Rabu, 24 Juli 2013

Audy, Cinta Pertama Kami



Cukup hanya satu percakapan dan itu membawaku menyeberangi benua untuk sampai di kota ini. kota yang telah kulupakan dan sekian tahun kutinggalkan. Dhika telah menungguku begitu aku mendarat di bandara. Di dalam mobil aku diam, membiarkan Dhika memulai pembicaraan, membuka kembali masa lalu kami dan menyusurinya.

20 tahun yang lalu Dengan takut – takut aku mengikuti Ayah melangkah memasuki rumah baru kami. Wanita itu tersenyum padaku, wanita yang telah sah menjadi istri Ayah dan memintaku memanggilnya dengan sebutan Mama. Disampingnya berdiri seorang anak lelaki, dia seumuran denganku, Andhika namanya. Semula aku protes pada Ayah mengapa kami harus pindah ke kota kecil ini tapi kata Ayah, dia mendapat tugas di kota ini jadi kami harus disini. Dikota ini pula Ayah bertemu dengan Mama. Ayah meminta izinku serta memberi kabar pada Bunda yang saat itu berada di New York. Wanita itu baik dan lagipula Ayah terlihat mencintainya, aku setuju saja. Perceraian Ayah dan Bunda membuat Ayah sedih, aku tahu itu dan mungkin bersama Mama, Ayah akan bahagia.
“Hei, tomboy, yuk main.” Dhika berteriak ketika aku sedang asik membaca komik diruang keluarga. Aku segera menatapnya kesal.
“Jangan panggil aku tomboy.”
“Kamu kan emang tomboy. Hahaha....” Dhika segera lari sebelum kutimpuk dengan komik. Selalu begitu, menjahiliku.

Siang itu setelah pulang sekolah, aku dan Dhika segera berlari turun dari bus begitu bus sampai didepan rumah kami. Tapi langkah kami terhenti ketika melihat rumah disamping rumah kami sudah ada penghuni. Tampak mereka sibuk menurunkan barang – barang. Dan seorang gadis kecil yang sedang memeluk boneka beruang menatap kami.
“Tetangga baru ya?” Dhika bertanya padaku. Aku mengangkat bahu tak tahu. Tapi gadis kecil itu begitu menarik perhatianku.

Siapa sangka gadis kecil itu seumuran dengan kami juga sekelas dengan kami. Kami yang hiperaktif dan dia yang pemalu, begitu saja berteman akrab.
“Ayo kita main kerajaan – kerajaan. Audy jadi putrinya. Aku jadi pangerannya. Dhika jadi prajurit.” Usulku.
“Mana ada cewek jadi pangeran. Kamu tu jadi dayang Audy saja. Aku yang jadi pangeran.” Dhika segera protes mendengar pembagian peran yang kuusulkan.
“Enak aja! Aku yang jadi pangeran. Siapa bilang pangeran harus cowok.” Aku tak mau kalah.
“Emang enggak ada.” Kami langsung terlibat adu mulut. Membiarkan Audy kebingungan.
“Em...gimana kalau begini saja, kalian jadi ksatria Audy.” Perkataan Audy membuat kami diam.
“Kan Audy putrinya, jadi harus ada ksatria yang melindungi putri. Kalian berdua ksatria Audy.” Senyum manis itu membuat kami mengiyakan begitu saja dan berjanji akan selalu menjadi ksatria yang melindungi putri, Putri Audy.

Esok tak dapat ditebak, pertemanan kami rupanya tidak diizinkan untuk bertahan lama. Ayah yang baru pulang dari rumah sakit setelah mengoperasi pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas tak menyadari kalau itu lah pekerjaan terakhir yang akan dia lakukan. Mobil yang dikendarai Ayah ditabrak truck container yang sopirnya sedang mabuk. Belum sempat tubuh Ayah dibawa ke rumah sakit, napas Ayah telah terhenti. Aku menangis dan meraung sedih. Pria yang paling kucintai telah tiada. Mama dan Dhika juga tak kalah sedih. Kami meratapi kepergian Ayah. Belum genap seminggu kepergian Ayah, Bunda datang. Memintaku untuk tinggal bersamanya. Aku menolak, bertahan ingin tinggal bersama Mama dan Dhika. Tapi Bunda memaksa. Bunda sampai menangis. Aku tidak tega melihatnya. Meski baru berumur sepuluh tahun tapi dua tahun yang lalu aku sendiri yang memilih untuk bersama Ayah daripada bersama Bunda yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kini, Bunda memintaku untuk bersamanya. Aku pun pergi bersama Bunda, pergi dan mengubur semua kenangan.

20 tahun telah berlalu, aku baru tahu kalau Dhika kembali ke kota ini. Setelah aku tinggal bersama Bunda, Dhika masih sering mengabariku. Tapi lama kelamaan surat itu menjadi jarang dan kami pun tak pernah lagi saling mengirim surat.
“Kota ini sudah mengalami banyak perubahaan. Rumah kita dulu sekarang malah sudah jadi mini market.” Sambil menyetir Dhika bercerita.
“Sejak kapan kamu pindah kekota ini?” Tanya ku, karena aku tahu lima bulan setelah kematian Ayah, Mama dan Dhika memutuskan pindah ke kota lain.
“Baru dua bulan, dan aku baru tahu keberadaannya setelah dia masuk kerumah sakit. San, kamu harus lihat sendiri dia.” Aku tahu siapa yang dimaksud Dhika. Audy, ya nama itu berhasil membuatku dan Dhika kembali bertukar sapa. Nama itu pula yang membuatku terbang sekian ratus mil.
“Bagaimana kondisinya?” Dan tatapan sedih Dhika menjawab semuanya.

Dia berjongkok disudut ruangan. Pucat dan kecil, dengan rambut yang tergerai. Aku melihatnya dengan sedih dari kaca jendela kamar yang memisahkan kami.
“Seminggu yang lalu, kondisinya tidak setenang ini. Dia mengamuk ketika kami bermaksud membawanya kerumah sakit. Rumah tua di hutan menjadi tempat tinggalnya selama ini.”
“Maksudmu rumah tua yang menyeramkan itu?” Aku masih ingat rumah tua di hutan yang tidak berani kami masuki. Berbagai cerita horor mengisi rumah itu. Dhika mengangguk.
“Kondisinya boleh dibilang stabil, tapi kami tetap harus mengawasinya.” Dhika terus menjelaskan dan aku memandangi Audy.
“Bolehkah aku menemuinnya?”
“Boleh, tapi dia sama sekali tidak akan mengingatmu.” Aku masuk dengan penuh debar. Tak peduli meski Dhika sudah memperingatkanku. Kurus, kecil, rambut hitam yang panjang dan menutupi sebagian wajahnya, dan dia terus menunduk meski aku sudah masuk kedalam ruangan.
“Hai...” sapaku, tapi dia tetap menunduk.
“Aku Sandy. Dulu kita pernah berteman, kelas lima SD.” Aku berusaha membangun percakapan tapi sepertinya itu sia – sia belaka. Audy sama sekali tak beraksi. Aku memilih duduk didepannya, berusaha terlihat santai.
“Kamu masih suka jadi putri? Aku malah sekarang sudah jadi ratu. Hehehe....tapi aku tetap mau kok jadi ksatria kamu.” Dia melirikku tapi segera memalingkan wajahnya. Pertemuan hari ini berlangsung kaku.

“Ada banyak tubuh yang terkubur disekitar rumah tua itu. Bahkan diruang bawah tanah terdapat tulang belulang. Lalu dikamar tidur ada mayat seorang wanita yang diyakini polisi adalah Mamanya Audy, Tante Risa. Sekarang kasus ini masih dalam penyelidikan kepolisian. Audy ditaruh dirumah sakit untuk dicheck kesehatan dan kejiwaannya. Menurut temanku, psikiater yang menangani Audy, jiwa Audy boleh dibilang hilang. Dia tidak sadar dengan apa yang terjadi maupun apa yang telah dia lakukan.” informasi dari Dhika menguncangku.
“Jadi apa kesimpulan pihak kepolisian?”
“Mereka masih belum berani mengambil kesimpulan. Terlalu riskan. Audy masih belum ditetapkan jadi tersangka. Memang sepuluh tahun belakangan ini banyak kasus kehilangan orang. Tapi mayat – mayat yang terkubur itu masih diindentifikasi.” Kantin rumah sakit itu sepi, aku meminum kopi yang tak terasa enak dan Dhika dengan seragam dokternya juga memesan kopi sama sepertiku. Dhika yang dokter anak juga terlihat murung mendapati Audy seperti itu. Entah apa yang telah terjadi pada teman kecil kami.
“Mengapa setelah sepuluh tahun polisi baru menemukan Audy? Dan kasus banyaknya orang hilang apa tidak diselidiki?”
“Negeri ini menganggap orang hilang bukan kasus yang berarti. Lihat saja berkas yang menumpuk dikepolisian, mereka akan menjanjikan mencari tapi hanya sekedar itu. Seolah membiarkan kasus itu menguap dan dilupakan. Yang menemukan Audy dirumah tua bukanlah pihak kepolisian tapi pemancing yang bermaksud memancing di sungai hutan terlarang. Dia tak sengaja melihat Audy di rumah tua itu. Semula dia mengira kalau Audy itu hantu, seperti yang sering dibicarakan kalau dihutan terlarang ada rumah tua yang angker tapi sifatnya yang penasaran membuatnya tidak lari malah mendekati rumah itu. Dan dia menemukan Audy dalam kondisi kelaparan.” Cerita Dhika sama sekali tak mengurangi kebingungan ku. Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu sudah aku disini dan perkembangan Audy belum ada kemajuan sama sekali. Audy masih diam seribu bahasa. Dia hanya bergerak ketika diberi makanan dan saat ingin kekamar mandi. Hanya itu. Aku berulang kali mengajaknya mengobrol dan berulang kali pula harus mendapati kebisuan. Dan sesuai janji ku dengan Natalie, aku harus kembali besok.
“Kamu harus pulang secepat ini? Audy sama sekali belum ada perkembangan.”
“Ya, aku harus kembali. Banyak yang mesti aku urus di New York. Aku tidak ingin terus menunggu seperti ini. Lagipula aku punya keluarga. Istriku sebentar lagi akan melahirkan. Sebenarnya berat meninggalkannya dalam keadaan hamil tua seperti itu.” Aku melihat raut kebingungan diwajah Dhika.
“Sebentar, aku tidak salah dengar kan? Istri? Kamu....”
“Aku tahu kamu sudah tahu itu semenjak kita kecil. Kalau kamu tidak tahu tidak mungkin kamu menghubungiku mengabari tentang Audy, Dhik.” Aku meringis dan Dhika juga. Dia menghela napasnya.
“Sebenarnya aku hanya berspekulasi. Jika benar kamu akan datang, berarti cinta pertama kita memang sama. Bedanya hanya kamu bisa maju dan menata hidup, aku masih terpaku pada putri kita.” Senyum sendu Dhika membuatku teringat akan apa yang telah kujalani selama ini. Tentang Natalie yang begitu baik, membuatku bangkit dan merasakan cinta yang baru.
“Aku tidak pernah melupakan Audy, sampai sekarangpun dan Natalie, istriku tahu itu. Dia yang memintaku pulang kesini dan menyelesaikan kebimbangan hatiku selama puluhan tahun ini. Dan aku sudah menyelesaikannya. Audy cinta pertamaku dan aku juga merasa bersalah melihat keadaannya sekarang ini. Tapi Natalie adalah cintaku saat ini. Aku harus kembali ke New York, Dhik.”
“Ya, aku mengerti. Tapi kali ini jangan sampai kita kehilangan komunikasi ya. Bagaimanapun, kita tetap saudara.” Kami saling tersenyum. berpelukan erat.

Setengah tahun kemudian aku mendapat email dari Dhika. Email kesekian yang memang sering kami lakukan selain berkomunikasi melalui telepon. Email kali ini membuatku terhenyak.

Tentang Audy

Dear Saudariku,

Perkembangan Audy menemui kemajuan. Audy mulai bicara dan menjelaskan meski tidak lancar tapi bisa dirangkum apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan menjelaskannya dari hasil kesimpulan dokter yang menangani Audy.
Audy kecil berulang kali diperkosa Ayah tirinya. Dia diam karena diancam. Bukan hanya Ayahnya tapi Paman, adik Ayah tirinya juga melakukan hal bejat itu, bahkan Ayah tirinya tega membawa Audy untuk dijadikan bahan taruhan ketika dia berjudi. Sampai remaja, Audy menjadi tertutup. Ibunya baru mengetahui perbuatan itu ketika tak sengaja memergoki kelakuan bejat suaminya. Ibu Audy marah, memukul suaminya sampai meninggal. Ibu Audy baru tahu Audy selama ini sering dibawa Ayah tirinya  untuk melayani nafsu lelaki hidung belang. Ibu Audy memutuskan pindah bersama Audy. Mereka tinggal dirumah tua itu. Mayat Ayahnya dikubur. Ibunya mulai balas dendam. Memaksa Audy mengingat siapa saja lelaki yang menyakitinya. Tubuh yang polisi temukan terkubur dan diruang bawah tanah adalah tubuh yang dibunuh Ibu Audy untuk pembalasan dendam anaknya, lelaki – lelaki hidung belang itu membalas kesakitan anaknya dengan kematian mereka. Tapi usia tidak dapat dibohongi, Ibu Audy meninggal dan tanpa memberitahu siapa pun dimana mereka selama ini tinggal. Audy yang selalu dijaga Ibunya tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya bisa diam dan tetap bersembunyi dirumah tua yang dibilang Ibunya sebagai tempat yang aman.
Ini dari hasil keterangan yang ditangkap dari pembicaraan Audy dengan dokternya. Hanya itu yang ingin kuceritakan. Kalau ada perkembangan baru lagi, nanti saya kabari.

Best Regards,
Dhika
NB : Sampaikan salam ku pada Natalie dan keponakanku Angelica.

Aku menutup layar laptopku. Berdoa semoga Audy pulih dan tidak mengalami trauma. Dan aku juga berharap Dhika bisa melanjutkan hidupnya, dengan Audy atau pun dengan wanita lain.






Jumat, 19 Juli 2013

Kamu, teh, dan novel di Cafe Favorit



Lembar – lembar kertas yang bergerak ditiup angin, sinar matahari yang menembus kaca serta harum teh melati di meja adalah dirinya yang selalu kukenang. Cafe ini sepi pengunjung tapi malah itu yang membuat dia betah berlama – lama menikmati secangkir teh dan membaca novel.

“Aku heran mengapa orang lain begitu menyukai kopi. Bagiku teh adalah segalanya. Mungkin teh tidak sewangi kopi tapi yakin lah, ditengukan pertama kamu akan merasakan kedamaian dan keindahan alam.” Katanya waktu itu. Aku hanya tersenyum. Aku bukan pecinta kopi maupun teh, aku lebih menikmati minuman soda atau pun susu. Dan dia mengerutkan dahinya kala aku menceritakan itu, menurutnya aku aneh dan menurutku dia lah yang aneh.



Namanya Andrea, aku pertama kali mengenalnya melalui media twitter. Aku senang membaca tweet nya. Dia terlihat berbeda. Dengan berani aku mengajaknya berkenalan, mengajaknya bertemu dan dia setuju. Kebetulan kami juga sekota jadi pertemuan kami bisa dilakukan secepatnya. Di cafe favoritnya ini lah kami bertemu. Dia wanita ramah yang membuatku tertawa lepas dan menurutnya aku wanita pendiam dan misterius.

“Kamu selalu mengepal tanganmu dan kadang malah menaruh tanganmu dibawah meja. Itu ciri – ciri wanita misterius dan pendiam.” Katanya waktu itu.

“Benarkah?” aku bahkan tak menyadarinya tapi dia melihat detail apa yang kulakukan.

“Enggak, aku hanya asal ngomong. Percaya ya? Hahahahaha...” Tawa renyahnya memasuki hatiku. Dia terlihat gembira bisa mengerjaiku.



Kami makin dekat tapi tak terikat. Mengalir begitu saja. Tak terucap dibibirnya kata cinta begitu pula bibirku. Tak jarang kami saling bertatap mesra dan saling mengenggam tapi hanya itu tidak lebih. Aku membiarkan saja keindahan ini. Tak ingin merusaknya dengan sentimentil cinta. Sepulang kuliah selalu kuusahakan mampir ke cafe favoritnya karena aku tahu disana lah dia selalu berada. Meminum tehnya dan membaca novel.

“Hidup terlalu disibukan dengan bekerja dan kuliah, aku menikmati hidup santai seperti ini.” Semula aku percaya tentang dirinya yang pengangguran tapi lagi – lagi dia hanya menjahiliku. Menatap raut percayaku dia tertawa renyah lagi, tawa yang selalu merasuk kehatiku.

“Tidak aku bukan pengangguran. Boleh percaya boleh tidak, aku pekerja malam. Jangan dipandang negatif. Aku gitaris dan penyanyi meski hanya di cafe. Tapi bukan dicafe ini. Jadi siangnya aku selalu memiliki waktu banyak untuk meneguk teh dan membaca novel.” Katanya menjelaskan. Setelah melihatku tanpa reaksi, dia mengajakku untuk menonton pertunjukannya nanti malam. Sebenarnya tadi aku sudah ingin mendesaknya untuk mengajakku ke tempat kerjanya, tapi lagi – lagi lidahku keluh. Ah, memang susah menghilangkan sikap pendiamku.



Alunan suara dan petikan gitarnya menghanyutkanku. Aku terbawa menyusuri samudra kehangatannya. Begitu indah dan tak ingin ku lupakan. Kurekam semua tentangnya dalam benakku. Malam bergerak turun dan suaranya mengalun bersama mimpi yang membuatku terlelap.



“Jika aku mati hari ini juga, aku rela. Aku sudah menikmati hidupku dan aku sudah mengenalmu, Fika.” Hari itu kami tidak berada di cafe. Kami berjalan – jalan menyusuri trotoar. Dia tampak sempurna dengan celana panjang, baju kemaja dan jas cokelat. Aku sendiri mengenakan rok panjang dan baju kemeja. Aku tak terlalu mengerti dengan fashion tapi bagiku dia itu indah.

“Kita bahkan belum terlalu saling mengenal.” Aku menanggapi perkataannya.

“Bagiku sudah, aku mengenalmu yang pendiam, kamu yang tak lelah selalu mendatangiku, kamu yang suka mendengar suaraku dan kamu yang mau mendengar semua cerita konyolku, bagiku kamu telah menjadi segalanya.” Senyumnya membuatku tersipu. Apakah kata – katanya itu bisa disamakan dengan pernyataan cinta? Dia mengenggam tanganku dan kami berjalan dalam senyum. Cafe favoritnya berada diseberang jalan, kami melihat lampu telah hijau untuk pejalan kaki. Dengan masih bergenggaman tangan kami menyeberang.

“AWAAASSS!!!!.” Entah teriakan ku, entah teriakannya. Kami tak menyangka truck itu akan menerobos dan melaju dengan kencang.



Semua telah usai, kematian telah memisahkan kami. Aku masih sering mengunjungi cafe favoritnya. Melihatnya disitu. Semua kenangan yang kami lalui bagai rekaman yang terus berputar dibenakku. Di dekat jendela, masih dengan teh dan novel tapi pandangannya menerawang. Ada semburat sedih dimatanya. Pelan airmata jatuh membasahi pipinya. Andrea....aku juga sama kehilangannya. Ucapku. Ingin ku memeluknya, tapi hanya aku hanya bayangan. Kisah kami usai, bersama dengan kematianku. Kami tertabrak dan aku tewas. Andrea selamat dengan membawa luka dihati.

Minggu, 14 Juli 2013

Kehidupan Cinderella Setelah Menjadi Putri



Hidup di istana megah, menjadi istri dari pangeran tampan tentu menjadi impian banyak gadis dan Cinderella salah satu gadis yang telah mewujudkan impian itu. Hanya dalam sehari hidupnya berubah total. Ibu Peri baik hati telah membuat Cinderella bertemu calon suami yang juga baik hati. Betapa sempurnanya hidup Cinderella. Benarkah demikian? Mari kita jenguk sang Putri yang kini telah tinggal di istana.

Dengan kamar yang luas tak bisa dibandingkan dengan kamar di loteng juga pelayan yang banyak, Cinderella tak perlu lagi sibuk mengerjakan pekerjaan rumah atau melaksanakan perintah sang Ibu tiri. Tapi kebosanan cepat menjalar dihati Cinderella. Dia telah terbiasa bergerak dan bukan diam untuk dilayani. Pernah sekali Cinderella ingin memasak untuk sang Pangeran, suaminya. Tapi ketika menginjakan kaki di dapur, para pelayan dan koki terkejut bukan kepalang. Mereka membungkuk sopan bertanya dan mengerutkan dahi mendengar apa yang ingin Cinderella lakukan. Kepala koki berkata dengan sopan kalau memasak untuk Pangeran dan keluarga kerajaan adalah tanggung jawabnya, bagaimana bisa ia membiarkan istri Pangeran yang memasak. “Demi keselamatan hamba dan pelayan yang lain, sebaiknya Putri biarkan kami melaksanakan kewajiban kami seperti biasanya.” Meski terdengar sopan tapi Cinderella bisa merasakan kesinisan kepala koki. Tak ingin memperpanjang masalah, Cinderella memilih menurut dan meninggalkan dapur istana.

Cinderella kembali berjalan menyusuri istana. Dibelakangnya dua dayang istana mengikuti dengan setia. Waktu pertama kali dia selalu diikuti, Cinderella protes dan mengeluh pada suaminya. “Mereka hanya ingin menjaga dan membantumu, sayang. Itulah tugas mereka.” Kata pangeran waktu itu.
“Tapi saya tak ingin diikuti terus menerus. Kasihan mereka harus mengikuti saya selama seharian.”
“Kamu memang istriku yang baik hati. Tapi biarlah mereka mengikutimu sayang. Aku tak ingin kamu tersesat di istana ini.” Dan tentu saja Cinderella menurut. Dia tak ingin suaminya khawatir. Istana memang luas dan Cinderella akhirnya mengakui suaminya benar. Berulang kali Cinderella tersesat dan berulang kali pula kedua dayang itu menunjukan arah yang benar. Cinderella akhirnya terbiasa diikuti, dia hanya merasa jengah karena kedua dayang itu tidak mau berjalan disampingnya. Tidak sopan menurut mereka berjalan disamping istri Pangeran. Jadinya mereka tetap berjalan dibelakang Cinderella.

“Hai, kamu pasti istri Kak Astra.” Suara itu mengejutkan Cinderella. Sesosok wanita yang cantik dan wajah yang tegas tapi tampak riang berdiri dihadapan Cinderella. Dia mengenakan pakaian perang pria yang lambang kerajaannya menunjukan kalau dia adalah anggota kerajaan sama seperti milik Pangeran. Dan ketika wanita itu menyebut nama suaminya, Cinderella juga tahu pasti dia adalah Putri Lea, adik suaminya yang baru pulang dari perbatasan kerajaan.
“Iya, saya Cinderella, Putri Lea.” Cinderella membungkuk hormat.
“Ah...pasti Kak Astra telah bercerita tentangku. Senang berjumpa dengan Kakak ipar.” Putri Lea mengangkat tangan kanan Cinderella, dia membungkukan kepala dan mencium punggung tangan Cinderella.

Malamnya mereka makan bersama. Raja tampak sumeringah Putrinya telah pulang. “Kamu tahu Cinderella, sekian tahun saya merasa tak memiliki anak perempuan dan ketika kamu datang ke istana ini barulah saya tahu bagaimana rasanya memiliki anak perempuan.” Raja terkekeh.
“Ayah, kita sedang makan malam. Bukankah ada lain waktu untuk mencurahkan isi hati Ayah.” Putri Lea langsung protes. Dia tahu Raja sedang menyindirnya.
“Hei Dik, seharusnya kamu merasa bertanggung jawab akan apa yang dirasakan Ayah.” Pangeran Astra malah ikut menyindir Putri Lea. Putri Lea tak menanggapi perkataan Pangeran, dia malah memandang kearah Cinderella. “Kakak ipar, coba Kakak ipar pikirkan bagaimana aku bisa bersikap seperti Putri yang lemah lembut ketika selagi bayi Ibu sudah tiada dan besar dengan mengikuti Kakak yang diajarkan ilmu pengetahuan dan ilmu bela diri. Juga seorang Ayah yang giat mengajari memanah dan menggunakan pedang. Ayah dan Kakak adalah panutanku.” Pandangan Putri Lea yang semula berada di Cinderella kini beralih ke Pangeran dan Raja. Raja dan Pangeran lalu saling memandang dan tertawa lebar. Putri Lea menyeringai puas melihat Ayah dan Kakaknya kehabisan kata. Hanya Cinderella yang kebingungan harus berbuat apa.
“Kadang lelaki harus dibungkam dengan kata yang tepat.” Putri Lea mengedipkan mata dan berbisik pada Cinderella.

Bukankah kisah indah hanya ada di dongeng? Tapi sebenarnya dongeng tak selalu indah, hanya saja si pencerita sengaja mengakhiri dongeng tepat dibagian indahnya saja. Seperti hari ini, Perdana Menteri mengumpulkan pejabat istana yang memang haus kekuasaan dan kekayaan. Perdana Menteri sengaja tak memanggil pejabat yang setia pada Raja.
“Kita semua bisa melihat apa yang dilakukan Pangeran, Putra Mahkota kerajaan kita. Dia menikahi rakyat jelata. Sudah sebulan dan kerajaan lain malah menjauhi kerajaan kita. Ini buruk saudara – saudara. Kerajaan Selatan bahkan menaruh marah pada kerajaan kita, Pangeran menolak begitu saja Putri kerajaan Selatan. Dan dia malah menikahi gadis yang entah dari mana asal usulnya, bahkan darah bangsawan pun tidak mengalir didarah gadis itu.” Perdana Menteri memusatkan pandangan pada Menteri Abu. “Dan sangat disayangkan sekali Pangeran menolak Putri anda yang cantik jelita. Jelas – jelas anda adalah seorang bangsawan yang terhormat.” Perkataan Perdana Menteri mengena, Menteri Abu langsung terbakar amarah.
“Ya, anda benar. Apa jadinya jika Pangeran naik tahta dan rakyat jelata itu menjadi Ratu? Kerajaan lain pasti akan menertawai kerajaan kita. Ini tidak bisa dibiarkan.” Seruan bersambut, Perdana Menteri berhasil memanaskan acara.
“Jangan biarkan Pangeran naik tahta, kita harus bertindak.” Maka hari itu kudeta pun direncanakan.

Putri Lea berjalan dengan raut kesal dari ruang belajar. Dia baru saja berbicara dengan Ayah dan Kakaknya. Menceritakan tentang kecurigaannya terhadap Perdana Menteri. Tapi Raja dan Pangeran malah tak percaya, mereka menyebut Putri Lea terlalu curiga. Kerajaan begitu damai tak mungkin Perdana Menteri berniat jahat. Putri Lea menceritakan alasan kecurigaannya, tapi tetap tak didengar. Karena itulah Putri Lea langsung keluar dengan raut kesal. Tanpa memperhatikan jalan Putri Lea tak sengaja menabrak Cinderella yang memang sedang menuju ruang belajar.
“Ah...maaf, maafkan saya. Apa Putri tidak apa – apa?” Cinderella langsung meminta maaf. Putri Lea meringis.
“Seharusnya akulah yang meminta maaf Kakak ipar.” Putri Lea bangkit dan membantu Cinderella bangkit juga. Kedua dayang Cinderella berdiri salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa.
“Apakah Kakak ipar tidak merasa risih dengan dua penguntit itu?” Mendengar bisikan Putri Lea, Cinderella tertawa kecil.
“Sangat. Tapi Pangeran tak mengizinkan saya berkeliaran tanpa mereka.” Cinderella juga ikut berbisik. Kedua dayang itu tambah bingung mendapati dua Putri sedang berbisik.
“Mari aku ajarkan trik agar tak dikuntit lagi.” Setelah berbisik demikian, Putri Lea berdiri tegap dan berkata dengan tegas, “Apa yang kalian lakukan melihat Putri Cinderella terjatuh? Hanya diam? Cepat bertindak! Kamu, ambilkan obat dan kamu, bawa tabib kesini. Ayo, tunggu apa lagi!!!” Teriakan Putri Lea membuat kedua dayang itu berlari dengan gugup melaksanakan perintah. Setelah kedua dayang itu tak terlihat lagi, Putru Lea mengulurkan tangan pada Cinderella.
“sebaiknya kita segera kabur sebelum mereka datang membawa obat dan tabib.” Cinderella mengangguk dan menerima uluran tangan Putri Lea. Mereka berlari meninggalkan teras depan ruang belajar.

Mereka sekarang berada di istal kuda yang berada dihalaman belakang kerajaan. Putri Lea mengajak Cinderella duduk diatas jerami.
“Bolehkan aku memanggil Kakak ipar dnegan nama saja? Cinderella?”
“Tentu saja boleh Putri Lea.”
“Kalau begitu panggil aku dengan Lea, tanpa Putri. Bagaimana Cinderella?”
“Baiklah, Lea.” Cinderella mengangguk. Senang mendapat teman baru juga senang terbebas dari sopan santun kerajaan.
“Cinderella, jika aku mencurigai Perdana Menteri berniat jahat, apakah kamu akan percaya?” Pertanyaan Putri Lea membuat Cinderella berpikir dan menjawab dengan ragu.
“Saya tidak begitu mengenal Perdana Menteri. Saya tidak bisa langsung bilang percaya pada Put, maksud saya pada Lea. Tapi saya juga tidak bisa bilang kalau Lea berbohong. Kamu pasti punya alasan mengapa mencurigai Perdana Menteri.” Jawaban Cinderella membuat Lea tersenyum.
“Terimakasih Cinderella, kamu tak menganggap ceritaku hanya bualan. Perdana Menteri orang yang ambisius. Dulu dia Jendral perang yang hebat. Dia ingin membuat kerajaan meluas tapi tidak dengan Ayah. Ayah adalah Raja yang cinta damai. Beliau tidak ingin berperang dan membuat kematian untuk para prajuritnya dan tangisan pilu keluarga yang menanti dirumah. Maka Ayah menghentikan perang yang telah berlangsung lama ketika belian naik tahta. Jendral perang tidak setuju, tapi Ayah adalah Raja. Tihtah Raja adalah mutlak maka dia pun harus mematuhi. Demi mencegah kemarahan Jendral perang, Ayah pun mengangkatnya menjadi Perdana Menteri. Memberi kekuasaan yang banyak tapi sepertinya itu belum cukup untuk dia.” Putri Lea menghela napasnya dan kembali bercerita. “Ambisi Perdana Menteri untuk memperluas kerajaan tak pernah berhenti. Dia mengusulkan perjodohan antara Kak Astra dengan Putri kerajaan Selatan. Dengan itu maka kerajaan kami akan semakin besar, itu katanya kala itu. Tapi Kak Astra menolak, Kak Astra ingin menemukan sendiri pasangan hidupnya. Perdana Menteri marah, dia bilang kemarahannya hanya masalah kecil tapi penolakan Kak Astra akan menyebabkan kemarahan besar kerajaan Selatan. Mungkin mereka akan mengumandangkan perang. Karena kata – katanya itu, aku memutuskan untuk pergi keperbatasan kerajaan.”
“Apakah Raja dan Pangeran mengizinkanmu pergi menghadapi bahaya seperti itu?” Cinderella tiba – tiba memotong cerita Lea. Lea sama sekali tak tersinggung, dia malah menjawab pertanyaan Cinderella dan kembali bercerita.
“Tentu saja mereka tak akan mengizinkan kalau tahu aku mau keperbatasan. Aku pergi diam – diam, membawa prajurit kepercayaan. Ayah dan Kak Astra baru tahu aku kemana setelah membaca surat yang kutitipkan pada menteri kepercayaan Ayah. Aku dengan tegas menulis melarang mereka untuk menyusul. Aku berjanji akan menyelesaikan masalah dengan kerajaan Selatan dan meminta Kak Astra mencari wanita impiannya.”

Selagi Putri Lea dan bercerita, di istana telah terjadi kudeta. Pasukan pembelot menangkap Raja dan Pangeran yang sama sekali tak menyangka akan ada pemberontakan. Menteri – menteri yang setia juga ikut ditangkap. Dalam waktu cepat Perdana Menteri menguasai kerajaan. Yang lemah hanya bisa diam dan patuh dengan perintah Perdana Menteri. Siisi istana tahu betapa kejam Perdana Menteri, kalau tak menurut tentu nyawa taruhan mereka. Contohnya sudah ada, Jendral Amaki melawan dan kepalanya sekarang tak lagi menyatu dengan tubuhnya. Pangeran dan Raja dijebloskan ke penjaran bersama menteri – menteri yang setia. Putri Lea baru tahu kabar pemberontakan ketika Jendral Ataki, anak Jendral Amaki yang berhasil melarikan diri memberitahu Putri Lea.
“Kurang ajar Perdana Menteri, bisa – bisanya dia melakukan pemberontakan.” Putri Lea langsung marah. Dia tak menyangka secepat ini hal yang ditakutkannya terjadi.
“Kita tidak bisa bertindak gegabah Putri. Raja dan Pangeran menjadi tawanan mereka.” Jendral Ataki meminta Putri Lea tenang. Cinderella yang khawatir akan keselamatan suami dan mertuanya kagum melihat ketenangan Jendral Ataki yang Ayahnya telah tiada.
“Ya, kita harus membalas. Kumpulkan pasukan setia yang berhasil meloloskan diri. Kita buat strategi untuk menghajar balik para pemberontak.” Putri Lea yang cerdik pun kembali tenang dan mengatur siasat.

Didalam istal istana yang tak diduga Perdana Menteri sebagai tempat persembunyian Putri, telah berkumpul kepala pasukan yang setia. Putri Lea pun menjelaskan strateginya. Meminta setiap kepala pasukan memimpin prajuritnya. Bertindak hati – hati dan jangan sampai lengah.
“Cinderella, apakah kamu siap menjadi umpan untuk siasat kita?” Lea bertanya sekali lagi pada Cinderella, dan Cinderella mengangguk tanpa ragu. Dari awal Lea sudah menceritakan strateginya yang melibatkan Cinderella sebagai umpan dan Cinderella sangat bersedia membantu. Maka strategi malam ini akan langsung dilaksanakan. Sebelum berangkat, Putri Lea membekali Cinderella dengan belati.
“Simpan lah ini di dalam gaunmu. Berhati – hatilah. Aku akan sangat menyesal jika terjadi sesuatu pada mu Cinderella.”
“Saya akan berhati – hati. Saya yakin kamu akan melindungi saya.” Cinderella menaruh kedua tangannya di pipi Lea, tersenyum dan memberikan semangat. “Kamu pasti bisa menyelamatkan kerajaan ini.” Putri Lea tersenyum dan mengangguk yakin.

Cinderella mengendap masuk ke dalam istana. Menghindari prajurit yang sedang berjaga. Tapi prajurit penjaga melihat gerakan aneh dan menangkap basah Cinderella. Dia dan teman – temannya pun langsung mengepung Cinderella. Membawa Cinderella kehadapan Perdana Menteri. Perdana Menteri pun tertawa senang.
“Coba katakan apa siasat Putri Lea? Sengaja membiarkanmu tertangkap hingga aku menjebloskanmu kepenjara yang sama dengan Pangeran dan Raja?”
“Ba....ba...gai..bagaimana...kamu tahu?” Cinderella bertanya gugup.
“Anak ingusan ingin mengelabuiku? Cih....kalian akan segera mati ditanganku.”
“Kamu tidak akan berani, membunuhku berarti membunuh rakyat. Rakyat akan marah dan memberontak.” Cinderella berkata dengan berani. Perdana Menteri memicingkan mata dan melihat Cinderella, lalu dia tertawa terbahak – bahak.
“Kamu pikir ancamanmu membuat aku takut? Tidak akan ada yang berani melawanku, bahkan rakyat jelata seperti kalian.”
“Kamu tak akan berani!” Walau berkata dengan tegas tapi wajah ketakutan Cinderella membuat Perdana Menteri makin senang. Dia menyuruh para prajurit mengumpulkan semua rakyat untuk berkumpul dilapangan tak peduli malam sudah larut. Dia menyeret Cinderella yang telah diikat mulut ke atas panggung istana. Menunggu hingga semua rakyat menunggu dilapangan.
“Hai rakyatku, hari ini aku akan menunjukan kematian seorang pemberontak. Dengan lihai dia telah memperdaya Pangeran dan Raja hingga menyebabkan mereka tewas. Cinderella, rakyat jelata yang telah dipersunting Pangeran tapi tak tahu berterimakasih. Malam ini, kematiannya akan menjadi balas dendam untuk rasa keadilan.” Ucapan Perdana Menteri membuat rakyat bergumam saling bertanya apakah ini benar.
“Lihat saja Pangeran dan Raja tak muncul, mereka telah tiada. Bahkan Putri Lea pun menjadi gila hingga tidak berani muncul disini. Keadilan, bukankah itu yang selalu kita junjung tinggi dikerajaan kita.”
“Ya, Keadilan! Bunuh penjahat itu.”
“Bunuh Cinderella.” Suara rakyat bersautan. Kata – kata Perdana Menteri telah termakan oleh rakyat.
“Dia bohong. Pangeran dan Raja belum tewas, dia lah pemberontak yang ingin menguasai kerajaan.” Putri Lea telah muncul dan menodongkan pedang kearah Perdana Menteri.
“Ah, Putri Lea. Sungguh tragis nasibmu Nak. Kamu telah menjadi gila akibat kematian Pangeran dan Raja. Kamu bahkan berhalusinasi mereka belum meninggal.” Dengan wajah sedihnya yang membuat Putri Lea jijik, Perdana Menteri membuat sandiwara. Dengan Cinderella yang masih ditangannya, Perdana Menteri tahu Putri Lea tidak akan berani menyerang. Tapi perkiraan Perdana Menteri salah. Dia terlalu fokus pada Putri Lea hingga tidak tahu Pangeran datang dan segera menarik Cinderella dari tangan Perdana Menteri. Terkejut mendapati Pangeran bebas membuat Perdana Menteri berang. Dia telah termakan siasat Putri Lea. Putri Lea memang sengaja menyuruh Cinderella tertangkap dan menghasut hingga Perdana Menteri membawanya ke panggung istana. Para prajurit pemberontak pun mengawasi lapangan hingga lengah mengawasi penjara. Dengan cepat Putri Lea dan pasukannya berhasil membebaskan Raja dan Pangeran serta tawanan lain. Mereka balas menyerang para pemberontak tanpa perlawanan berarti. Bukan kepalang marahnya Perdana Menteri, dia menarik keluar pedangnya, siap bertempur melawan Pangeran Astra dan Putri Lea. Mereka bertarung, walau sudah tua tapi kecekatan Perdana Menteri tidak boleh diremehkan. Sebagai Jendral perang yang hebat dia memiliki keahlian bertarung yang sangat bagus. Pangeran dan Putri tampak berjuang melawan, tak menyerah. Pertarungan yang berlangsung segit akhirnya terhenti ketika Putri Lea berhasil melukai tangan Perdana Menteri hingga ia menjatuhkan pedangnya dan Pangeran Astra langsung menaruh ujung pedangnya dileher Perdana menteri.
“Menyerahlah Perdana Menteri.” Kata Pangeran Astra dan Perdana Menteri langsung berteriak kesal. Dia menjatuhlan dirinya. Berlutut. Raja berkata pada Perdana Menteri.
“Kalio, kamu orang yang hebat hanya saja ambisi telah membutakanmu.” Raja terlihat sedih.
“Maafkan hamba Raja, hamba khilaf.” Perdana Menteri meminta maaf dan menangis, Raja menjadi iba dan mendekati Perdana Menteri. Perdana Menteri bangkit dan tanpa disadari, dia mengeluarkan belati dari dalam bajunya, berteriak dan menyerang kearah Raja yang berada didepannya. Pangeran Astra bertindak cepat segera menghalau Raja tapi dia jadi tak sempat menghindar. Belati itu mengenai punggungnya. Cinderella segera mengeluarkan belatinya dan menghujam lengan Perdana Menteri, begitu pula Putri Lea yang langsung menusuk punggung Perdana Menteri menembus sampai kejantungnya. Putri Lea segera mendekati Pangeran, pisau belati itu masih menancap punggung Pangeran. Tampak darah yang bukan merah tapi hitam. Belati itu beracun. Betapa licik Perdana Menteri. Putri Lea segera berteriak memanggil tabib, menyuruh menyelamatkan nyawa Pangeran. Cinderella menangis disamping suaminya. Raja tampak terpukul.

Dua bulan sudah berlalu. Pangeran Astra tidak bisa diselamatkan nyawanya. Racun yang melukainya adalah racun ganas. Raja yang sedih memutuskan turun tahta. Merasa tak mampu menjaga kerajaan, bahkan anaknya pun tak bisa dijaganya. Cinderella yang kala itu ternyata sudah mengandung anak pangeran tidak mau menjadi ratu. Dia merasa tidak pantas dan memaksa Putri Lea saja yang naik tahta. Raja juga setuju karena pengabdian dan berkat Putri Lea pulah kerajaan bisa selamat. Putri Lea pun naik tahta dan berjanji akan menjaga kerajaan.

“Kak, sesuai janjiku, Cinderella dan anakmu akan kujaga. Anakmu nanti lah yang akan mengwarisi kerajaan ini. Jangan khawatir aku tidak akan menikah. Sebenarnya aku harus mengakui kalau pilihan Kakak tidak salah, kalau aku jadi Kakak aku tentu juga akan memilih dia menjadi istri. Sayangnya aku keduluan oleh Kakak.” Ratu Lea tersenyum. Dia berada disamping makam Pangeran Astra.
“Tenanglah Kak, aku akan memberikan segenap jiwa ragaku untuk melindungi Cinderella. Menjaganya seperti yang selalu Kakak lakukan.”
Dari jauh tampak Cinderella datang dengan perut yang sudah mulai tampak membuncit. Dia tersenyum dan menghampiri Lea.
“Sedang mengobrol dengan Pangeran?” Lea mengangguk.
“Ya, aku berkata padanya untuk tenang. Aku berjanji akan menjaga dan melindungimu seperti yang selalu Kak Astra lakukan.” Mendengar itu Cinderella tersenyum. Dia meraih tangan Lea dan mengenggamnya.
“Terimakasih karena tak membiarkan aku sendirian.” Bisik Cinderella. Keduanya menaburkan bunga dimakam Pangeran Astra. Lea membantu Cinderella bangkit dan keduanya pun berjalan kembali kedalam istana.