan aku lakukan." Purple merangkulkan lengannya keleher Kana, membalas kecupan Kana. Terasa asinnya laut dan hangat saat bibir mereka saling bertautan.



"ngomong-ngomong berapa si umur mu sebenarnya? Dan bisa dibilang kamu ini bibi ku ya kan." mendengar pertanyaan Kana, Purple tertawa. "bukankah sudah terlambat kamu bertanya seperti itu setelah mencium dan membelai tubuhku?"
"hanya sekedar ingin tahu saja." Kana menyeringai.
"oh ya satu hal lagi, bisakah kita menemui penyihir lautan?"
"kamu mau memintanya mengubahku menjadi manusia?"
"tidak. Aku akan memintanya merubahku menjadi duyung. Ekormu begitu indah, sisikmu begitu berkilau aku tak mau mengubahnya. Dan aku juga sangat mencintai lautan." Kana berkata dengan ringan seolah semua itu hal yang biasa.
"kamu serius Kan?"
"ya Purple, putri duyung ku. Seserius cinta ku pada mu."
Keduanya saling memandang dan kembali saling berciuman.

TAMAT

Kamis, 15 Desember 2011

Duyung di Lautan 3


Di atas tempat tidur Kana berusaha memejamkan matanya tapi bayangan Purple dan ingatan tentang masa kecilnya menari riang di benaknya. Malam telah larut seharusnya Kana terlelap dibuai sejuknya angin malam tapi ada sebuah ingatan yang terasa samar dan membuat Kana penasaran. Ingatan tentang Ayahnya, dia dan Purple juga bersama….. ah Kana tak sanggup mengingatnya, entah kejadian apa yang terjadi. Kana bangkit dari tempat tidurnya. Dia bertekad mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Sepenggal ingatan yang tersamar bagai kabut yang menutupi jalan Kana. Dia berjalan dengan pelan keluar dari rumah tak ingin Hendu dan istrinya bangun. Jika mereka bangun pasti mereka akan melarangnya pergi. Malam ini, malam gelap tanpa cahaya bintang, hujan yang baru berhenti membuat bintang tak memperlihatkan wujudnya, tapi rasa penasaran Kana telah membuncah ingin mengetahui jawaban. Ya, harus malam ini.



“Purple… purple… ini aku Kan. Keluarlah.” Kana berdiri diatas perahu kecilnya, memangil – manggil putri duyungnya. Seketika Purple keluar, tapi bukan wajah riang karena bertemu Kana. Dia terlihat takut. “mengapa kamu datang malam – malam begini. Mereka sebentar lagi akan keluar dan ini bukan waktunya manusia berada dilautan. Pulang lah.”

“Mereka? Siapa mereka? Aku ingin bertanya sesuatu pada mu.”

“bangsa ku. Kami bermain saat malam telah larut dan sejak zaman dulu manusia sudah membuat perjanjian dengan kami kalau malam larut adalah milik kami dan pagi terang adalah milik mereka. Jadi pulang lah sebelum bangsa ku melihatmu, mereka bisa marah dan aku tak ingin terjadi apa – apa dengan mu Kan.”

“tapi……”

“kumohon Kan pulang lah. Cukup Ayah mu saja yang jadi korban.”

“Ayahku? Korban? Apa maksudnya? Purple, tolong jelaskan semuanya?” Rasa penasaran Kana makin membuncah seperti gunung berapi yang siap mengeluarkan laharnya.

“tidak sekarang Kan. Kumohon pulang lah.” Suara dan wajah Purple yang memelas membuat Kana terdiam tapi tak lama. “kalau begitu, ikutlah denganku. Dibagian belakang perahu ada tempat untuk menaruh ikan yang ditangkap. Aku bisa mengisinya dengan air dan kamu bisa duduk disitu.” Dengan keras kepala Kana mengusulkan idenya. Purple memandangi wajah Kana. Ada perasaan iba tapi Purple juga tak mau terjadi sesuatu pada Kana. “mendekatlah kemari.” Perintah Purple pada Kana, Kana mendekat dan tiba – tiba Purple menarik lengan Kana membuat Kana tertunduk dan kini wajahnya persis di depan wajah Purple. “Kamu tak banyak berubah Kan. Masih saja keras kepala” lalu Purple menempelkan kening nya ke kening Kana. Hanya sebentar tapi kening Kana terasa hangat dan seperti terlihat cahaya waktu mereka menempelkan kening. “pulanglah. Dan saat kamu tiba dirumah kamu akan mengingat semuanya.” Purple menjauh dari sisi perahu Kana, dia berenang kedalam lautan dan meninggalkan Kana sendirian. Bagai terhipnotis Kana membawa perahunya kembali ke dermaga. Tanpa berpaling dan tanpa pertanyaan, begitu saja Kana kembali ke rumah. Sebenarnya Kana tak terhipnotis tapi dia percaya dengan semua ucapan Purple. Jawaban pasti akan dia dapat setelah sampai dirumah. Ya, jawaban yang membuat rasa penasarannya berteriak – teriak ingin tahu.

“Kan…mengapa kamu kemari, sudah Purple bilang kamu tak boleh kemari.”

“tapi Purple bilang hari ini ada pesta para duyung. Kan ingin lihat.”

“tidak boleh. Kan harus pulang, sekarang juga. Ayo pulanglah Kan sebelum para tetua melihatmu. Ini berbahaya Kan.”

“memangnya apa yang akan mereka lakukan pada Kan?”

“Purple tak tahu. Purple mohon pulang lah Kan.”

“ayolah putri duyung kecil ku, biar Kan melihat pesta nya. Kan akan bersembunyi sehingga mereka tak akan melihat Kan.”

“hemm…..baiklah, Kan tahu Purple tidak bisa menolak permintaan Kan. Tapi ingat, berhati – hati lah.”

“hehehe…iya putri duyung kecil ku.”

Percakapan dimasa lalu itu bergiang ditelinga Kana. Kini semua ingatan yang ditutupi oleh kabut telah terang dan jelas semua. Kana bisa mengingat setiap bagiannya, semuanya. Ya, malam pesta para duyung 13 tahun yang lalu. Pesta penuh lagu – lagu indah dengan suara nyanyian merdu yang membuat Kana takjub diatas gua kecil ditengah lautan. Kana bersembunyi di dalam gua itu, terdiam dan terkagum melihat keindahan yang dipertunjukan para duyung. Tapi itu hanya berlangsung sebentar karena tak lam kemudian Kana mendengar namanya dipanggil. Panggilan keras dan penuh kecemasan itu berasal dari suara ayahnya. Para duyung segera menyelam kedalam lautan ketika menyadari ada manusia yang mendekat kewilayah mereka. Tapi duyung tetua, pemimpin para duyung tak pergi. Dia menghadang jalan perahu ayah Kana. Terlihat marah dan gusar sang tetua berteriak pada ayah Kana.

“KAU LAGI, KAU LAGI! TIDAK CUKUP KAH KAU MEMBUAT ANAK PEREMPUANKU MATI? SEKARANG KAU DATANG MENGANGGU PESTA KAMI.” Ayah Kana tak terlihat takut, dia berdiri kokoh di atas perahu.

“maafkan saya kalau telah merusak pesta kalian wahai Raja duyung terhormat. Saya hanya sedang mencari anak saya. Dan satu lagi, putrid anda bukan mati karena saya, tapi karena sifat egois anda yang tak membiarkan putri anda memilih jalannya sendiri.”

“JAHANAM KAU. TERKUTUK WAHAI ENGKAU MANUSIA HINA. KALIAN MANUSIA TAK LEBIH DARI SEONGGAK DAGING. KALIAN MERASA BANGSA KALIAN LAH YANG PALING TINGGI, PALING SEMPURNA. CUKUP SEKALI AKU MENGAMPUNI MU TAPI TIDAK KALI INI. MENGHILANG LAH DARI LAUTANKU SEKARANG MANUSIA KOTOR!!!!!!!” setelah teriakan marah raja duyung langit langsung berubah gelap dan awan hitam mengeluarkan angin topan tepat di atas perahu Kana. Angin topan itu menarik masuk dan menggulung perahu serta ayah Kana. Kana ingin berteriak tapi mulutnya dibungkam Purple. Dia menangis dalam dekapan tangan Purple. Tangis yang tak berhenti walau telah kembali ke rumah.

Mengingat itu membuat Kana jatuh berlutut dan butir – butir airmatanya berjatuhan. “maaf kan Kana ayah, maaf…..” Ingatan tentang kejadian ini sengaja Purple tutup dari benak Kana. Kana hanya ingat ayahnya hilang dilautan. Menerima begitu saja, bahkan perlahan Kana melupakan keberadaan Purple. Tapi mengapa sekarang Purple memanggilnya? Dulu dia menghilangkan ingatan Kana, tapi sekarang dia mengembalikannya, semua. Kana menghentikan tangisnya. Rasa benci pada tetua duyung memenuhi relung hatinya. Bukan saatnya menangis dan meratapi penyesalan tapi rasa dendam lah yang harus dituntaskan. Malam ini, malam ini akan kuselesai kan. Ucap Kana didalam hati.

Selasa, 13 Desember 2011

Duyung di Lautan 2


Sinar matahari diam-diam menyusup masuk melalui celah-celah kain gorden seolah ingin menunjukan pada penghuni rumah kalau malam telah berganti pagi. Kana telah bangun dari tadi. Lebih cepat dari matahari. Bukan karena mimpi buruk tapi lebih tepatnya mimpi aneh. Ya, mimpi aneh yang hanya berisi suara nyanyian kesepian yang begitu menyentuh kalbu Kana. Siapakah? Darimanakah? Lantunan melodi itu seperti ilusi, ilusi yang begitu nyata. Rasa bingung dan penasaran membalut pagi Kana, terasa ketat dan memenuhi benaknya. Dia bangkit dan segera mandi lalu menyantap sepotong roti hanya sepotong, sebenarnya Kana tak ingin sarapan tapi merasa tak enak karena istri Hendu telah menyiapkan sarapan untuknya.
Kana kemudian pamit dan pergi untuk menuntaskan rasa penasarannya.

Bau amis bertebaran memenuhi penciuman Kana. Udara bercampur dengan bau makhluk lautan yang ditangkap demi memenuhi nafsu makan manusia. Kana mengedarkan pandangannya mencari sosok adiknya. Sosok tegap dan kekar itu berdiri diantara nelayan-nelayan yang mengumpulkan hasil tangkapan mereka. Sosok Hendu mengingatkan Kana pada ayah mereka. Sosok tegas dan pendiam yang sangat dihormatinya. Tapi sifat Hendu berbeda dengan ayah, adiknya memiliki kelembutan bunda.
"Du, boleh pinjam kapal boat mu? Yang kecil saja." Kana yang telah berdiri disamping saudaranya bertanya tanpa basa-basi. Hendu mengerutkan keningnya.
"buat apa?"
"hanya ingin menjelajahi lautan. Sudah lama aku tak menjenguk laut kita" Hendu terlihat mempertimbangkan tapi kemudian dia mengangguk.
"baiklah. Pakailah. Tapi jangan lama-lama dilautan. Hari terlihat mendung dan seperti nanti siang hujan akan turun."
"siap bos." Kana memperlihatkan cengirannya dan segera berlalu sebelum Hendu membatalkan persetujuannya.

Pelayaran kecil, mungkin begitulah yang dilakukan Kana. Menjalankan kapalnya menuju arah lautan yang banyak dihindari nelayan tapi berusaha bergerak tanpa kentara agar para nelayan yang masih berburu dilautan tak mencurigai dia menuju tempat terlarang. Matahari pagi masih bersinar memantul di atas permukaan laut seolah batu berlian jatuh berserakan. Kana heran mendengar pernyataan Hendu yang menyebutkan kalau hari akan hujan, bagi penglihatan Kana langit terlihat begitu cerah. Bahkan angin pun bertiup perlahan menyentuh kulit Kana.

"engkau datang, engkau datang oh wahai kekasih. Disini aku berada, disini menantimu. Kemarilah kasih, kemarilah..." suara nyanyian itu lagi. Kini Kana yakin itu bukan sekedar ilusi, itu bukan khayalannya.
"siapa itu? Dimana kamu?" teriak Kana memecah kesunyian lautan. Tak ada sautan. Kana mematikan mesin boatnya. Berdiri dalam diam mengedarkan pandangan keseluruh lautan mencari dan terus mencari.
"hai pemilik suara indah tunjukanlah dirimu? Jangan bersembunyi. Aku ingin menemuimu." angin berdesir mengantarkan suara Kana pada lautan.
"engkau tak takut? Tak takut pada cerita-cerita menyeramkan tentang kami?" sahutan berupa nyanyian berkumandang tapi tetap saja Kana tak bisa melihat si pemilik suara.
"takut? Aku bahkan tak tahu siapa dirimu? Bagaimana aku bisa takut."
"seharusnya kamu takut. Ah,kamu tak pernah berubah Kan." Kan? Panggilan itu terasa sangat akrab ditelinga Kana tapi entah mengapa seolah ada kabut yang menutupi ingatannya.
"apakabar Kan?" suara itu terdengar begitu dekat. Kana segera membalikkan badannya. Dipinggir boatnya bersandar seorang gadis cantik berambut panjang. Gadis itu menyandarkan lengannya, sementara sebagian tubuhnya terbenam dilautan. Kana terdiam. Diperhatikan sosok indah dihadapannya. Indah, bagai lukisan dewa yang tak terlihat cacatnya sama sekali.
"siapa kamu? Apa aku mengenalmu?"
"ah ya, kamu pasti telah melupakan ku. Ingatkah kamu dengan ini?" gadis itu menurunkan lengannya dari boat lalu berenang perlahan disekitar perahu. Kana kini melihat dengan jelas sirip-sirip ikan yang membungkus tubuh bawah gadis itu. Gadis itu meliuk dengan indah bersama lautan.
"kamu putri duyung?apakah aku akan dibawa kedalam lautan?"
"sudah ku bilang seharusnya kamu takut pada ku." gadis itu tertawa kecil. "kamu tak pernah berubah Kan." senyum itu, senyum yang mengingatkan Kana tentang masa kecilnya.
"Purple...kamu kah itu?"
"ah...akhirnya kamu ingat. Selamat datang kembali dan aku ingin mengembalikan senyum ceriamu lagi" mendengar itu Kana terdiam. Lama. Dia memandangi langit yang sekarang telah berubah menjadi kelam, sekelam hatinya.
"sepertinya aku harus pulang."
"kamu akan datang kesini lagi kan?"
Kana tersenyum lalu menjawab. "ya, aku pasti akan datang lagi. Begitu banyak kisah yang ingin kudengar."
"ya...berjuta rindu dan kisah."

Kamis, 08 Desember 2011

Duyung di Lautan

bau amis yang diterbangkan angin malam tak membuat Kana bergeming. Dia duduk di atas bebatuan dan menatap kosong lautan yang berkilau oleh cahaya bulan yang membayang di riak – riak kecil air laut. Kana memeluk kedua lututnya, bukan karena dinginnya angin malam tapi lebih karena dia ingin menghilang dan tak terlihat oleh siapa pun. Kampung halamannya ini tak banyak berubah setelah sekian tahun ia tinggalkan. Bahkan dermaga kecil ini juga tak banyak berubah. Kapal – kapal kecil tetap bersandar dan berlayar dari dermaga ini. Bahkan bau amis di dermaga ini masih sama. Pandangan kosong Kana berhenti pada satu titik ketika dia melihat permukaan laut seolah sedang menari dan menimbulkan riak yang terdengar sampai ditempat Kana duduk. Ah, mungkin itu hanya ikan – ikan yang bermain riang di atas permukaan laut, gumam Kana dalam hati. Dia kembali meneruskan lamunannya. Lamunan yang berlari ribuan kilometer dari tempatnya sekarang. Lamunan yang tak ingin diingat lagi tapi tak bisa dilupakan.



“oh wahai cahaya bulan, mau kah engkau jatuh menimpaku, ya menimpaku bukan lautan ini. Aku ingin menjadi terang dan terlihat oleh kekasih ku. Oh wahai bulan bermurah hati lah. jadi lah jembatan untuk mempertemukan ku dengan kekasih ku. Oh wahai bulan, hanya malam tak perlu pagi, hanya malam kau berikan cahaya mu padaku……..”

Kana tersentak dari lamunannya. Suara nyanyian yang terdengar dari jauh tapi begitu jelas membuat Kana bangkit dari tempat nya duduk tadi. Dia mencari asal suara nyanyian itu. tapi yang terdengar sekarang hanya suara angin malam yang bertalu – talu digendang telinga Kana. Ilusi kah itu? atau….tapi Kana terlalu naïf untuk mempercayai hal gaib. Dia menggeleng – geleng kan kepalanya dan mengambil keputusan kalau suara nyanyian itu hanya ilusi nya saja.

“Kak, ayo pulang.” Suara berat itu tak mengagetkan Kana, karena dia tahu itu suara Hendu, adik kembarnya. Hendu tersenyum padanya dan menatap Kana dengan serius.

“ada sesuatu?” tanya Hendu. Kana mengangkat bahunya tanda tak mengerti.

“seperti ada sesuatu, tapi ya sudah. Ayo pulang. Angin malam bisa menjerat mu masuk kedalam lautan.” Mendengar ocehan Hendu, Kana tertawa. “Ah Du, kata – kata mu benar – benar menyadarkan ku kalau aku sudah pulang kekampung halaman kita.”

“kamu masih seperti dulu, tidak percaya dengan cerita – cerita mistis di desa kita. Padahal cerita – cerita itu begitu indah sampai kadang aku tak ingin terpejam demi mendengar semua kisah di desa kita ini.”

“bukan kah semua itu hanya tahayul. Cerita yang didongengkan Bunda untuk menakuti kita agar kita tak nakal. Cerita yang sama yang didendangkan setiap rumah agar anak – anak tak berulah.”

“ah sudah lah Kak, aku tak mau berdebat dengan mu. Ini tak aka nada habisnya. Ayo pulang atau kamu mau aku menyeret mu pulang.” Kana tersenyum dan merangkul bahu saudaranya itu.

“iya, ayo pulang.” Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan yang sudah sepi.

“Kak, jangan sering – sering melamun disini. Bahaya. Melamun lah dirumah saja. Toh hanya ada aku dan Miti.”

“aku tak enak mengganggu penggantin baru.” Seringai Kana membuat Hendu salah tingkah.

“kamu kan hanya melamun, jadi tak mungkin menggangu kami. Kak, aku serius. Jangan sering – sering kesini malam – malam.”

“apa ada hantu yang bakal menculik ku?” tanya Kana dengan nada bercanda tapi Hendu menjawab dengan serius. “Bukan hantu, tapi ikan duyung. Mereka senang menjerat orang – orang kesepian. Mereka akan menghipnotismu dengan suara nyanyian merdu mereka dan setelah kamu terpesona mereka akan mengajak mu kedasar lautan lalu memakan dagingmu.” Kana menatap Hendu dan tertawa terbahak – bahak. Hendu yang melihat Kana tertawa mendengar ceritanya memasang tampang marah.

“hahaha..ya, maaf – maaf. Aku hanya tak habis piker bagaimana bisa kamu percaya cerita seperti itu. itu dongeng untuk anak – anak. Oh ayo lah Du, zaman sekarang tak ada lagi hal seperti itu.” Hendu menghela napasnya.

“terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi berhati – hati lah. ikan duyung itu menjelma menjadi putri duyung yang cantik. Wajah molek mereka akan membuat mu terpesona, suaranya akan meghipnotismu. Kita manusia yang bernapas dengan paru – paru tak akan bertahan hidup didalam lautan. Jangan sampai jatuh cinta pada mereka.” Kana tersenyum dan menatap langit berbintang. Dengan suara lirih Kana berkata, “seandainya saja aku bisa jatuh cinta lagi.” Hendu menepuk bahu saudaranya. “aku senang kamu pulang Kak.” Mendengar itu Kana memeluk pinggang Hendu. Mereka berjalan kembali dengan Kana yang masih melingkarkan tangannya dipinggang Hendu. “Terimakasih Dik.” Bisik Kana.