Minggu, 26 Agustus 2012

Penulis Misteri dan Bocah Aneh


Pagi yang berisik. Ya berisik oleh suara burung yang berkicau dan juga teriakan bocah itu. Seharusnya aku masih terlelap setelah tertidur mungkin hanya dua atau tiga jam, tapi suara bocah itu mampu membuat mataku terbuka dan dengan kepala terasa sakit aku bangun dan melihat bocah itu sudah menyiapkan sarapan di atas meja di dapur.
“Sesuai dengan promo, makan tersedia tiga kali sehari. Selamat menikmati.” Tanpa menunggu jawabanku bocah itu pergi dan meninggalkan ku yang tentu saja masih berwajah mengantuk dan rambut awut – awutan. Semula aku ingin segera kembali tidur tapi memcium aroma sarapan yang tersedia di meja membuat perutku langsung keroncongan. Ya tadi malam aku tiba terlalu larut dan perutku memang tak ku isi. Apalagi bocah itu juga mengomel dan bilang seharusnya aku tidak datang selarut itu dan membangunkan seiisi kampung yang telah terlelap. Mana bisa kutahu kalau aku melakukan perjalanan pagi hari bakal tiba diwaktu malam telah larut. Akhirnya aku duduk dan menyantap sarapan di atas meja. Semangkuk bubur ayam yang wangi juga segelas susu. Rasanya nikmat walau aku lebih menghargai jika diberikan secangkir kopi panas. Biasanya dirumah Rani tak pernah alpa menyediakan secangkir kopi untukku. Jam berapa pun aku bangun pasti kopi hangat sudah tersedia. Rani......wanita yang telah kunikahi selama 22 tahun lebih, ya 22 tahun dan kini sudah berakhir. Dia meminta cerai dan kudengar dari Aryo, anak semata wayang kami bahwa Rani sudah memiliki kekasih dan dalam tahun ini mereka akan menikah. Kami baru bercerai tidak lebih dari dua bulan dan dia sudah berencana untuk menikah lagi? Sial, aku pasti sudah diselingkuhi dari dulu. Aku yang bodoh atau Rani terlalu pintar sehingga aku tak terlihat bodoh? Rasanya semuanya sama saja.

“Mengapa seorang penulis terkenal seperti anda memilih menyepi di desa yang mungkin di peta tak tercantum sama sekali?” Pertanyaan itu membuatku mengalihkan perhatian dari bunga – bunga yang kupandang tadi kepemilik suara. Bocah itu lagi. Aku jadi menyesal telah mengirim email permintaan penyewaan rumah dengan nama asli dan profesiku.
“Bukankah itu hal yang biasa bagi seorang penulis, menyepi dan mencari inspirasi ditempat yang sunyi?”
“Mungkin. Tapi saya pikir anda kesini bukan untuk mencari inspirasi. Novel anda baru terbit bulan lalu, seharusnya anda sedang melakukan promosi bukan menyepi disini”
“Untuk ukuran orang desa, kamu banyak tahu ya.” Itu bukan pujian dan dia pasti tahu itu.
“Untuk orang yang akan menyewa rumah saya tentu saya harus menyelidiki siapa sebenarnya orang itu. Saya tak mungkin mau menerima jika orang itu buronan atau penjahat.” Setelah berkata seperti itu dia pergi. Bocah aneh.

Depresi. Mungkin itu awal mulanya. Aku yang shock diceraikan oleh Rani membuka situs – situs perjalanan dan menemukan katalag bocah itu terselip. Iklan kecil yang mungkin tak digubris tapi tidak bagiku. Iklan itu bagai penyelamatku. Iklan yang menawarkan penyewaan rumah didesa kecil yang jauh dari kebisingan yang aman dan tentu saja tak akan ada yang bisa menemukanku disana. Hanya Aryo yang kuberitahu ada dimana aku. Bahkan handphone pun tak kubawa. Kalau ada apa – apa Aryo bisa mengabari ku melalui email. Dan aku baru tahu bahwa hanya dirumah bocah ini ada telepon dan jaringan internet. Sedangkan rumah – rumah yang lain tidak. Mereka hanya memiliki listrik untuk penerangan. Bahkan televisi pun tidak ada. Oh ya, masih ada radio. Bocah ini bernama Aji. Umurnya mungkin tidak lebih dari 18 tahun, tapi gayanya sudah seperti orang dewasa. Bocah aneh yang terlihat lembut, ya lembut tapi bukan kemayu. Gerak geriknya terlihat lembut dan em...apa namanya, ah ya elegan. Untuk bocah lelaki seperti dia rasanya semua terasa pas dan....aneh.

Dear Papa,

Pa, bagaimana disana? Papa sehat – sehatkan? Seharusnya Papa ke sini saja, disini pasti lebih menyenangkan. Mama kemarin menelepon, dia menanyakan kabar Papa. Seharusnya Aryo tak bilang ini pada Papa tapi Aryo tak ingin Papa punya pikiran jahat pada Mama. Mama mengkhawatirkan keadaan Papa. Dia minta maaf telah melakukan semua ini. Suatu saat Papa pasti bisa memaafkan Mama. Aryo yakin itu. Kuliah Aryo disini sudah hampir selesai, nanti saat wisuda Aryo harap Papa dan Mama bisa datang. Di Sydney  sekarang lagi musim semi Pa, bunga – bunga bermekaran. Indah sekali. Oh ya, dua hari yang lalu Om Yaman menelepon Aryo menanyakan keberadaan Papa, tapi Papa tenang saja Aryo tak memberi tahu Om Yaman dimana  Papa berada. Dia sepertinya lagi pusing karena novel Papa baru terbit tapi penulisnya tidak bisa ikut promosi. Hehehe.... Papa sehat – sehat disana ya. Irene titip salam.

Anak Lelakimu,
Aryo Lainufar

Membaca email Aryo membuatku teringat lagi dengan Rani, ah tapi sepertinya Rani selalu bermain dipikiranku. Aryo sekarang sudah 21 tahun, sebentar lagi kuliahnya akan selesai. Dan aku tahu pasti Aryo tak akan pulang kembali ke Indonesia. Dia sudah betah di Sydney apalagi pacarnya Irene berada disana. Kalau nanti Aryo dan Irene menikah berarti aku akan mempunyai menantu orang bule. Aryo, hebat juga kamu nak. Wajah yang tentu saja asli Indonesia bisa juga menarik perhatian bule. Ngomong – ngomong soal Yaman, pasti editor ku yang satu itu sekarang sedang mengomel tiada henti. Sekali – kali mungkin dia harus kubeginikan kalau tidak dia bisa keenakan. Editor yang lain sibuk menagih tulisan pada pengarang sedangkan Yaman yang paling tenang karena aku termasuk penulis yang produktif dan tanpa perlu ditagih, aku langsung menyerahkan karyaku pada Yaman.
“Pak Arkan, anda ada dirumah?” teriakan itu, ya tak salah lagi bocah itu si Aji.
“Ya, saya ada dikamar. Ada apa?”
“Hari ini saya akan mengantar barang kekota, jadi siang ini saya tak bisa menyediakan makan siang buat anda. Tapi nanti malam pasti akan saya sediakan. Saya minta maaf untuk itu.” Aku berpikir sejenak lalu berjalan keluar dari kamar. Kulihat Aji berada di depan kamarku. “Apakah kota letaknya jauh?”
“Kalau dari sini mungkin makan waktu tiga jam lebih. Kenapa?”
“Boleh saya ikut?” Aji terlihat memikirkan permintaanku, tapi kemudian mengangguk.
“Tapi saya tak bisa mengantar anda keliling. Saya harus mengantar kebeberapa tempat dan anda harus ikut kemana pun saya pergi. Saya tak mau repot mencari anda yang tersesat nanti”
“oke tak masalah” Aku tak ingin berdebat dengan Aji jadi aku turuti saja syarat dari dia.

Rupanya Aji membawa banyak barang di pick upnya. Ada sayur – sayuran dan buah – buahan juga tanaman obat yang Aji tanam. Dia mengantar kebeberapa toko dan juga ke pasar tradisional. Aku bermaksud membantunya tapi dia menolak. Dia menyuruh berkeliling tapi jangan jauh – jauh seolah – olah aku anak kecil yang bakal hilang dan tersesat. Aku hanya melihat – lihat dan berjalan tak jauh, bukan karena menuruti perkataan bocah itu, aku hanya lebih senang duduk dan memperhatikan kesibukan orang – orang. Kuperhatikan juga bocah itu. Aji kurus tapi tubuhnya lumayan kekar. Dia terlihat ramah pada setiap orang. Bocah aneh itu seolah memperlihatkan padaku bahwa dia tak  membutuhkan siapa pun tapi orang lain lah yang membutukannya. Ya, itu aura yang dia pancarkan. Tak sampai sore Aji sudah selesai mengantar semua barang. Meski keringat mengucur dibadannya tapi dia tak terlihat lelah. Mungkin sepiring nasi dan segelas es teh manis yang tadi kami santap sudah mengumpulkan lagi tenaganya. Kami pun pulang dan aku hanya membeli pajangan mobil yang terbuat dari kayu.
“Anda menyukai pajangan kayu?”
“Tidak juga.” Sebenarnya tadi aku tak berniat membeli tapi ketika melihat wajah ibu – ibu penjual pajangan tersebut aku merasa iba.
“Kota disini pasti jauh berbeda dengan Jakarta. Ini hanya kota kecil, kami penduduk desa memang biasanya menjual hasil panen kami kekota ini.” Sambil mengemudikan mobil Aji menuturkan cerita. “Selain aku, kadang Pak lurah yang ke kota mengantar hasil panen kami. Mobil ini pun kami beli bersama. Dari hasil penjualan kami mengumpulkan uang dan membeli mobil bekas ini.”
“Kamu pernah pergi ke Jakarta?”
“Jakarta? Tidak. Tempat terjauh yang kusinggahi hanya kota tadi.”
“Untuk ukuran orang desa kamu termasuk pintar, bocah.” Aji menyeringai dan membalas perkataan ku.
“Terima kasih. Tak selamanya orang desa itu bodoh dan tak tahu apa – apa. Dan lagi Ayah saya, pemilik asli rumah yang anda tinggali adalah seorang fotografer. Beliau sudah mengelilingi dunia dan menceritakan semua hal pada saya. Telepon dan internet dirumah itu juga Ayah saya yang memasang, biar anaknya tahu luas nya dunia, itu yang dulu dia katakan.”
“Ayah anda sekarang ada dimana?”
“Disurga, mungkin. Entahlah. Tiga tahun yang lalu Ayah menghilang. Kata temannya Ayah masuk kehutan terlarang dan lenyap. Mungkin ayah menemukan istri baru disana sehingga lupa pulang.” Aji berkata dengan ringan. Aku hanya terdiam tidak tahu harus memberi tanggapan apa.
“Anda pasti ingin bertanya soal ibuku, sebaiknya jangan karena aku sendiri pun tak tahu siapa ibuku. Ayah hanya bilang ibu ku wanita yang baik.”
Setelah itu perjalanan kami lalui dengan diam.

Sudah seminggu aku berada di desa ini. Rasanya badan ku dan aku sendiri sudah terbiasa dengan ritme desa ini. Sebelum burung berkicau aku telah bangun dan berjalan mengelilingi desa. Orang – orang di desa pun telah mengenal ku, meski yang mereka tahu sebatas aku penyewa rumah Aji.
“Selamat pagi Pak Arkan. Sudah sarapan?” Bu Nining yang sedang membersihkan rumput dari ladang tomatnya menyapaku dengan hangat.
“Sudah Bu Nining. Ibu juga sudahkan?”
“Sudah dong Pak. Kata Nak Aji, pagi – pagi sebelum mulai kerja kami itu mesti sarapan, biar ada tenaga dan tetap sehat. Aji itu kelihatannya ketus tapi dia baik. Setiap hari selalu mengecek kami yang sudah tua – tua ini. Hehehe....”
Dari Bu Nining aku baru tahu Aji lah anak paling muda disini. Yang berada disini kebanyakan para jompo yang ditinggal anak mereka merantau kekota atau kepulau lain. Tapi para jompo disini terlihat sehat dan tak ada yang pikun. Semua rajin bekerja.
“Nak Aji itu dokter kami Pak. Jangan salah Pak, meski Aji itu tidak sekolah tapi dia pinter. Bisa baca juga tanaman obat nya lebih majur dari resep dokter. Saya dulu pernah sakit parah, sudah dibawa kedokter yang ada dikota tapi tidak sembuh – sembuh, si Aji cuma nanya saya sakitnya dibagian apa terus apa saja yang saya rasakan habis itu dia masakin tanaman obatnya lalu nyuruh saya minum. Besoknya Pak, saya langsung sembuh. Memang hebat Aji itu Pak.” Bu Nining bercerita dengan penuh semangat, aku menanggapinya dengan senyuman. Aji, sepertinya bocah itu ada diseluruh desa ini. Kemana pun aku melangkah pasti bocah ini yang diceritakan orang – orang disini. Dari penduduk desa juga aku tahu dari kecil Aji memang sering ditinggal pergi ayahnya dan Aji tak pernah mengeluh. Dia belajar mandiri dan membuat dirinya berguna bagi semua orang.

“Hei bocah, lagi apa?” aku duduk disamping Aji yang terlihat sedang memandangi tanaman obatnya.
“Hanya bercakap – cakap dengan tanamanku. Mereka bahagia.” Aku memang pernah mendengar tanaman juga bisa mendengar perkataan manusia dan jika kita menyapa dan menyayanginya tanaman itu akan tumbuh lebih subur tapi aku tak menyangka Aji juga melakukan hal itu.
“Anda betah disini?”
“Ya begitulah bocah. Disini nyaman.”
“Mengapa anda suka sekali memanggilku dengan bocah?”
“Karena kamu memang bocah.”
“Umur saya sudah 19 tahun dan seharusnya umur segitu bukan bocah lagi. Dan anda juga baru berumur 48 tahun, dengan memanggilku bocah anda jadi terlihat lebih tua.” Aku terkekeh mendengar penuturan Aji.
“Oke, oke. Saya akan memanggilmu Aji bukan bocah lagi.”
“Begitu kedengaran lebih baik” Senyumnya yang tulus membuat ku juga tersenyum.
“kamu tidak pernah merasa bosan disini Ji? Disini isinya orang tua semua, hanya kamu anak mudanya. Apa kamu tidak mau mencari pacar? Masak kamu mau pacaran sama nenek – nenek.” Tawa ku menular pada Aji. “Bosan? Dulu iya tapi sekarang tidak. Saya sudah berada dirumah. Desa ini rumah saya. Kalau masalah pacar mungkin suatu hari nanti saya akan mencari tapi untuk sekarang saya bahagia begini. Saya tidak merasa kesepian.”
“Apa kamu tidak mau merasakan jatuh cinta? Biasanya remaja seusia dirimu sekarang sedang menjalani manisnya jatuh cinta.”
“Setahu saya anda pengarang novel misteri bukan cinta, mengapa anda lebih tertarik dengan masalah percintaan saya?”
“Hahaha....kamu yang sepertinya tidak peduli dengan cinta disitulah letak misterinya bagi saya. Oh ya, jangan panggil saya dengan sebutan anda. Kedengaran seperti orang asing.”
“jadi saya harus memanggil anda dengan apa? Pak? Om? Bang? Mas? Mister? Sir?”
“Hem...Bang Arkan saja. Nenek saya orang Batak, dulu dia juga suka memanggil saya dengan Bang.” Penjelasan yang tidak penting tapi sepertinya Aji setuju, dia mengganggukkan kepalanya.
“saya sudah punya cinta Bang. Saya mencintai tanaman – tanaman saya, saya mencintai orang – orang didesa ini dan saya mencintai semua hal di desa ini.” Aku ingin memprotes bahwa yang dikatakan Aji adalah cinta yang universal bukan cinta untuk satu orang, tapi aku diam. Bibirku terkatup mengingat tentang Rani. Apakah aku benar mencintainya? Dulu saat umurku 26 tahun dan Mama yang sedang sakit memintaku untuk segera menikah dan karena aku belum memiliki pacar menerima saja saat Mama bilang temannya punya anak gadis yang cocok untuk menjadi istriku. Rani waktu itu baru berumur 22 tahun. Kami hanya berkenalan singkat dan dalam waktu satu bulan kamipun melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang harmonis. Tanpa pertengkaran. Rani selalu siap sedia melayaniku. Dia istri yang patuh, tidak pernah meminta ini itu. Dan tak lama setelah kami menikah, Aryo pun lahir. Setelah itu kami menjalani rumah tangga dengan semestinya. Aku pergi bekerja dikantor dan Rani dirumah menjaga Aryo. Pulang kerja Rani sudah menyiapkan makanan dan kami pun hanya bicara seadanya. Umur 40 tahun aku memutuskan untuk berhenti kerja dan fokus menulis novel yang akhirnya bisa membuatku menjadi penulis kenamaan. Aryo yang sejak SMA kami sekolahkan di Australia juga adalah anak yang baik.
“Ada apa bang?” pertanyaan Aji menyadarkanku dari lamunan.
“Sepertinya aku baru sadar mengapa Rani menceraikanku. Bolehkah aku meminjam telepon?” Aji tersenyum dan mengangguk.

Trut...trut....tidak sampai dua kali deringan telepon ku diangkat. Suara Rani yang kukenal menyapa diseberang sana.
“Halo Ma, eh...Rani.” mungkin Rani terkejut menerima telepon ku karena dia terdiam cukup lama lalu akhirnya dia bisa mengeluarkan suara. “Eh, Mas. Em...apakabar?”
“aku sehat – sehat saja. Kamu bagaimana?”
“Sehat mas.” Lalu dia terdiam lagi. Kecanggungan yang aneh bagi suami istri yang telah menikah puluhan tahun.
“Rani...aku mau minta maaf. Selama ini kamu harus tersiksa menjalani pernikahan yang hambar denganku. Maaf Rani. Aku baru menyadarinya sekarang. Dulu aku pikir dengan menafkahimu saja sudah cukup.”
“Maaf mas, maaf kalau saya terlalu menuntut banyak.....”aku bisa mendengar Rani terisak. Aku menggelengkan kepala tapi baru sadar Rani tak mungkin bisa melihat gelengan kepalaku.
“Tidak Rani, kamu tidak salah. Kita menikah tanpa cinta dan saat menjalani pernikahan kita aku sama sekali tak berusaha belajar mencintaimu ataupun mengajarkan mu mencintaiku. Aku membiarkan mu begitu saja. Membiarkan mu dengan tugas yang kupikir memang sepantasnya dilakukan istri, tapi rupanya disitulah letak salahku.” Makin terdengar isak tangis Rani.
“Rani...aku memang tak mencintaimu tapi aku menyayangimu. Baik – baik kamu ya. Berbahagia lah Rani, aku tahu kamu pasti bisa menemukan lelaki yang benar – benar mencintaimu dan membahagiakanmu.” Setelah Rani mengiyakan perkataanku, aku pun mengakhiri telepon.
“Anda sungguh mulia.” Suara Aji mengagetkanku, tapi aku tak marah. Bocah ini lah yang membuatku sadar.
“Tidak baik menguping pembicaraan orang dan sudah saya bilang jangan memanggil saya dengan anda.”
“hehehe...maaf saya lupa bang. Makan siang sudah siap ayo kita makan.”
“wah....pas sekali perut saya sudah keroncongan.” Aku dan Aji pun berjalan ke meja makan. Menyantap hidangan siang yang terlihat sangat lezat.
Tanpa Aji sadari dia telah membuatku mengerti akan banyak hal, terutama tentang hubunganku dengan Rani. Sekarang aku baru menyadari rasa sakit yang selama ini kualami karena diceraikan Rani adalah rasa sakit harga diri dan kehilangan. Ya, bukan karena kehilangan cinta tapi kehilangan seseorang yang sudah biasa bersamaku. Dan disini, kehilangan itu tak terasa lagi. Seorang pemuda bernama Aji telah membuatku merasa kagum, bukan hanya kagum tapi....entalah aku pun tak tahu apa yang kurasakan pada bocah itu. Apa yang mesti kujelaskan? Aku ini penulis misteri bukan penulis novel romantis jadi sepertinya sah – sah saja apa yang kurasakan dan apa yang terjadi di desa ini biar menjadi misteri yang kusenangi.