Minggu, 15 Desember 2013

PERMAINAN



Aku sedang melakukan suatu permainan. Permainan yang pasti pernah dilakukan oleh setiap orang, ya walaupun tidak semua orang mau mengakuinya. Permainan ini tidak rumit tapi tidak juga mudah. Aku sudah sering memenangkan permainan ini dan rahasianya tentu saja tidak akan kuberitahu. Baiklah, aku akan bercerita tentang salah satu kisah saat permainan ini kulakukan. Simak dan lihat saja sendiri apa rahasia dalam memenangkan permainan ini.

Akisa memandang senang saat pesan singkat dari Regi muncul di handphonenya. Sudah dua minggu Akisa dan Regi bertukar sapa di facebook maupun twitter dan baru ini Regi memberanikan diri meminta pin BB Akisa. Canda, celotehan dan entah bahasan apa saja mereka obrolkan sampai Akisa lupa sudah berapa jam dia dan Regi saling berbalas BBM. Akisa menaruh harap pada Regi. Sosok wanita yang menurut Akisa dewasa, cerdas juga humoris. Semula Akisa terjun ke dunia maya hanya untuk mengenal lebih jauh dunia yang selama ini takut untuk diakuinya tapi semakin lama semakin Akisa tidak bisa membohongi kalau dirinya adalah wanita pecinta wanita. Mengenal sosok Regi yang bijak juga selalu memperingati Akisa tentang bahaya dunia maya makin membuat Akisa menyukai Regi. Tapi Akisa hanya berani berharap, tidak ingin merusak pertemanan yang telah terjalin.

Hujan mengguyur kota Akisa dengan deras. Sebersit cemas hadir saat Akisa memandang dari kaca jendela. Cafe ini sepi dan memang itu yang diharapkan Akisa tapi hujan bukan yang diharapkannya. Akisa takut Regi tak jadi datang, apalagi jarak kota Regi dan kotanya dua jam perjalanan. Semalam Regi berkata akan menggunakan sepeda motor dan itu makin membuat cemas Akisa kalau Regi membatalkan pertemuan pertama mereka. Saat sebuah sosok wanita yang Akisa tahu adalah Regi masuk kedalam cafe, Akisa langsung tersenyum senang. Kecemasannya tidak terbukti. Meski bahu jaketnya sedikit basah tapi Regi datang juga.
“Hujannya deras banget. Sorry ya telat.”
“Enggak apa – apa kok. Tahu nih, kok malah hujan hari ini.” dan percakapan mereka pun mengalir, melebur seolah mereka sudah sering bertemu.

Yusi, gadis yang menurut Akisa lembut dan pemalu hari ini menampilkan status penuh dengan kemurungan. Akisa mengerutkan dahi saat membaca status Yusi. Mereka sudah saling mengenal dan rasanya sudah sepatutnya Akisa bertanya ada apa.
“Maaf ya, tiba – tiba langsung meminta nomor handphonemu. Rasanya tidak enak mengobrol melalui chat FB.” Suara lembut Yusi menyapa Akisa setelah Akisa memberikan nomor handphonenya tadi saat mereka berbalas pesan.
“Enggap apa – apa kok. Aku malah senang kamu mau bercerita. Setidaknya aku berharap setelah kamu bercerita, kamu tidak murung lagi.” Akisa berucap tulus.
“Saya mulai dari mana ya, hem...sebenarnya ini masalah dengan teman FB juga. Kamu pasti tahu Ela kan? Saya dan Ela bertengkar. Dia menuduh saya merebut pacarnya.” Tentu Akisa tahu siapa Ela. Ela adalah kakak angkat Yusi dan ucapan Yusi membuat Akisa heran. Biasanya mereka terlihat akrab di FB.
“Maaf kalau saya lancang, tapi apa kamu memang merebut pacar Ela?”
“Saya tidak merebut. Pacar Ela sendiri yang mendekati saya, dia bilang dia dan Ela bertengkar jadi saya hanya menasehati dia. Saya tidak tahu kalau akhirnya pacar Ela jadi menyukai saya. Saya sudah menjelaskan semua itu pada Ela tapi dia tidak peduli. Saya bahkan tidak berpacaran dengan pacarnya.” Tiba – tiba Akisa mendengar tangis Yusi dari seberang telepon. Hati Akisa terenyuh.
“Ini hanya salah paham. Yang sabar ya. Semoga Ela bisa mengerti.”
“Iya, makasih ya kamu sudah mau mendengar cerita saya.”
“Sama – sama. Kita kan teman jadi kapan pun kamu mau cerita, silahkan saja.”
“Kamu juga Akisa, kapan pun kamu mau cerita saya selalu siap.”

Semenjak itu Akisa dan Yusi mulai akrab. Akisa menilai Yusi adalah teman yang baik. Karena pertemanan mereka pula, Regi jadi berubah sikap. Marah dan cemburu.
“Kamu dan Yusi pacaran?” pertanyaan itu langsung terlontar begitu mereka bertemu kembali di cafe yang sama.
“Pacaran? Hahaha....ya enggak lah. Yusi itu sukanya Butchi, aku juga. Kami sama – sama femme jadi bagaimana kamu bilang pacaran.”
“Tapi kalian akrab banget. Kalau aku bbm pasti kamu bilang tadi si Yusi habis telepon.” Nada suara Regi masih terlihat kesal.
“Kamu cemburu ya?” dan pertanyaan yang dilontarkan Akisa sontak membuat pipi Regi memerah. Akhrinya Regi menganggukkan kepala. Dia memberanikan diri mengucapkan perasaannya pada Akisa.
“Aku suka kamu Sa. Jatuh cinta sama kamu.” Kali ini pipi Akisa yang memerah dan ketika Regi memintanya menjadi gadisnya, Akisa langsung mengiyakan. Dia juga memiliki perasaan yang sama terhadap Regi.

“Jadi kamu dan Regi sudah jadian? Selamat ya.” Nada riang Yusi makin membuat hati Akisa berbunga – bunga. Begitu pulang dari cafe, Akisa langsung mengabari Yusi. Dia ingin berbagi kebahagian.
“Saya jadi ingin ketemu sama kamu dan Regi deh. Ingin melihat pasangan berbahagia.”
“Gimana kalau kita janjian ketemuan? Bulan depan aku mau ke kota Regi, kamu mau tidak kesana juga? Kan tidak jauh dari kotamu.” Akisa mengusulkan. Mengingat kota Regi berada ditengah kotanya dan kota Yusi. Yusi berteriak senang dan berjanji kalau bulan depan akan menyumpai mereka.

Semula Regi keberatan Yusi ikut dalam kencan mereka tapi setelah Akisa mengyakinkan kalau Yusi adalah teman baiknya akhirnya Regi mengalah. Mereka berkenalan dan bersenang – senang bersama. Regi merupakan pemandu yang baik, membawa mereka mengelilingi kotanya. Saat malam tiba, Regi yang memiliki apartemen sendiri mengajak Akisa untuk tidur dikamarnya. Akisa tentu mau tapi tidak enak dengan Yusi yang akan tidur sendirian.
“Tidak apa – apa kok. Kalian kan baru kali ini nginap bareng.” Yusi berkata bijak. Akisa makin tidak enak, maka dengan meminta maaf dan pengertian Regi akhirnya mereka tidur bersama. Tiga orang dalam satu kamar.
“Kamu memang gadis yang baik hati, aku makin mencintaimu.” Sebelum tidur Regi mengecup bibir Akisa. Akisa segera membalas ciuman itu, meski hanya sebentar tapi jantung Akisa berdetak kencang. Akisa berpaling pada Yusi yang tidur disebelahnya, terlihat sudah pulas. Akisa memang berharap Yusi tidak menyaksikan ciuman mereka tadi.

Terimakasih, Akisa. Sudah mau mengajakku jalan – jalan dan mengenal Regi yang baik hati.
 Status terbaru Yusi di FB membuat Akisa tersenyum dan langsung meng-like dan membalas status itu. Sepuluh menit kemudian, muncul pesan di inbok Akisa. Dari Ela. Meski agak bingung, Akisa membuka pesan itu juga.
Aku hanya ingin memperingatkan, jangan membiarkan Yusi dekat – dekat dengan pacarmu kalau tidak mau sakit hati. boleh percaya atau tidak.
Hanya itu pesan tersebut. Terbesit rasa tidak enak tapi selama ini Yusi selalu baik dan mungkin Ela masih marah mengenai kejadian dulu. Akisa mengabaikan pesan itu. Dia memilih mengirim bbm pada kekasihnya.

Setumpuk tugas kuliah membuat Akisa harus fokus apalagi nilai nya sempak anjlok begitu dia terlalu hanyut dalam percintaannya dan lupa untuk belajar. Akisa meminta pengertian Regi kalau mungkin dia akan lebih mengurangi bbm dan percakapan mereka ditelepon.
“Tidak apa – apa sayang. Sebentar lagi kan sudah mau ujian semester. Kamu harus konsentrasi. Masak pacarku nilai ipk nya jelek. Yang semangat ya sayang.”
“Makasih ya cinta. Cinta juga semangat ya. Jangan ngebbm wanita lain ya mentang – mentang adik lagi sibuk belajar.”
“Hahaha...adik ada – ada saja. Iya sayangku, cintaku.”

Ada sesuatu yang dilupakan Akisa. Yusi. Dia dan Regi waktu berkenalan dulu telah bertukar nomor telepon dan pin BB. Akisa tidak mengira Yusi menggantikan posisinya bertukar pesan dan percakapan dengan Regi saat dirinya sedang sibuk belajar. Akisa baru tahu setelah Regi bercerita kalau siang tadi dia dan Yusi rupanya memiliki kesamaan yang sama dalam hal menonton film horor.
“Kenapa Yusi bbm sayang?”
“Namanya juga teman, kan wajar saja. Adik cemburu ya? Hahaha...tenang saja sayang, kami cuma ngobrol biasa saja kok.” Akisa mempercayai kata – kata Regi. Apalagi setelah dia bertanya pada Yusi dan dia malah ditertawai.
“Ya ampun, Akisa. Tenang saja, Regi itu bukan tipe saya. Hahaha...kamu ada – ada saja deh. Saya menganggap Regi itu hanya sebatas kakak yang baik. Masak saya mau merebut Regi dari kamu. Ada – ada saja.” Dan perkataan Yusi membuat hati Akisa lega.

Setelah ujian semester selesai, Akisa langsung bersorak senang. Akhirnya dia terbebas dan Akisa yakin nilainya pasti akan bagus. Liburan semester ini dia sudah berencana mengunjungi Regi. Regi menyambut Akisa di apartemennya. Ada sesuatu diwajah Regi yang membuat Akisa bingung.
“Ada apa sayang. Kok kayaknya kamu cemberut.”
“Enggak kok.” Jelas Regi sedang berbohong dan Akisa terus bertanya.
“Oke, aku lihat kamu dan Sera akrab sekali. Kalian kan baru temanan di FB, tapi kok akrab banget.” Akhirnya Regi mengucapkan apa yang membuatnya kesal.
“Ya ampun sayang, adik dan Sera hanya teman. Adik menganggap Sera itu lucu, ya hanya sebatas itu.”
“Tapi bisa saja lama – lama adik jadi suka sama dia. Dan akhirnya selingkuh. Sudah sering banget kejadian seperti itu. Yusi saja bilang kalau Sera sepertinya punya maksud tertentu dengan adik.”
“Yusi? Kok dia...jadi sayang curhat sama Yusi?” Cemburu menyeruak masuk kedalam hati Akisa.
“Ya, tapi bukan itu intinya. Aku tidak mau adik jadi suka dengan Sera.” Meski masih belum memulihkan rasa cemburu tapi Akisa berusah menahannya. Regi lebih terlihat cemburu dan Akisa tidak ingin pertemuan mereka rusak gara – gara salam paham yang tak berarti.
“Maaf sayang kalau adik sudah membuat sayang jadi berpikiran seperti itu. Adik janji akan menjauhi Sera.” Mereka tidak melanjutka adu mulut lagi tapi saling memeluk. Begini lebih baik. Akisa tahu Regi hanya tidak ingin kehilangan dirinya.

Boleh saja Akisa berencana tapi rencana tetap hanya rencana. Sera sama sekali tidak mau menjauhi Akisa meski Akisa sudah berkata kalau pacarnya tidak menyukai kedekatan mereka. Sera menganggap Regi kekanak – kanakan. Toh dia hanya berteman tidak ada maksud lain jadi dia tidak mau dilarang berteman dengan siapa pun kecuali kalau dia ada salah. Akisa tidak bisa mematahkan perkataan Sera. Ucapan Sera ada benarnya. Tapi Regi mempunyai pikiran lain. Dia marah melihat Akisa masih berteman akrab dengan Sera. Akisa berusaha menjelaskan tapi Regi sudah kepalang marah. Tidak mau membalas pesan maupun telepon Akisa. Akisa panik, tanpa berpikir panjang segera menaiki bus untuk pergi ke kota Regi. Akisa berharap penjelasan langsungnya bisa membuat hati Regi melunak.

Baru saja Akisa melangkah ke loby apartemen saat dia melihat Yusi keluar dari pintu lift. Akisa terkejut begitu pula dengan Yusi.
“Ngapain kamu kesini?” Kecurigaan datang dan membuat kata dari mulut Akisa menjadi ketus.
“Saya kebetulan sedang mengunjungi tante yang ada di kota ini. Dan saat saya memberitahu Regi, dia meminta saya mengunjunginya. Tadinya kami mengobrol tentang dirimu tapi Regi...” Yusi tidak jadi melanjutkan kata – katanya. Dia menunduk.
“Regi kenapa?” Yusi penasaran. Memaksa Yusi melanjutkan perkataannya.
“Maafin saya, Akisa. Saya sama sekali tidak bermaksud apa pun. Memang selama ini Regi sering curhat tentang hubungan kalian, tentang hidupnya juga tapi saya sama sekali tidak tahu kalau...kalau Regi menjadi...menjadi jatuh cinta dengan saya. Maaf, Akisa. Maaf.” Linangan airmata Yusi membuat Akisa terhenyak.
“Saya sudah menolak Regi, maaf. Saya pulang dulu.” Yusi segera pergi tanpa menunggu Akisa menanggapi ceritanya. Ada sesuatu, Akisa yakin itu. Dia masuk kedalam lift.

Regi tampak terkejut tapi mepersilahkan masuk Akisa. Dia masih terlihat marah. Akisa tidak duduk. Dia langsung bertanya pada Regi.
“Tadi Yusi kesini?”
“Iya, katanya sekalian mampir. Dia lagi berkunjung dirumah tantenya.”
“Bukan sayang yang memintanya kesini?” Wajah bingung Regi segera membuat Akisa yakin dengan pikirannya tadi. Akisa tidak membicarakan lagi tentang kedatangan Yusi tadi, dia ingin meredakan amarah Regi. Dihadapan Regi, Akisa menghapus nama Sera dari daftar pertemannya. Meski masih marah tapi Akisa bisa melihat senyum diwajah Regi. Mereka berbaikan. Dalam pelukan Regi malam itu, Akisa tahu Yusi sudah melakukan permainan licik. Yusi ingin menghancurkan hubungannya dengan Regi, seperti yang dulu dia lakukan dengan hubungan Ela. Akisa tidak akan tinggal diam. Dia bukan Ela. Yusi harus dibalas atau akan ada korban yang lain lagi.

Lagi – lagi wajah terkejut. Kali ini Yusi yang terkejut. Dia berharap yang mengetuk kamar hotelnya adalah Regi tapi ternyata Akisa lah yang berdiri didepan kamarnya.
“Aku membaca pesanmu di handphone Regi. Dia sedang sibuk, jadi mungkin tidak akan datang. Kamu bilang kamu mengunjungi tantemu. Kok tidak menginap disana malah di hotel.”
“Eh...saya tidak mau merepotkan tante.”
“Sudahlah, aku tahu kamu hanya berbohong. Aku sudah tahu semua niat jahatmu. Aku bukan orang jahat sepertimu, jadi sebelum aku juga jadi jahat dan membeberkan semua kelicikanmu, aku mau kamu pergi dari hidupku maupun hidup Regi. Sekarang juga hapus semua nomor handphone, pin, akun FB, semuanya. Aku ingin kamu menghilang dari hidup kami.”
“Baik...baiklah.” Setelah Yusi melakukan semua permintaan Akisa, Akisa pun tersenyum puas. Dia segera melangkah keluar dari kamar hotel.
“Jangan pernah muncul lagi dihadapanku.” Sebelum benar – benar pergi, sekali lagi Akisa memperingatkan Yusi.

Regi berjalan dengan terburu – buru. Melihat Yusi yang menangis makin membuat hati Regi remuk. Yusi yang melihat kedatangan Regi segera menghambur kepelukan Regi.
“Maafin saya, saya sudah melarang Akisa jangan pulang dulu tapi dia bilang mau makan siang bareng kamu. Dia buru – buru saat menyeberang jalan dan tertabrak mobil. Saya melihat itu dan tidak bisa menolongnya.” Tangisan Yusi pecah. Regi memeluk Yusi. Hatinya hancur. Dia sama sekali tidak mengira telepon Yusi tadi adalah berita buruk. Akisa meninggal tidak lama setelah dibawa ke rumah sakit.

Lihat, bukankah gampang melakukan permainan ini. Tentu kalian sudah tahu rahasiaku. Ya, jangan menaruh belas kasihan dalam permainan itulah rahasianya. Dua bulan sudah berlalu semenjak kematian Akisa dan tentu saja aku membantu proses kematian Akisa. Bukankah dia sendiri yang meminta aku tidak muncul dihadapannya lagi. Aku mengabulkannya dan mendorongnya ketika dia akan menyebrang jalan. Suasana ramai membuat tindakanku tidak diketahui siapapun. Oh ya, Regi yang hancur hatinya dengan mudah kutaklukan. Kami kini kekasih. Mencintainya? Mungkin lebih tepat aku mencintai kekayaannya. Untuk saat ini dia korbanku dan kalau aku bosan tinggal melakukan permainan lagi dan mencari mangsa baru. Itu permainan mudah untukku.

Kamis, 28 November 2013

Kucing Hitam

“Kamu tahu tidak mengapa aku memelihara kucing hitam?” Dia bertanya sambil mengendong kucing kecil berwarna hitam legam. Kucing yang semula tak kusetujui untuk dipelihara. Aku tahu dia pecinta kucing dan aku juga menyukai kucing tapi tidak dengan kucing hitam. Kucing yang menurut mitos adalah kucing pembawa sial. Aku menggeleng, lebih karena malas menanggapi perkataannya.
“Kalau kamu ninggalin aku dan aku mati, maka jiwa ku akan masuk kedalam tubuh kucing ini. Lalu aku yang sudah menjadi kucing akan mendatangimu.” Dia berkata dengan wajah serius. Aku menatapnya.
“Sinting.” Hanya itu ucapanku tapi dia malah tertawa terbahak – bahak.

Sembilan tahun telah berlalu dan aku tiba – tiba teringat dengan kata – katanya ketika Bumi, anakku membawa seekor kucing hitam dalam gendongannya.
“Ma, lihat kucing ini. kasihan kakinya luka.” Bumi mengangkat kucing hitam itu agar aku bisa melihat. Telinga kiri yang memiliki bekas sompel membuatku terkesiap. Sama persis seperti kucing miliknya. Mungkin hanya kebetulan. Aku membatin.
“sayang obati setelah itu kasih makan. Tapi tidak boleh dipelihara ya.”
“Tapi kan kasihan Ma.”
“Papamu kan alergi kucing sayang.” Aku mengelus kepala anakku. Dia mengangguk mengerti lalu membawa kucing itu kebelakang rumah.

Jauh sebelum aku menikah, aku dan dia adalah sepasang kekasih yang bahagia. Berkenalan didunia maya lalu berlanjut didunia nyata. Ah ya, biar kuperjelas, aku pecinta wanita jadi dia adalah wanita tentu saja. Namanya, ah...sepertinya tak perlu kusebutkan. Cukup hanya menjadi kenanganku saja. Dia sudah hilang, sembilan tahun yang lalu. Seminggu sebelum pernikahanku. Pernikahan yang mungkin batal kalau saja dia tidak menghilang. Tapi mungkin ini yang terbaik. Apa yang akan dikatakan keluargaku jika aku malah memilih perempuan dibanding pria baik hati yang bersedia menerimaku meski dia tahu masa laluku.
“Jangan mencoreng nama keluarga ini. Kalau kamu tidak memikirkan Mama dan Papa, pikirkanlah adik – adikmu. Jangan egois.” Itu perkataan Mama yang membuatku terduduk diam kala aku ingin kabur. Mungkin dia marah saat aku memilih memutuskannya. Dia yang posesif tentu tidak mau menerima hal itu. Menghilang, ya mungkin itu lebih baik untuknya dan juga untukku.

Suami ku pulang dan langsung bersin – bersin. Sepertinya Bumi masih belum mengembalikan kucing hitam itu kejalan.
“Padahal tadi dikantor saya baik – baik saja. Kok tiba – tiba bersin ya?”
“Mungkin gara – gara bulu kucing yang dibawa Bumi tadi, Bang. Bumi, sayang...” Anakku muncul saat kupanggil dan kucing hitam ini malah masih dalam gendongannya. Bersin suamiku makin menjadi.
“Sayang, kan Mama sudah bilang kalau kucing itu mesti sudah dikembalikan ke jalan. Lihat Papa jadi bersin – bersin.”
“Tapi Bumi kasihan, Ma. Milo jalannya masih pincang.” Aduh, sekarang kucing itu malah sudah diberi nama. Aku segera membawa Bumi ke teras sebelum suamiku marah.
“Dengar sayang, bagaimana kalau kita titip kucing ini di Pos Pak Supri. Tapi Bumi janji ya tidak boleh membawa kucing nya kedalam rumah dan kalau mau masuk ke rumah, Bumi harus membersihkan diri dulu. Biar bulunya enggak nempel dibaju Bumi.” Aku mencari solusi. Anakku tentu tidak akan melepas kucing itu begitu saja. Bumi langsung tersenyum senang dan menganggukkan kepalanya. Tapi aku melihat sesuatu yang aneh. Kucing itu menatapku. Tatapan yang tajam. Ah, mungkin hanya bayanganku saja.

Semenjak itu kucing hitam yang kini diberi nama Milo menjadi peliharaan anakku. Semula suamiku tidak setuju tapi ketika Bumi menangis saat Suamiku menyuruh Pak Udin, supirnya untuk membuang kucing itu akhirnya suamiku mengalah. Entah mengapa aku merasaka keterikatan terhadap kucing hitam itu. Saat aku lewat di os Pak Supri, kucing itu selalu mengeong. Bukan suara meongan yang biasa tapi suara yang menyayat hati.
“Suara kucing nya aneh ya Pak.” Aku bertanya pada Pak Supri tapi satpamku itu malah mengernyit heran mendengar pertanyaanku.
“Enggak ah Bu. Biasa saja. Mungkin karena Ibu tidak pernah melihara kucing.” Aku tidak membalas ucapan Pak Supri karena kucing itu sekarang malah menatapku tajam.

Malam itu aku bermimpi. Aku berada dalam ruang yang gelap tapi aku bisa melihat kucing hitam itu. Dia menatapku lalu mengeong, suara yang begitu menyayat hati. Lalu dari kedua bola matanya keluar airmata. Aku terkesiap dan terbangun. Mimpi aneh. Bulu kudukku meremang. Tidak itu hanya sekedar mimpi, aku berusaha mengyakinkan hatiku.

Kedatangan Mama yang tiba – tiba sama sekali tidak membuat hatiku makin tenang. Mama bukan tipe Ibu yang lembut dan menenangkan putrinya. Mama keras dan harga dirinya lebih penting daripada kebahagian anaknya.
“Kata Andy akhir – akhir ini kamu sering melamun. Dia takut kamu banyak pikiran jadi meminta Mama menemanimu. Ada apa? Jangan bilang kamu melakukan hal itu lagi.” Hal itu yang dimaksud Mama tanpa perlu beliau ucapkan pun aku paham.
“Tidak Ma. Aku sudah memiliki Andy dan Bumi. Aku tidak berhubungan lagi dengan wanita mana pun.” Aku menatap Mama dengan jengkel tapi Mama sepertinya tidak peduli.
“Syukurlah kalau begitu. Cukup sekali kamu hampir menghancurkan nama keluarga kita. Ingat ini Rosa, Andy itu pria yang baik. Dia mau menerimamu meski kamu itu ‘sakit’! jadi jangan macam – macam.” Aku memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mama. Dia selalu menganggap apapun yang keluar dari mulutnya adalah hal yang benar. Sebagai anak sulungnya aku cukup paham.
“Oh ya, ada sebuah berita. Sebenarnya tidak penting sih. Tapi sebaiknya kamu tahu supaya kamu tidak berharap lagi. Seminggu yang lalu Mama tidak sengaja bertemu dengan Pak Danu. Dia bercerita kalau Juana baru meninggal.” Mama bercerita dengan santai seolah itu adalah cerita biasa. Aku jatuh terduduk. Pak Danu adalah pemilik kost dimana aku dan kekasihku menetap dulu sebelum ketahuan oleh Mama. Dan tentu saja Joana adalah kekasihku. Sakit yang teramat sangat menyerang jantungku. Kucing hitam itu datang dan menatapku. Tatapan tajam serta suara eongan yang menyayat.

Aku harus mencari tahu. Tentu saja setelah Mama kembali ke rumahnya. Mama pasti tidak akan senang kalau aku mencari tahu tentang Juana. Aku meminta izin untuk pergi keluar kota. Melayat teman sekolah, itu alasanku pada Andy. Dan dia percaya. Tak peduli berapa jarak yang mesti kutempuh. Aku mengendarai mobil empat jam lebih tanpa istirahat. Rumah kost itu terlihat lebih tua. Pak Danu terlihat duduk di teras. Dia terkejut melihat kedatanganku.
“Eh, Athisa. Ada apa ya?” Sekilas aku melihat rasa bersalah dari Pak Danu. Ya, dia memang pantas merasa bersalah. Dialah yang melaporkan pada Mama tentang hubunganku dengan Juana. Mungkin dia sering mengintipi kamar kami hingga tahu kami sepasang kekasih.
“Apa betul Juana sudah meninggal?” Aku tak berbasa – basi. Pak Danu terhenyak tapi hanya sebentar. Pak Danu menganggukkan kepalanya.
“Bapak tahu dari mana? Dulu Bapak bilang tidak tahu kemana Juana. Mengapa Bapak bisa tahu dia sudah meninggal?” Aku tidak bisa menahan diri. Berbagai pertanyaan langsung keluar dari mulutku.
“Bapak sebenarnya tahu dimana Juana berada hanya saja Bapak sudah berjanji tidak akan memberitahumu. Dia dan suamimu bertemu disini seminggu sebelum pernikahanmu. Suamimu memintanya menjauh darimu tapi dia tidak mau. Mereka bertengkar hebat. Bapak tidak tahu harus membela siapa dan saat bertengkar tanpa sengaja suamimu mendorong Juana. Juana terjatuh dari tangga. Kami segera membawanya kerumah sakit. Bapak tidak mengerti dengan istilah medis yang diberitahu dokter. Yang jelas setelah terjatuh, saraf Juana ikut terantuk. Dia lumpuh dan selama ini dia dirawat di rumah sakit. Suamimu lah yang membiayai perawatan Juana. Dia meminta Bapak merahasiakan semuanya. Maafkan Bapak. Bapak merasa berdosa, Bapak tidak sanggup merahasiakannya lagi. Sepuluh hari yang lalu Juana tidak sanggup lagi bertahan. Dia menghembuskan napas terakhirnya.” Wajah Pak Danu keruh dan begitu pula denganku. Tenggorakanku tercekat. Selama ini, ternyata selama ini suamiku yang memisahkanku dengan Juana. Aku menangis, tangis yang entah menangis nasib tragis Juana atau nasibku.

Hari itu juga aku pulang ke rumah. Setelah melihat makam Juana dan menangis lagi disana aku memutuskan untuk pulang. Pak Danu tak hentinya meminta maaf. Aku hanya mengangguk kecil. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Ada satu orang yang mesti kutanyai lagi, Andy suamiku. Sesampainya di rumah, langit sudah berubah menjadi gelap. Suamiku sedang duduk menonton televisi.
“Sudah pulang sayang. Sini, pasti capek. Biar Abang pijitin.” Aku menurut. Berjalan dan duduk disamping Andy. Baru saja aku membuka mulut untuk bertanya, Bumi masuk dengan mengendong kucing hitam.
“Kok dibawa masuk kucingnya. Hacim...hacim...” Andy langsung bersin – bersin. Kucing hitam itu menatapku tapi kali ini tatapannya sendu. Dia mengeong, suara yang seperti memberitahuku kalau dia sudah tahu aku tahu. Aku mendekati Bumi lalu mengambil kucing hitam itu. Dalam gendonganku, kucing hitam itu menitikkan airmata. Aku juga ikut menangis.

“Mama kenapa?” Bumi bertanya heran. Aku tidak sanggup menjawab. Aku dan kucing hitam menatap Andy yang masih bersin – bersin. Kami sama – sama menangis.

Sabtu, 21 September 2013

Detektif Jomblo


Jadi jomblo itu enggak enak apalagi teman kerjamu semuanya sudah punya pasangan. Bener – bener enggak enak. Ini lagi si Febi dan Riani, pagi – pagi sudah mesra.
“Kerja – kerja. Pacaran mulu.” Aku langsung sewot.
“Ih...Rami enggak usah sewot juga kali. Sana cari pacar biar enggak ngiri.”
“Enak aja, siapa juga yang sewot. Aku tuh cuma nyuruh kamu kerja jangan pacaran mulu. Tu laporan udah numpuk. Lagian mantan klien dilarang menganggu pekerjaan.” Aku menyangkal perkataan Febi tapi sepertinya Febi tahu kalau semua hanya alasanku karena aku bisa melihat seringai senangnya. Aku segera pergi sebelum Febi melontarkan kata – kata yang lebih pedas lagi.

Bagaimana aku tidak sewot, pekerjaanku sebagai detektif yang menuntaskan masalah dikalangan Lesbian malah masih jomblo sampai sekarang. Febi yang kerjanya hanya mencatat laporan klien yang masuk malah sudah punya pacar si Riani yang dulunya klien yang sudah kuselesaikan kasusnya. Kenapa sih Riani tidak mau sama aku? Aku kan butchi keren. Lagian si Febi itu femme dan Riani juga Femme.
“Udah jangan manyun terus, nih ada kasus buat kamu.” Lexa si andro rekan kerjaku menaruh berkas permohonan klien.
“Kenapa sih Femme itu mesti suka sama Femme. Kamu juga kenapa sukanya sama Andro dan Femme? Jadi gimana nasib kami yang Butchi ini? Aku udah satu tahun jomblo Lex. “
“Wei...wei....kok jadi sewot sama aku sih. Makanya kamu berubah gi, jadi andro atau femme kalau perlu.” Aku langsung melotot pada Lexa dan dia malah tertawa senang.
“Kamu sih mau aja digantungin. Udah deh, enggak usah dipikirin. Sana kerja.”
“Gimana enggak aku pikirin Lex. Sama Sinta aku di-php-in. Sama Sarah aku digantung. Sama Nasthasa aku ditolak, sama Keisha aku cuma dianggap temen. Jadi jomblo itu enggak enak Lex. Coba kamu bayangin, kalau aku mati tidak akan ada tersangka karena aku jomblo. Siapa juga yang bakal mencemburui jomblo lalu membunuhnya.” Perkataan panjang lebar ku malah dibalas dengan tawah terbahak – bahak si Lexa.
“Ya ampun blo, blo sampai segitunya bayanginya. Hahaha....”  Kurang ajar nih Lexa, malah ngetawain. Udah ah, mending cabut daripada ditertawakan terus.

Kantor detektif kami memang kecil dan hanya menangani kasus dari kalangan Lesbian ada juga kalangan gay yang meminta bantuan. Meski kecil, kasus tidak pernah sepi ya walaupun kebanyakan hanya kasus sepele. Seperti hari ini, kasus yang kudapat malah sangat sepele. Pantas saja Lexa langsung menyodorkan kasus ini.  Bayangan untuk menggebet klien pun langsung kuurungkan begitu tahu klienku ini sudah ada pasangannya dan mereka tinggal bareng lagi. Pupus sudah anganku mengakhiri masa jomblo.
“Jadi gini, kami sudah beberapa hari ini setiap lewat tengah malam mendengar suara musik yang keras dan itu sangat menganggu tidur kami. Kami tidak tahu siapa yang menyalakan musik sekeras itu. Entah tetangga disamping rumah atau didepan atau dibelakang. Jadinya kami meminta bantuan detektif L untuk menyelidikinya.” Begitu penjelasa klien, sebut saja dia Bunga dan pasangannya Daun.
“Kalian tidak pernah mengecek keluar?”
“Belum. Kan sudah malam, kami takut diluar ada penjahat.” Si daun kali ini yang ngomong.
“Atau ada hantu.” Bunga menambahkan. Oke, ini kasus mudah tapi mengapa pasangan ini sampai menyewa jasa detektif kami sih. Ya, aku tahu aku tidak boleh menolak rejeki tapi kan mana tahu ada kasus dari klien lain yang lebih berpotensi untuk menjadi pacarku. Sayangnya selogan detektif kami adalah menuntaskan masalah klien sekecil apa pun. Ya, jadinya aku harus membantu.

Ku akui tadi aku terlewat sombong. Aku memang mengernyitkan dahi waktu mereka bilang takut pada penjahat atau hantu dan sekarang aku mengalaminya. Gila saja, tengah malam begini aku berdiri diluar seorang diri, menunggu dan menyelediki dari mana datangnya suara musik itu. Angin dingin bertiup, suara longlongan anjing, sepinya malam, wangi melati tiba – tiba tercium. Oh Tuhan, aku memang jomblo tapi tolong aku masih cinta sama manusia, jangan jodohkan aku dengan kuntilanak ataiu sejenisnya. Ketika doaku selesai terdengar lah suara ketawa kuntilanak, eh bukan dink, hehehe....suara musik keras maksudnya. Aku segara sigap, mencari asal suara. Oh...rupanya tetangga belakang yang menyalakan musik . Heran kok enggak ada ya yang bangun buat protes. Kayak kerbau semua tidurnya, lelap banget. Ya kecuali si Bunga da Daun.

Keesokan harinya meski masih mengantuk aku tetap mendatangi rumah Bunga dan Daun untuk melaporkan hasil penyelidikanku. Mereka kelihatan senang mendengar hasil penyelidikanku dan uang seratus ribu diberikan sebagai imbalan. Ya, lumayan, laris – laris.
“Makasih banyak ya Ram, nanti saya mau datangi buat komplain secara baik – baik.” Daun mengucapkan terimakasih begitu juga dengan Bunga. Tiba – tiba saat kami sedang salam –salaman datang seorang wanita yang....wow...cantik.
“Hei...oh lagi ada tamu ya.” Si wanita cantik itu tersenyum padaku. Sebagai jomblo aku langsung sigap, memberikan senyum terbaikku.
“Iya, ini Rami dari Detektif L.  Ram, ini Mawar teman kami” Bunga menyuruh kami berkenalan. Aku langsung menyalami tangan Mawar.
“Mawar.” Katanya dengan lembut. Oh Tuhan, semalam aku mencium wangi melati dan sekarang Engkau mengirim Mawar padaku. Apakah jodohku sudah datang? Oh semoga masa jombloku berakhir ditangan Mawar. Amiin.