Selasa, 05 Februari 2013

Pengoleksi Cinta




Aku adalah pengoleksi cinta, sudah berpuluh – puluh cinta ku kumpulkan dan berbagai pernak – pernik dari cinta sudah kupeloreh. Rasanya menyenangkan menjadi penguasa cinta, mengobral janji setia dan kasih sayang yang tak lekang, mengikat hati para wanita yang membutuhkan cinta. Tentu saja semua itu tak gratis, aku sudah memberikan cinta yang para wanita harapkan, mereka juga sepatutnya membalas dengan memberikan apa yang kuinginkan. Jangan pernah coba – coba melawanku maka cinta ku akan kucabut dan kesakitanlah yang aku tancapkan.

Seperti hari ini, pacar nomor 22 ku baru saja memutuskan ku, dia bilang masih terkenang akan pacarnya. Aku tak peduli dia masih mengenang pacarnya atau tidak, tapi dikamusku tidak ada kata diputuskan, aku lah yang seharusnya memutuskan karena aku adalah penguasa cinta. Seperti janjiku, maka kesakitan pun kutebarkan. Segala macam teror ku lakukan. Ini lah asiknya dunia lesbian, apalagi di Indonesia yang masih tabu akan cinta sesama jenis. Aku pengoleksi cinta dengan wajah ganteng, pintar merayu wanita juga lihai mengakali mereka, dengan gampang menakut – nakuti pacar nomor 22 ku. Ku ancam dia akan membocorkan siapa dia kepada keluarganya, kekantonya dan kesemua teman – temannya. Dia takut, sangat ketakutan, menangis dan meminta ku jangan melakukan semua itu. Aku tak peduli, siapa suruh dia tak berani coming out seperti aku. Tangisannya malah membuatku makin jijik melihatnya.
“Pergi sana, buat apa kau datang kesini!”
“Kumohon jangan lakukan itu, keluarga ku akan marah, aku bisa dijauhi teman – temanku dan aku bisa dipecat. Kumohon Ray....”
“Apa peduliku, siapa kau? Kau bukan siapa – siapa ku. Itu akibat nya kau berani membohongiku!!!” Tangisannya makin kencang dan dia berlari meninggalkan ku. Rasa kan pembalasan dendam ku.

Sudah bertahun – tahun aku melanglang buana didunia lesbian ini, mencintai wanita adalah nikmat. Merasakan tubuh wanita adalah surga. Dicintai wanita adalah kesenangan. Mendapat hadiah dari wanita adalah hak. Kadang ada kala nya aku terjatuh juga, pacar nomor 29 ku kali ini ternyata tidak bisa dipermainkan seperti pacar – pacar yang lain. Dia membawa polisi ke kontrakan ku. Menagih uang 20 juta yang kupinjam darinya. Enak saja, itu bayaran untuk pemuasan nafsunya dan juga cinta yang selama ini tak pernah dia rasakan. Untung saja aku bisa berkelit dan lari. Kali ini si nomor 29 tidak bisa diancam, tapi aku juga tak semudah itu ditangkap.
Mengambil pengalaman dari pacar nomor 29, sekarang aku lebih berhati – hati. Sebaiknya aku cari wanita yang masih bau kencur dan baru terjun di dunia lesbian ini. Dan laut terbesar dengan ikan – ikan gadis lesbian adalah facebook. Disini aku bisa dengan leluasa merangkai wujud diriku dengan sempurna. Bergaya bak seorang lesbian dewasa yang ganteng juga baik hati.
Status – status gelisah para gadis pun kukomentari dengan bijak tak lupa memasang status terbaik yang menjadi mata kail agar para gadis memakan umpanku. Rasanya makin menyenangkan.
“Hi.....” nada obrolan difacebook ku berbunyi, sepertinya satu ikan sudah melihat umpanku.
“Hi juga...salam kenal Yessy.”
“Salam kenal kak Ray.” Aku membiarkan dia mengetik lagi, tak membalas duluan.
“Kak Ray...makasih ya buat nasehatnya tadi. J
“Sama – sama dik. J
“Kak Ray umurnya berapa?”
“Kakak masih muda, umur dik Yessy ditambah 6 :p”
“Hihihi......kok kk tahu sih umur Yessy?”
“Tahu donk, tu Yessy kan buat diprofile tahun lahirnya.”
“Hayoo...kakak ngutak – ngatik wall Yessy ya. :p”
“Hahaha......kan pengen tau dik Yessy. J
Percakapan kami terus berlanjut dan dalam seminggu umpan ku telah termakan sempurna oleh Yessy. Dia resmi menjadi pacar nomor 30 tapi tentu saja dia tidak tahu itu. Aku hanya bilang dia pacar ke tiga ku, kedua pacarku yang lain meninggalkanku untuk menikah. Skenario yang bagus bukan.

Handphone baru sudah ditangan. Betapa bodoh nya pacar nomor 30, ah...tapi semua pacar – pacarku memang bodoh atau barangkali aku yang terlalu pintar. Dengan alasan handphone ku rusak dan tak bisa membeli yang baru, gajiku terpakai untuk mengobati adik yang kecelakaan, pacar nomor 30 mengirimkan handphone baru. Dia resah karena tak bisa menghubungiku, tak tahu kabarku. Aku tertawa senang menerima handphone itu. Bahkan adik pun aku tak punya. Ayah ibu sudah lama kutinggalkan dan mereka juga sepertinya tak mempedulikanku setelah perceraian mereka dan mempunyai keluarga baru. Pacar nomor 30, tenang, aku akan membalas dengan janji – janji gombal yang membuatmu mabuk kepayang.

Aku adalah pengoleksi cinta dan pantangan terbesarku adalah tidak boleh jatuh cinta. Kalau aku jatuh cinta tentu semua akan kacau. Maka, kubalut hatiku dengan kain tebal agar tak melihat apa itu cinta. Aku sudah putus dari pacar nomor 30, dia terlalu cerewet semenjak kuperawani. Meminta tinggal bersama dan mulai pelit terhadapku. Aku kabur kekota lain lagi. Dan mengganti akun Facebook dengan nama baru, profile baru dan semua hal baru.

Hari ini aku akan berjumpa dengan wanita yang belum resmi menjadi pacar nomor 31 tapi sudah mematuk – matuk papan ku. Dia meminta bertemu sebelum kami resmi berpacaran. Katanya dia dulu pernah ditipu pria yang membuat akun sebagai wanita lesbian. Tentu saja aku tak menolak, rupaku lebih dari cukup untuk membuatnya terpesona. Maka perjumpaan kami berjalan lancar. Dari cafe kami beranjak kehotel, hei...pasti dia yang bayar bukan aku.
“Sini sayang.” Aku menarik tangannya agar mendekat, dia menurut. Kucium lembut wajahnya dan dia menikmatinya. Kupangut bibirnya, dia membalas. Tak menunggu lama pemanasan yang kulakukan berjalan sempurna, dia terangsang dan mulai membukai pakaianku, aku juga tak kalah gesit membuka pakaiannya. Kami polos, tak sehelai benang pun menempel ditubuh. Dia begitu lezat. Payudara yang bulat sempurna dengan puting kecil berwarna pink, pinggul yang ramping, wajah yang cantik, vagina yang siap diberi kenikmatan. kami hanyut akan tarian napas, lidah dan tangan bermain lincah. Ah....betapa nikmatnya bercinta. Dan.....aku terlelap bahagia.

Aku adalah pengoleksi cinta, seperti yang kubilang, aku tak menaruh hati dalam permainanku tapi ada sedikit kesalahan yang kubuat, memang selama ini aku mencari wanita yang memakai hati dalam permainan cinta tapi pacar nomor 31 bukan memakai hati cinta malah hati benci. Setelah selesai bercinta dan aku tidur dengan lelap dia mengiris leherku sampai aku mengejang – ngejang mencari cara agar selamat. Darah yang mengucur dan irisan nya yang tepat membuatku kehabisan napas. Aku mati seketika. Kini tubuhku dipotong – potong dalam ukuran kecil.
“RASAKAN. RASAKAN ITU. KALIAN SAMA SAJA. SEMUA BUTCHI SAMA SAJA. HANYA TUBUH YANG KALIAN INGIN KAN. APA BEDANYA KALIAN DENGAN LELAKI!!!!” ya, koleksi cintaku yang terakhir sepertinya memendam dendam kepada butchi dan aku yang seharusnya menjadikan dia koleksi cinta malah sekarang menjadi korban sakit hatinya.
Aku pengoleksi cinta dan harus berakhir diangka 31.

Minggu, 03 Februari 2013

Sepotong Cinta di Masa Lalu



Hari ini langit cerah tak seperti pertemuanku dengannya dua minggu yang lalu. Hujan yang lebat waktu itu membuatku terpaksa berteduh dicafe terdekat. Sial! Hujan selalu membuat taksi digemari orang – orang dan daripada berebut, aku memilih berteduh sambil menikmati teh hangat. Saat sedang menghirup aroma harum teh dia tertawa dan berdiri tepat di depanku.
“Masih menjadi penggemar setia teh ya.” Tawanya yang renyah membuatku tak jadi menyerup teh yang sebenarnya telah kutiup agar lidah tak membengkak oleh panas. Tanpa ku minta dia langsung duduk didepanku.
“Bolehkan aku duduk disini?” aku mengangguk bagai keledai bodoh yang kehabisan kata.
“Coba ku hitung, setahun...em...tiga tahun, ya tiga tahun kita tak pernah bertemu dan jangan bilang kamu sudah lupa sama aku ya.” Cengirannya tak berubah dan bagaimana mungkin aku lupa padanya. Aku balas menyengir, menemukan kata – kata lagi dan meluncurkannya melalui lidah.
“Tentu saja aku tak lupa, bagaimana melupakan mantan kekasihku.”
“Hahaha.......masih ya, tetap saja menggodaku. Udah emak – emak loh aku ini, Ky.”
“Kan aku bilang mantan tadi. Hahaha.....senang saja menggodamu. Kok tumben bisa ada disini?”
“kamu yang tumben kesini. Apa kamu tadi tidak membaca nama cafe ini?” mendengar pertanyaannya, aku mengerutkan kening, berpikir. Dan seketika pikiran ku menemukan sasaran.
“Maksud kamu ini cafe....” belum selesai perkataan ku terucap sempurna dia sudah mengangguk.
“Iya ini cafe kami, Viandra Cafe. Seperti nama putri kami.”
Tentu saja aku tahu nama anak mereka, karena setelah dia melahirkan bayi perempuan yang cantik dia langsung meneleponku memberitahu kabar gembira itu. Aku yang berada di pulau terpisah darinya langsung memberi saran ketika dia bertanya nama apa yang bagus untuk putrinya. Viandra, kataku, gabungan antara namanya Vivi dan nama suaminya Andra. Terdengar biasa tapi dia menyukainya dan lihat lah, nama itu pula yang menjadi nama cafe miliknya.
“Bagaimana kabar Andra dan mana keponakanku?”
“Andra sedang keluar, ada sedikit urusan kalau Vian lagi di rumah neneknya, nanti malam setelah tutup cafe baru kujemput.”
Aku berooh panjang. Dia bertanya dimana aku selama ini, menghilang dan tak pernah memberi kabar, aku menjawab sibuk dan banyak pekerjaan. Kami bernostalgia mengenang masa lalu.

Ya, enam tahun yang lalu aku bertemu dengannya ketika menjadi fotografer freelance di majalah dimana dia juga bekerja disana. Jangan bayangkan dia sebagai penulis atau editor, bukan, dia malah bekerja pada bagian finance majalah ini. Jadi setiap aku meminta jatah fotoku, dia lah yang aku mintai. Pertemuan pertama tanpa kesan, dia terlihat judes dengan wajah juteknya hanya tersenyum singkat ketika diperkenalkan denganku. Tapi suatu hari saat baru pulang dari kantor, rupanya kami menaiki bus yang sama. Di bus itulah terjadi percakapan dan tawanya yang renyah dan saat itu pula si cupid mengarahkan panahnya tepat kejantungku, cessss.........menancap sempurna dan aku sadari benar aku telah jatuh cinta padanya. Ya, jatuh cinta yang berjuta rasanya itu. Entah karena apa, aku tak bisa menjelaskan. Kami pun bertukar nomor handphone dan malamnya aku mulai mengsms dia dengan berbagai lelucon.
Aku sempurna mencintainya, bahagia ketika berjumpa dengannya, jantung memompah semakin cepat ketika makin akrab dengannya. Umurku ketika itu 20 tahun dan dia lah cinta pertamaku. Jadi mengapa aku tak menembak nya meminta dia menjadi pacarku? Yang benar saja, nama ku Miki Alesia dan bisa disimpulkan sendiri mengapa aku tak berani menembaknya bahkan mengakui perasaan ku padanya.

Setahun lebih aku memendam cinta padanya. Lalu gosip itu kudengar, berdengung dengan cepat di kantor kami. Aku tak mempedulikannya karena dia juga tak menceritakan tentang gosip itu. Semula aku tak percaya, berharap semua itu hanya gosip. Tapi dia datang dan mengajaku keluar makan siang dan disana lah dia bercerita. Bercerita kalau gosip itu ada benar dan ada salahnya. Ya, katanya, dia memang menjalin kasih dengan pak Erick manajer finance di majalah kami dan tidak, dia bukan perusak rumah tangga orang. Meski Erick telah beristri tapi mereka dalam proses cerai tapi bukan dia penyebabnya, jauh sebelum mereka menjalin kasih, Erick dan istrinya telah memutuskan bercerai. Dan ya lagi untuk benar dia mencintai Erick begitu pula Erick yang mencintainya, dan tidak, dia belum tidur dengan Erick, dia masih perawan dan dia bersumpah untuk itu. Aku? Apa yang kulakukan. Duniaku runtuh seketika, aku tersenyum tapi jantungku bagai ditusuk beribu pisau. Aku meminta dia memikirkan lagi hubungannya dengan Erick dan satu kalimatnya membuatku yakin kandas sudah harapanku akan cintanya.
“Aku siap dimusuhi seluruh dunia, aku siap. Aku lebih memilih memiliki dia.” Ya, dia pun sempurna mencintai Erick.

Dimana hatiku? Sudah berserak menjadi kepingan yang hancur lebur. Aku menangis terisak – isak dikamar kost ku. Tak peduli makan atau apapun. Tapi besoknya aku tetap pergi kerja, tetap tersenyum dan ceria bersamanya. Tetap menggoda dan mengatakan aku begitu menyayanginya dan dia lah kekasihku tapi tentu saja dia menganggap semua yang kukatakan hanya gurauan. Hanya ulah iseng sahabat tomboynya. Tak tahu kah ia diantara derai tawa menggodaku aku mengatakan yang sebenarnya? Tapi demi semua sakit yang kurasakan, aku bahagia ketika melihatnya bahagia. Dia antusias menceritakan kencannya. Hari – hari ku berlalu dengan segala macam cerita tentang dia dan Erick. Tentang mamanya yang menentang hubungan mereka, tentang Erick yang berani mendatangi rumahnya dan menjelaskan semua niat tulusnya pada mama Vivi. Tentang perceraian Erick yang sudah selesai. Tentang semua hal. Aku runtuh sekaligus bahagia, bahagia yang bodoh mungkin.

Tepat dua tahun aku mengenal Vivi, hari itu pula dengan semburat bahagia dia mendatangiku menceritakan kabar bahagia itu yang merupakan kabar duka cita untukku. Erick sudah resmi melamarnya dan lima bulan lagi mereka akan menikah. Aku tersenyum dan mengucapkan selamat, ah betapa munafiknya aku. Kemarin – kemarin aku masih bisa tertawa dan diam – diam mendoakan mereka segera putus tapi hari ini, ketika mendengar rencana pernikahan mereka, pupus sudah harapan jahatku. Dan ketika aku ingin menghilang saja, tawaran itu kudapat. Temanku, fotografer wild life menawariku pekerjaan di Papua. Majalah online tempat dia bekerja sedang membutuhkan fotografer untuk membingkai indahnya Papua dalam lensa kamera dan tanpa berpikir dua kali aku mengiyakan. Tidak mempedulikan larangan Ibu ketika aku menyampaikan berita ini melalui telepon. “Jangan khawatir Bu, aku akan baik – baik saja” aku bisa mendengar helaan napas ibu tapi dia megizinkan aku pergi juga. Dia tahu betapa keras kepalanya aku. Besoknya aku langsung mengundurkan diri. Aku yang sudah menjadi fotografer tetap tentu saja tidak diizinkan keluar begitu saja tapi beribu alasan ku berikan agar resign ku diterima. Maka atasanku dengan berat hati melepasku, seminggu setelah mengajukan surat resign. Vivi menangis, aku juga. kami berpelukan, pelukan yang tak akan pernah kulupakan. Tangis sedihnya untukku. Kami berpisah dan aku pun segera terbang ke Papua.
Dia masih sering memberi kabar melalui email dan mengharap kedatanganku dipernikahannya tapi dengan satu alasan, aku tak bisa pulang karena terlalu jauh, aku pun tidak datang kepernikahannya. Terakhir kabar darinya ketika dia melahirkan Viandra. Itu komunikasi terakhir kami.

Kembali ke hari ini, aku menunggu dengan sabar kereta api yang belum tiba. Duduk menanti diparkiran motor. Dua minggu yang lalu aku dan Vivi hanya bernostalgia, cinta ku padanya tak pernah hilang. Ya, sampai hari ini aku masih mencintainya. Cinta yang bahagia melihat dia bahagia. Bukan cinta yang memiliki. Kulihat sesosok wanita yang kutunggu dari tadi melambaikan tangan dan berjalan kearahku.
“Udah lama kak?”
“Enggak, palingan cuma lima menit. Yuk.”
Namanya Anita, wanita cantik yang kini menjadi kekasihku. Kami bertemu di Papua dan dia juga fotografer sama sepertiku. Tidak, dia bukan pelarianku, dia adalah cinta yang baru. Ketika cinta ku terhadap Vivi retak dan hancur berkeping – keping, Anita datang membawa hati yang baru, dan aku juga memberikan cinta yang utuh serta tulus untuk Anita. Anita adalah lembar baru hidupku dan biarlah Vivi tersimpan aman sebagai kenangan.