Selasa, 14 Januari 2014

Pengakuan

Sudah seratus hari semenjak kecelakaan itu merenggut nyawa Aylin. Semua yang hadir diruangan tampak bersedih. Mereka berkumpul dan mengenang Aylin. Semula hanya sebuah status di facebook lalu semua terdorong untuk mengadakan acara ini.
“Aylin...siapa yang tidak mengenal wanita ceria dan supel seperti dia.” Ren memulai pidatonya. Pidato yang sebenarnya tidak tahu kata apa yang sanggup dia ucapakan untuk seseorang yang mengisi masa lalunya. Kemeja hitam yang Ren kenakan menambah kelam wajahnya. Dia mengusapkan telapak tangannya kewajah.
“Kita telah kehilangan seseorang yang selalu membuat kita bersemangat. Kehilangan tawa cerianya. Kepergian Aylin adalah kesedihan yang sangat untuk kita semua. Seandainya Aylin disini dia pasti akan menertawakan kita. ‘Hei, kok wajah kalian sedih semua sih. Ayolah, kita jangan murung terus, bersenang – senang dong.’ Itu pasti kata – kata yang diucapkan Aylin.” Ren tersenyum kecil dan anggukan dari teman – temannya membuat Ren tahu kalau mereka juga mempunyai pikiran yang sama.

Ren berjalan dan duduk disudut. Membiarkan teman – teman yang lain memandangi foto – foto Aylin yang terpajang di dinding. Ren mengusap rambut pendeknya, seolah ingin mengusap aura suram. Anis yang datang dan membawa minuman untuk Ren, ikut duduk disamping Ren.
“Aylin tidak akan suka melihatmu bersedih gara – gara dia.” Meski tersenyum tapi tampak jelas Anis juga sama kelamnya. Wajah orientalnya terlihat sedih, terlebih gaun hitamnya seolah mendukung kesedihan itu.
“Ironis ya, acara ini memang untuk Aylin dan dia memang selalu suka menjadi pusat perhatian tapi acara ini ada kerena kepergiannya.” Tiba – tiba Biana datang dan mengambil kursi lalu duduk dihadapan kedua temannya. Hari itu meski Biana tampil santai, kaos hitam dan celana jeans panjang tapi dia juga terlihat sedih. Anis menunduk, membiarkan rambut panjangnya menutupi wajahnya.
“Kalau saja hari itu aku tidak meninggalkan Aylin, tentu Aylin tidak akan mengalami kecelakaan itu.” Anis menangis. Bulir – bulir airmata jatuh dan pengakuan itu meluncur dari mulut Anis.

Malam itu Aylin mengajak Anis untuk clubing. Menikmati hingar bingar musik. Anis sebenarnya tidak ingin ikut. Besok dia harus kuliah. Tapi seperti biasa Aylin tidak menerima penolakan.
“Hanya sebentar Nis. Aku hanya ingin bersenang – senang. Setelah itu aku janji akan pulang.” Anis luluh dan termakan janji Aylin. Mereka mulai bersenang – senang, Aylin lebih tepatnya. Aylin sama sekali tak berniat membayar semua kesenangannya. Lagi – lagi Anis mengalah, membiarkan dompetnya menipis. Tapi ketika jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, Anis menagih janji Aylin.
“Ayo kita pulang Lin. Ini sudah jam satu.”
“Baru jam satu. Sebentar lagi.”
“Tadi kamu juga bilang begitu, sebentar lagi, sebentar lagi. Besok aku ada quis Lin. Ayo lah, kita pulang. Biar aku antar ke kost mu.” Bisa saja Anis pulang duluan tapi larut seperti ini pasti tidak ada taksi apalagi club ini jauh dari tempat biasa mereka berkumpul. Tidak ada seorang pun yang mereka kenal.
“Buat apa kuliah sih. Jangan jadi kuper begitu dong Nis. Sia – sia aku permak kamu dari si gemuk jadi si tenar royal.” Aylin cekikikan. Mungkin alkohol yang sudah masuk memperngaruhi otaknya. Anis tidak suka dengan kata – kata Aylin. Anis tahu dia memang pemalu. Aylin yang mengajarinya banyak hal, mengenalkan lebih dalam tentang dunia Lesbian yang dulu Anis tidak berani akui. Aylin pula yang menjodohkannya dengan Karen. Tapi pertolongan Aylin tidak lah gratis. Aylin tidak segan meminta.
“Jangan pelit sama makcomblangmu Nis. Belum tentu kamu bisa jadian dengan Karen kalau bukan karena campur tanganku.” Anis terlalu lugu dan menurut begitu saja. Tapi kali ini Anis memberontak. Dia tidak mau lagi menuruti perkataan Aylin apalagi setiap kata yang keluar dari mulut Aylin selalu menyakitkan hatinya.
“Kalau kamu tidak mau pulang, aku pulang duluan.” Ancam Anis.
“Pulang saja sana. Dasar cewek kuper. Jangan – jangan Karen mau sama kamu cuma karena kamu kaya.” Aylin menyelesaikan katanya dengan tawa cekikikan. Anis tak mau lagi menunggu, dia segera keluar dengan wajah marah. Sudah cukup dia mendengar kata – kata Aylin.

Ren mengusap bahu Anis lembut. Ren yang mengenal Aylin sedemikian lama tahu betul kalau yang diceritakan Anis adalah benar, bukan hanya rekaan Anis.
“Karen memang dari lama sudah memintaku menjauhi Aylin. Tapi aku tidak tega. Dia yang mengenalkan ku dengan Karen. Malam itu, kalau saja aku tidak meninggalkan Aylin......” Diantara isak tangisnya Anis bercerita.
“Kecelakaan itu bukan mau mu, Nis. Kamu tidak salah. Sebenarnya malam itu Aylin juga meneleponku. Tapi aku juga tidak berniat menolongnya sama sekali.” Ren yang semula mengusap bahu Anis kemudian mengacak rambut pendeknya. Mungkin orang akan mengira Ren adalah lelaki kalau tidak memperhatikan betul lekuk tubuhnya yang tersembunyi. Ren mulai bercerita, mengakui tentang kejadian malam sebelum kecelakaan Aylin.

Malam sudah larut, bahkan dini hari sudah menjelang. Ren mengumpat kesal ketika bunyi memekakkan handphonenya membuatnya bangun. Ren semula ingin tidak mempedulikan saja, tapi biasanya telepon dijam segini selalu penting. Ren bangkit, khawatir terjadi sesuatu terhadap anggota keluarganya yang memang berada jauh diluar kota. Ketika nama Aylin yang tertera dilayar handphone, Ren mengerutkan dahinya. Membiarkan telepon itu berbunyi beberapa detik lagi sebelum dengan malas menjawab.
“Kok lama banget sih ngangkat teleponnya.” Belum sempat Ren berkata, Aylin sudah menyerang dengan rentetan kata kesal.
“Aku lagi tidur.” Hanya itu. Ren memang tak berniat bertanya apa pun. Tapi seperti yang Ren kira, Aylin sama sekali tidak merasa mengganggu tidur Ren.
“Jemput aku dong. Ini aku lagi dijalan Lilalama. Depan klub Akar.”
“Aku tidak bisa. Ngantuk. Naik taksi saja.”
“Kalau ada taksi dari tadi aku juga naik taksi aja. Gimana sih. Ayolah, apa kamu tega membiarkan aku sendirian disini.” Suara memelas Aylin sama sekali tidak mempengaruhi Ren. Ren sudah terbiasa bahkan boleh dibilang muak.
“Dimana teman – temanmu? Pacarmu? Suruh saja mereka. Aku mau tidur lagi, sudah ya.”
“Eh...tunggu Ren...ayolah Ren. Cuma kamu yang bisa aku harapkan, aku malu kalau meminta tolong teman yang lain. Aku juga sudah tidak punya pacar lagi. Membosankan banget si Biana itu. Lagipula BB dan Galaxy ku sudah mati. Powerbank lupa ku bawa. Hanya handphone kecil ini hadiah darimu yang masih ada.” Rayuan Aylin mengetuk hati Ren sedikit tapi Ren teringat dengan semua yang telah dilakukan Aylin padanya. Ren menghembuskan napasnya. Dia memutuskan sudah cukup Aylin memanfaatkan dirinya. Menyalahkannya karena Aylin kabur dari rumah demi bersamanya dulu, lima tahun yang lalu.
“Aku benar – benar tidak bisa, maaf. Besok ada meeting penting.”
“Jadi kamu tidak mau nolongin aku hah? Sudah hebat ya? Apa kamu mau aku menyebarkan kalau kamu itu lesbian dikantormu? Membawa lari aku lalu begitu saja tidak mau bertanggung jawab!” Seperti yang Ren duga, sifat asli Aylin muncul kembali. kata – kata pedas dan ancaman.
“Sudah cukup Lin. Aku minta maaf kalau kamu merasa aku yang menyerumuskanmu kedunia lesbian. Aku tidak mau melakukan pembelaan apapun karena bagimu tetap aku yang salah. Tidak perlu mengancamku lagi karena semua teman kantor bahkan Boss ku sudah tahu tentap siapa aku. Mereka menerimaku dengan baik. Jadi jangan ganggu aku lagi. Seperti katamu dulu, kita sudah berpisah jangan ikut campur lagi.” Tanpa menunggu jawaban Aylin, segera Ren mematikan handphonenya. Dia tidak ingin mendengar makian Aylin lagi, itu hanya akan membuat tidurnya tidak nyenyak. Semenjak mereka putus Aylin memang selalu saja meneror dan mengancam. Ren yang tidak mau terlibat masalah, memberikan saja apa yang dimau Aylin. Tapi makin lama Ren merasa tidak bebas apalagi ketika dia bertemu dengan Cecil, karyawan baru dikantornya. Dia tidak ingin usaha pendekatan dengan Cecil berjalan tidak lancar gara – gara Aylin. Maka sebulan yang lalu Ren memberanikan diri coming out. Dan ternyata ketakutan yang selama ini Ren simpan tidak beralasan. Boss nya menerima dengan baik dan rekan – rekan kerjanya juga begitu. Meski ada satu dua yang mencibir dibelakang. Ren tahu mereka hanya pura – pura baik karena Boss mereka tidak mempermasalahkan jati diri Ren. Tapi rekan – rekan yang memang akrab sangat menerima siapapun Ren.

Ren mengakhiri ceritanya, memandangi Anis dan Biana. Anis yang semula menangis menjadi terdiam.
“Bisa saja aku pergi menjemput Aylin dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.” Ren meneruskan kata – katanya.
“Tidak, Ren. Kamu tidak salah. Ini semua sudah digariskan. Sebenarnya malam itu aku berada disana.” Biana yang dari tadi mengumpulkan keberanian untuk bercerita akhirnya berkata. Pengakuan yang sebenarnya ingin dia simpan.

Biana tak dapat terlelap, dia memilih membawa mobilnya dan berkeliling. Entah kemana. Tanpa Biana duga sosok Aylin berdiri diatas trotoar seperti menanti sesuatu atau mencari sesuatu. Biana mendekatkan mobilnya hingga sejajar dengan posisi dimana Aylin berdiri. Kaca mobil diturunkan.
“Biana sayang.....aku sudah menduga itu kamu. Antar aku pulang ya.” Aylin berseru kegirangan ketika tahu Biana yang berada didalam mobil.
“Ngapain kamu disini malam – malam begini?”
“Si begok Anis ninggalin aku. Dari tadi nunggu taksi tapi enggak ada satu pun.”
“Kamu pasti maksain Anis clubing kan? Sudah kubilang jangan begitu pada Anis.”
“Udah deh jangan ceramah. Antarin aku pulang ya.” Aylin masih bersikap manis.
“Aku bukan ceramah. Ah sudah lah, kamu memang susah dibilangin.”
“Heh, jangan sok tahu kamu ya. Mau nolongin apa enggak sih? Sok banget sih. Apa kamu mau aku bayar pake tubuhku dulu baru kamu nolongin!” Sikap Aylin yang kasar membuat Biana yang semula ingin membukakan pintu mobilnya menjadi urung. Lagi – lagi Aylin bersikap seperti itu.
“Kamu tidak berubah ya, Lin” Biana berkata dengan sedih. Wanita yang pernah dia cintai ternyata kini malah dbencinya. Mungkin kata kasar sudah mendarah daging tapi ketika Biana tahu tentang Aylin yang suka menyewakan tubuh seorang wanita pada wanita atau bahkan pria membuat Biana terkejut. Aylin bahkan tidak segan menjual tubuhnya sendiri.
“Anjing! Udah deh, jauh – jauh sana kalau tidak mau nolong.” Dengan sepatu haknya Aylin menendang mobil Biana. Biana tidak mau berdebat lagi, dia kembali memacu mobilnya meninggalkan Aylin yang mengacungkan jari tengahnya pada Biana.

“Malam itu kalau saja aku tidak termakan umpatan kasar Aylin tentu aku akan mengantarnya dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.” Pandangan Biana diselimuti kesedihan mungkin juga rasa bersalah. Anis meremas lembut tangan Biana lalu Ren menepuk pelan bahu Biana.
“Tidak, kamu tidak salah Na. Seperti katamu tadi. Ini sudah digariskan. Pemabuk yang mengendarai mobilnya secara ugal – ugalan itu lah yang bersalah. Dia menabrak Aylin yang berdiri menunggu taksi ditrotoar.”
“Ya, benar kata Anis. Kita hanya kebetulan berhubungan sebelum maut menjemput Aylin. Lagipula Aylin pasti tidak ingin orang lain tahu kalau dia tidak kita pedulikan.” Ren menambahkan kata – kata Anis.

“Benar, Aylin selalu ingin terlihat sempurna dimata orang – orang. Kita tidak perlu menceritakan hal yang malah akan merusak namanya. Biar saja kematiannya dikenang karena kecelakaan yang menggenaskan saja.” Biana memandangi Ren dan Anis. Mereka mengangguk bersamaan. Sepakat dengan keputusan kalau pengakuan mereka akan terkubur bersama kematian Aylin.

Minggu, 15 Desember 2013

PERMAINAN



Aku sedang melakukan suatu permainan. Permainan yang pasti pernah dilakukan oleh setiap orang, ya walaupun tidak semua orang mau mengakuinya. Permainan ini tidak rumit tapi tidak juga mudah. Aku sudah sering memenangkan permainan ini dan rahasianya tentu saja tidak akan kuberitahu. Baiklah, aku akan bercerita tentang salah satu kisah saat permainan ini kulakukan. Simak dan lihat saja sendiri apa rahasia dalam memenangkan permainan ini.

Akisa memandang senang saat pesan singkat dari Regi muncul di handphonenya. Sudah dua minggu Akisa dan Regi bertukar sapa di facebook maupun twitter dan baru ini Regi memberanikan diri meminta pin BB Akisa. Canda, celotehan dan entah bahasan apa saja mereka obrolkan sampai Akisa lupa sudah berapa jam dia dan Regi saling berbalas BBM. Akisa menaruh harap pada Regi. Sosok wanita yang menurut Akisa dewasa, cerdas juga humoris. Semula Akisa terjun ke dunia maya hanya untuk mengenal lebih jauh dunia yang selama ini takut untuk diakuinya tapi semakin lama semakin Akisa tidak bisa membohongi kalau dirinya adalah wanita pecinta wanita. Mengenal sosok Regi yang bijak juga selalu memperingati Akisa tentang bahaya dunia maya makin membuat Akisa menyukai Regi. Tapi Akisa hanya berani berharap, tidak ingin merusak pertemanan yang telah terjalin.

Hujan mengguyur kota Akisa dengan deras. Sebersit cemas hadir saat Akisa memandang dari kaca jendela. Cafe ini sepi dan memang itu yang diharapkan Akisa tapi hujan bukan yang diharapkannya. Akisa takut Regi tak jadi datang, apalagi jarak kota Regi dan kotanya dua jam perjalanan. Semalam Regi berkata akan menggunakan sepeda motor dan itu makin membuat cemas Akisa kalau Regi membatalkan pertemuan pertama mereka. Saat sebuah sosok wanita yang Akisa tahu adalah Regi masuk kedalam cafe, Akisa langsung tersenyum senang. Kecemasannya tidak terbukti. Meski bahu jaketnya sedikit basah tapi Regi datang juga.
“Hujannya deras banget. Sorry ya telat.”
“Enggak apa – apa kok. Tahu nih, kok malah hujan hari ini.” dan percakapan mereka pun mengalir, melebur seolah mereka sudah sering bertemu.

Yusi, gadis yang menurut Akisa lembut dan pemalu hari ini menampilkan status penuh dengan kemurungan. Akisa mengerutkan dahi saat membaca status Yusi. Mereka sudah saling mengenal dan rasanya sudah sepatutnya Akisa bertanya ada apa.
“Maaf ya, tiba – tiba langsung meminta nomor handphonemu. Rasanya tidak enak mengobrol melalui chat FB.” Suara lembut Yusi menyapa Akisa setelah Akisa memberikan nomor handphonenya tadi saat mereka berbalas pesan.
“Enggap apa – apa kok. Aku malah senang kamu mau bercerita. Setidaknya aku berharap setelah kamu bercerita, kamu tidak murung lagi.” Akisa berucap tulus.
“Saya mulai dari mana ya, hem...sebenarnya ini masalah dengan teman FB juga. Kamu pasti tahu Ela kan? Saya dan Ela bertengkar. Dia menuduh saya merebut pacarnya.” Tentu Akisa tahu siapa Ela. Ela adalah kakak angkat Yusi dan ucapan Yusi membuat Akisa heran. Biasanya mereka terlihat akrab di FB.
“Maaf kalau saya lancang, tapi apa kamu memang merebut pacar Ela?”
“Saya tidak merebut. Pacar Ela sendiri yang mendekati saya, dia bilang dia dan Ela bertengkar jadi saya hanya menasehati dia. Saya tidak tahu kalau akhirnya pacar Ela jadi menyukai saya. Saya sudah menjelaskan semua itu pada Ela tapi dia tidak peduli. Saya bahkan tidak berpacaran dengan pacarnya.” Tiba – tiba Akisa mendengar tangis Yusi dari seberang telepon. Hati Akisa terenyuh.
“Ini hanya salah paham. Yang sabar ya. Semoga Ela bisa mengerti.”
“Iya, makasih ya kamu sudah mau mendengar cerita saya.”
“Sama – sama. Kita kan teman jadi kapan pun kamu mau cerita, silahkan saja.”
“Kamu juga Akisa, kapan pun kamu mau cerita saya selalu siap.”

Semenjak itu Akisa dan Yusi mulai akrab. Akisa menilai Yusi adalah teman yang baik. Karena pertemanan mereka pula, Regi jadi berubah sikap. Marah dan cemburu.
“Kamu dan Yusi pacaran?” pertanyaan itu langsung terlontar begitu mereka bertemu kembali di cafe yang sama.
“Pacaran? Hahaha....ya enggak lah. Yusi itu sukanya Butchi, aku juga. Kami sama – sama femme jadi bagaimana kamu bilang pacaran.”
“Tapi kalian akrab banget. Kalau aku bbm pasti kamu bilang tadi si Yusi habis telepon.” Nada suara Regi masih terlihat kesal.
“Kamu cemburu ya?” dan pertanyaan yang dilontarkan Akisa sontak membuat pipi Regi memerah. Akhrinya Regi menganggukkan kepala. Dia memberanikan diri mengucapkan perasaannya pada Akisa.
“Aku suka kamu Sa. Jatuh cinta sama kamu.” Kali ini pipi Akisa yang memerah dan ketika Regi memintanya menjadi gadisnya, Akisa langsung mengiyakan. Dia juga memiliki perasaan yang sama terhadap Regi.

“Jadi kamu dan Regi sudah jadian? Selamat ya.” Nada riang Yusi makin membuat hati Akisa berbunga – bunga. Begitu pulang dari cafe, Akisa langsung mengabari Yusi. Dia ingin berbagi kebahagian.
“Saya jadi ingin ketemu sama kamu dan Regi deh. Ingin melihat pasangan berbahagia.”
“Gimana kalau kita janjian ketemuan? Bulan depan aku mau ke kota Regi, kamu mau tidak kesana juga? Kan tidak jauh dari kotamu.” Akisa mengusulkan. Mengingat kota Regi berada ditengah kotanya dan kota Yusi. Yusi berteriak senang dan berjanji kalau bulan depan akan menyumpai mereka.

Semula Regi keberatan Yusi ikut dalam kencan mereka tapi setelah Akisa mengyakinkan kalau Yusi adalah teman baiknya akhirnya Regi mengalah. Mereka berkenalan dan bersenang – senang bersama. Regi merupakan pemandu yang baik, membawa mereka mengelilingi kotanya. Saat malam tiba, Regi yang memiliki apartemen sendiri mengajak Akisa untuk tidur dikamarnya. Akisa tentu mau tapi tidak enak dengan Yusi yang akan tidur sendirian.
“Tidak apa – apa kok. Kalian kan baru kali ini nginap bareng.” Yusi berkata bijak. Akisa makin tidak enak, maka dengan meminta maaf dan pengertian Regi akhirnya mereka tidur bersama. Tiga orang dalam satu kamar.
“Kamu memang gadis yang baik hati, aku makin mencintaimu.” Sebelum tidur Regi mengecup bibir Akisa. Akisa segera membalas ciuman itu, meski hanya sebentar tapi jantung Akisa berdetak kencang. Akisa berpaling pada Yusi yang tidur disebelahnya, terlihat sudah pulas. Akisa memang berharap Yusi tidak menyaksikan ciuman mereka tadi.

Terimakasih, Akisa. Sudah mau mengajakku jalan – jalan dan mengenal Regi yang baik hati.
 Status terbaru Yusi di FB membuat Akisa tersenyum dan langsung meng-like dan membalas status itu. Sepuluh menit kemudian, muncul pesan di inbok Akisa. Dari Ela. Meski agak bingung, Akisa membuka pesan itu juga.
Aku hanya ingin memperingatkan, jangan membiarkan Yusi dekat – dekat dengan pacarmu kalau tidak mau sakit hati. boleh percaya atau tidak.
Hanya itu pesan tersebut. Terbesit rasa tidak enak tapi selama ini Yusi selalu baik dan mungkin Ela masih marah mengenai kejadian dulu. Akisa mengabaikan pesan itu. Dia memilih mengirim bbm pada kekasihnya.

Setumpuk tugas kuliah membuat Akisa harus fokus apalagi nilai nya sempak anjlok begitu dia terlalu hanyut dalam percintaannya dan lupa untuk belajar. Akisa meminta pengertian Regi kalau mungkin dia akan lebih mengurangi bbm dan percakapan mereka ditelepon.
“Tidak apa – apa sayang. Sebentar lagi kan sudah mau ujian semester. Kamu harus konsentrasi. Masak pacarku nilai ipk nya jelek. Yang semangat ya sayang.”
“Makasih ya cinta. Cinta juga semangat ya. Jangan ngebbm wanita lain ya mentang – mentang adik lagi sibuk belajar.”
“Hahaha...adik ada – ada saja. Iya sayangku, cintaku.”

Ada sesuatu yang dilupakan Akisa. Yusi. Dia dan Regi waktu berkenalan dulu telah bertukar nomor telepon dan pin BB. Akisa tidak mengira Yusi menggantikan posisinya bertukar pesan dan percakapan dengan Regi saat dirinya sedang sibuk belajar. Akisa baru tahu setelah Regi bercerita kalau siang tadi dia dan Yusi rupanya memiliki kesamaan yang sama dalam hal menonton film horor.
“Kenapa Yusi bbm sayang?”
“Namanya juga teman, kan wajar saja. Adik cemburu ya? Hahaha...tenang saja sayang, kami cuma ngobrol biasa saja kok.” Akisa mempercayai kata – kata Regi. Apalagi setelah dia bertanya pada Yusi dan dia malah ditertawai.
“Ya ampun, Akisa. Tenang saja, Regi itu bukan tipe saya. Hahaha...kamu ada – ada saja deh. Saya menganggap Regi itu hanya sebatas kakak yang baik. Masak saya mau merebut Regi dari kamu. Ada – ada saja.” Dan perkataan Yusi membuat hati Akisa lega.

Setelah ujian semester selesai, Akisa langsung bersorak senang. Akhirnya dia terbebas dan Akisa yakin nilainya pasti akan bagus. Liburan semester ini dia sudah berencana mengunjungi Regi. Regi menyambut Akisa di apartemennya. Ada sesuatu diwajah Regi yang membuat Akisa bingung.
“Ada apa sayang. Kok kayaknya kamu cemberut.”
“Enggak kok.” Jelas Regi sedang berbohong dan Akisa terus bertanya.
“Oke, aku lihat kamu dan Sera akrab sekali. Kalian kan baru temanan di FB, tapi kok akrab banget.” Akhirnya Regi mengucapkan apa yang membuatnya kesal.
“Ya ampun sayang, adik dan Sera hanya teman. Adik menganggap Sera itu lucu, ya hanya sebatas itu.”
“Tapi bisa saja lama – lama adik jadi suka sama dia. Dan akhirnya selingkuh. Sudah sering banget kejadian seperti itu. Yusi saja bilang kalau Sera sepertinya punya maksud tertentu dengan adik.”
“Yusi? Kok dia...jadi sayang curhat sama Yusi?” Cemburu menyeruak masuk kedalam hati Akisa.
“Ya, tapi bukan itu intinya. Aku tidak mau adik jadi suka dengan Sera.” Meski masih belum memulihkan rasa cemburu tapi Akisa berusah menahannya. Regi lebih terlihat cemburu dan Akisa tidak ingin pertemuan mereka rusak gara – gara salam paham yang tak berarti.
“Maaf sayang kalau adik sudah membuat sayang jadi berpikiran seperti itu. Adik janji akan menjauhi Sera.” Mereka tidak melanjutka adu mulut lagi tapi saling memeluk. Begini lebih baik. Akisa tahu Regi hanya tidak ingin kehilangan dirinya.

Boleh saja Akisa berencana tapi rencana tetap hanya rencana. Sera sama sekali tidak mau menjauhi Akisa meski Akisa sudah berkata kalau pacarnya tidak menyukai kedekatan mereka. Sera menganggap Regi kekanak – kanakan. Toh dia hanya berteman tidak ada maksud lain jadi dia tidak mau dilarang berteman dengan siapa pun kecuali kalau dia ada salah. Akisa tidak bisa mematahkan perkataan Sera. Ucapan Sera ada benarnya. Tapi Regi mempunyai pikiran lain. Dia marah melihat Akisa masih berteman akrab dengan Sera. Akisa berusaha menjelaskan tapi Regi sudah kepalang marah. Tidak mau membalas pesan maupun telepon Akisa. Akisa panik, tanpa berpikir panjang segera menaiki bus untuk pergi ke kota Regi. Akisa berharap penjelasan langsungnya bisa membuat hati Regi melunak.

Baru saja Akisa melangkah ke loby apartemen saat dia melihat Yusi keluar dari pintu lift. Akisa terkejut begitu pula dengan Yusi.
“Ngapain kamu kesini?” Kecurigaan datang dan membuat kata dari mulut Akisa menjadi ketus.
“Saya kebetulan sedang mengunjungi tante yang ada di kota ini. Dan saat saya memberitahu Regi, dia meminta saya mengunjunginya. Tadinya kami mengobrol tentang dirimu tapi Regi...” Yusi tidak jadi melanjutkan kata – katanya. Dia menunduk.
“Regi kenapa?” Yusi penasaran. Memaksa Yusi melanjutkan perkataannya.
“Maafin saya, Akisa. Saya sama sekali tidak bermaksud apa pun. Memang selama ini Regi sering curhat tentang hubungan kalian, tentang hidupnya juga tapi saya sama sekali tidak tahu kalau...kalau Regi menjadi...menjadi jatuh cinta dengan saya. Maaf, Akisa. Maaf.” Linangan airmata Yusi membuat Akisa terhenyak.
“Saya sudah menolak Regi, maaf. Saya pulang dulu.” Yusi segera pergi tanpa menunggu Akisa menanggapi ceritanya. Ada sesuatu, Akisa yakin itu. Dia masuk kedalam lift.

Regi tampak terkejut tapi mepersilahkan masuk Akisa. Dia masih terlihat marah. Akisa tidak duduk. Dia langsung bertanya pada Regi.
“Tadi Yusi kesini?”
“Iya, katanya sekalian mampir. Dia lagi berkunjung dirumah tantenya.”
“Bukan sayang yang memintanya kesini?” Wajah bingung Regi segera membuat Akisa yakin dengan pikirannya tadi. Akisa tidak membicarakan lagi tentang kedatangan Yusi tadi, dia ingin meredakan amarah Regi. Dihadapan Regi, Akisa menghapus nama Sera dari daftar pertemannya. Meski masih marah tapi Akisa bisa melihat senyum diwajah Regi. Mereka berbaikan. Dalam pelukan Regi malam itu, Akisa tahu Yusi sudah melakukan permainan licik. Yusi ingin menghancurkan hubungannya dengan Regi, seperti yang dulu dia lakukan dengan hubungan Ela. Akisa tidak akan tinggal diam. Dia bukan Ela. Yusi harus dibalas atau akan ada korban yang lain lagi.

Lagi – lagi wajah terkejut. Kali ini Yusi yang terkejut. Dia berharap yang mengetuk kamar hotelnya adalah Regi tapi ternyata Akisa lah yang berdiri didepan kamarnya.
“Aku membaca pesanmu di handphone Regi. Dia sedang sibuk, jadi mungkin tidak akan datang. Kamu bilang kamu mengunjungi tantemu. Kok tidak menginap disana malah di hotel.”
“Eh...saya tidak mau merepotkan tante.”
“Sudahlah, aku tahu kamu hanya berbohong. Aku sudah tahu semua niat jahatmu. Aku bukan orang jahat sepertimu, jadi sebelum aku juga jadi jahat dan membeberkan semua kelicikanmu, aku mau kamu pergi dari hidupku maupun hidup Regi. Sekarang juga hapus semua nomor handphone, pin, akun FB, semuanya. Aku ingin kamu menghilang dari hidup kami.”
“Baik...baiklah.” Setelah Yusi melakukan semua permintaan Akisa, Akisa pun tersenyum puas. Dia segera melangkah keluar dari kamar hotel.
“Jangan pernah muncul lagi dihadapanku.” Sebelum benar – benar pergi, sekali lagi Akisa memperingatkan Yusi.

Regi berjalan dengan terburu – buru. Melihat Yusi yang menangis makin membuat hati Regi remuk. Yusi yang melihat kedatangan Regi segera menghambur kepelukan Regi.
“Maafin saya, saya sudah melarang Akisa jangan pulang dulu tapi dia bilang mau makan siang bareng kamu. Dia buru – buru saat menyeberang jalan dan tertabrak mobil. Saya melihat itu dan tidak bisa menolongnya.” Tangisan Yusi pecah. Regi memeluk Yusi. Hatinya hancur. Dia sama sekali tidak mengira telepon Yusi tadi adalah berita buruk. Akisa meninggal tidak lama setelah dibawa ke rumah sakit.

Lihat, bukankah gampang melakukan permainan ini. Tentu kalian sudah tahu rahasiaku. Ya, jangan menaruh belas kasihan dalam permainan itulah rahasianya. Dua bulan sudah berlalu semenjak kematian Akisa dan tentu saja aku membantu proses kematian Akisa. Bukankah dia sendiri yang meminta aku tidak muncul dihadapannya lagi. Aku mengabulkannya dan mendorongnya ketika dia akan menyebrang jalan. Suasana ramai membuat tindakanku tidak diketahui siapapun. Oh ya, Regi yang hancur hatinya dengan mudah kutaklukan. Kami kini kekasih. Mencintainya? Mungkin lebih tepat aku mencintai kekayaannya. Untuk saat ini dia korbanku dan kalau aku bosan tinggal melakukan permainan lagi dan mencari mangsa baru. Itu permainan mudah untukku.

Kamis, 28 November 2013

Kucing Hitam

“Kamu tahu tidak mengapa aku memelihara kucing hitam?” Dia bertanya sambil mengendong kucing kecil berwarna hitam legam. Kucing yang semula tak kusetujui untuk dipelihara. Aku tahu dia pecinta kucing dan aku juga menyukai kucing tapi tidak dengan kucing hitam. Kucing yang menurut mitos adalah kucing pembawa sial. Aku menggeleng, lebih karena malas menanggapi perkataannya.
“Kalau kamu ninggalin aku dan aku mati, maka jiwa ku akan masuk kedalam tubuh kucing ini. Lalu aku yang sudah menjadi kucing akan mendatangimu.” Dia berkata dengan wajah serius. Aku menatapnya.
“Sinting.” Hanya itu ucapanku tapi dia malah tertawa terbahak – bahak.

Sembilan tahun telah berlalu dan aku tiba – tiba teringat dengan kata – katanya ketika Bumi, anakku membawa seekor kucing hitam dalam gendongannya.
“Ma, lihat kucing ini. kasihan kakinya luka.” Bumi mengangkat kucing hitam itu agar aku bisa melihat. Telinga kiri yang memiliki bekas sompel membuatku terkesiap. Sama persis seperti kucing miliknya. Mungkin hanya kebetulan. Aku membatin.
“sayang obati setelah itu kasih makan. Tapi tidak boleh dipelihara ya.”
“Tapi kan kasihan Ma.”
“Papamu kan alergi kucing sayang.” Aku mengelus kepala anakku. Dia mengangguk mengerti lalu membawa kucing itu kebelakang rumah.

Jauh sebelum aku menikah, aku dan dia adalah sepasang kekasih yang bahagia. Berkenalan didunia maya lalu berlanjut didunia nyata. Ah ya, biar kuperjelas, aku pecinta wanita jadi dia adalah wanita tentu saja. Namanya, ah...sepertinya tak perlu kusebutkan. Cukup hanya menjadi kenanganku saja. Dia sudah hilang, sembilan tahun yang lalu. Seminggu sebelum pernikahanku. Pernikahan yang mungkin batal kalau saja dia tidak menghilang. Tapi mungkin ini yang terbaik. Apa yang akan dikatakan keluargaku jika aku malah memilih perempuan dibanding pria baik hati yang bersedia menerimaku meski dia tahu masa laluku.
“Jangan mencoreng nama keluarga ini. Kalau kamu tidak memikirkan Mama dan Papa, pikirkanlah adik – adikmu. Jangan egois.” Itu perkataan Mama yang membuatku terduduk diam kala aku ingin kabur. Mungkin dia marah saat aku memilih memutuskannya. Dia yang posesif tentu tidak mau menerima hal itu. Menghilang, ya mungkin itu lebih baik untuknya dan juga untukku.

Suami ku pulang dan langsung bersin – bersin. Sepertinya Bumi masih belum mengembalikan kucing hitam itu kejalan.
“Padahal tadi dikantor saya baik – baik saja. Kok tiba – tiba bersin ya?”
“Mungkin gara – gara bulu kucing yang dibawa Bumi tadi, Bang. Bumi, sayang...” Anakku muncul saat kupanggil dan kucing hitam ini malah masih dalam gendongannya. Bersin suamiku makin menjadi.
“Sayang, kan Mama sudah bilang kalau kucing itu mesti sudah dikembalikan ke jalan. Lihat Papa jadi bersin – bersin.”
“Tapi Bumi kasihan, Ma. Milo jalannya masih pincang.” Aduh, sekarang kucing itu malah sudah diberi nama. Aku segera membawa Bumi ke teras sebelum suamiku marah.
“Dengar sayang, bagaimana kalau kita titip kucing ini di Pos Pak Supri. Tapi Bumi janji ya tidak boleh membawa kucing nya kedalam rumah dan kalau mau masuk ke rumah, Bumi harus membersihkan diri dulu. Biar bulunya enggak nempel dibaju Bumi.” Aku mencari solusi. Anakku tentu tidak akan melepas kucing itu begitu saja. Bumi langsung tersenyum senang dan menganggukkan kepalanya. Tapi aku melihat sesuatu yang aneh. Kucing itu menatapku. Tatapan yang tajam. Ah, mungkin hanya bayanganku saja.

Semenjak itu kucing hitam yang kini diberi nama Milo menjadi peliharaan anakku. Semula suamiku tidak setuju tapi ketika Bumi menangis saat Suamiku menyuruh Pak Udin, supirnya untuk membuang kucing itu akhirnya suamiku mengalah. Entah mengapa aku merasaka keterikatan terhadap kucing hitam itu. Saat aku lewat di os Pak Supri, kucing itu selalu mengeong. Bukan suara meongan yang biasa tapi suara yang menyayat hati.
“Suara kucing nya aneh ya Pak.” Aku bertanya pada Pak Supri tapi satpamku itu malah mengernyit heran mendengar pertanyaanku.
“Enggak ah Bu. Biasa saja. Mungkin karena Ibu tidak pernah melihara kucing.” Aku tidak membalas ucapan Pak Supri karena kucing itu sekarang malah menatapku tajam.

Malam itu aku bermimpi. Aku berada dalam ruang yang gelap tapi aku bisa melihat kucing hitam itu. Dia menatapku lalu mengeong, suara yang begitu menyayat hati. Lalu dari kedua bola matanya keluar airmata. Aku terkesiap dan terbangun. Mimpi aneh. Bulu kudukku meremang. Tidak itu hanya sekedar mimpi, aku berusaha mengyakinkan hatiku.

Kedatangan Mama yang tiba – tiba sama sekali tidak membuat hatiku makin tenang. Mama bukan tipe Ibu yang lembut dan menenangkan putrinya. Mama keras dan harga dirinya lebih penting daripada kebahagian anaknya.
“Kata Andy akhir – akhir ini kamu sering melamun. Dia takut kamu banyak pikiran jadi meminta Mama menemanimu. Ada apa? Jangan bilang kamu melakukan hal itu lagi.” Hal itu yang dimaksud Mama tanpa perlu beliau ucapkan pun aku paham.
“Tidak Ma. Aku sudah memiliki Andy dan Bumi. Aku tidak berhubungan lagi dengan wanita mana pun.” Aku menatap Mama dengan jengkel tapi Mama sepertinya tidak peduli.
“Syukurlah kalau begitu. Cukup sekali kamu hampir menghancurkan nama keluarga kita. Ingat ini Rosa, Andy itu pria yang baik. Dia mau menerimamu meski kamu itu ‘sakit’! jadi jangan macam – macam.” Aku memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mama. Dia selalu menganggap apapun yang keluar dari mulutnya adalah hal yang benar. Sebagai anak sulungnya aku cukup paham.
“Oh ya, ada sebuah berita. Sebenarnya tidak penting sih. Tapi sebaiknya kamu tahu supaya kamu tidak berharap lagi. Seminggu yang lalu Mama tidak sengaja bertemu dengan Pak Danu. Dia bercerita kalau Juana baru meninggal.” Mama bercerita dengan santai seolah itu adalah cerita biasa. Aku jatuh terduduk. Pak Danu adalah pemilik kost dimana aku dan kekasihku menetap dulu sebelum ketahuan oleh Mama. Dan tentu saja Joana adalah kekasihku. Sakit yang teramat sangat menyerang jantungku. Kucing hitam itu datang dan menatapku. Tatapan tajam serta suara eongan yang menyayat.

Aku harus mencari tahu. Tentu saja setelah Mama kembali ke rumahnya. Mama pasti tidak akan senang kalau aku mencari tahu tentang Juana. Aku meminta izin untuk pergi keluar kota. Melayat teman sekolah, itu alasanku pada Andy. Dan dia percaya. Tak peduli berapa jarak yang mesti kutempuh. Aku mengendarai mobil empat jam lebih tanpa istirahat. Rumah kost itu terlihat lebih tua. Pak Danu terlihat duduk di teras. Dia terkejut melihat kedatanganku.
“Eh, Athisa. Ada apa ya?” Sekilas aku melihat rasa bersalah dari Pak Danu. Ya, dia memang pantas merasa bersalah. Dialah yang melaporkan pada Mama tentang hubunganku dengan Juana. Mungkin dia sering mengintipi kamar kami hingga tahu kami sepasang kekasih.
“Apa betul Juana sudah meninggal?” Aku tak berbasa – basi. Pak Danu terhenyak tapi hanya sebentar. Pak Danu menganggukkan kepalanya.
“Bapak tahu dari mana? Dulu Bapak bilang tidak tahu kemana Juana. Mengapa Bapak bisa tahu dia sudah meninggal?” Aku tidak bisa menahan diri. Berbagai pertanyaan langsung keluar dari mulutku.
“Bapak sebenarnya tahu dimana Juana berada hanya saja Bapak sudah berjanji tidak akan memberitahumu. Dia dan suamimu bertemu disini seminggu sebelum pernikahanmu. Suamimu memintanya menjauh darimu tapi dia tidak mau. Mereka bertengkar hebat. Bapak tidak tahu harus membela siapa dan saat bertengkar tanpa sengaja suamimu mendorong Juana. Juana terjatuh dari tangga. Kami segera membawanya kerumah sakit. Bapak tidak mengerti dengan istilah medis yang diberitahu dokter. Yang jelas setelah terjatuh, saraf Juana ikut terantuk. Dia lumpuh dan selama ini dia dirawat di rumah sakit. Suamimu lah yang membiayai perawatan Juana. Dia meminta Bapak merahasiakan semuanya. Maafkan Bapak. Bapak merasa berdosa, Bapak tidak sanggup merahasiakannya lagi. Sepuluh hari yang lalu Juana tidak sanggup lagi bertahan. Dia menghembuskan napas terakhirnya.” Wajah Pak Danu keruh dan begitu pula denganku. Tenggorakanku tercekat. Selama ini, ternyata selama ini suamiku yang memisahkanku dengan Juana. Aku menangis, tangis yang entah menangis nasib tragis Juana atau nasibku.

Hari itu juga aku pulang ke rumah. Setelah melihat makam Juana dan menangis lagi disana aku memutuskan untuk pulang. Pak Danu tak hentinya meminta maaf. Aku hanya mengangguk kecil. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Ada satu orang yang mesti kutanyai lagi, Andy suamiku. Sesampainya di rumah, langit sudah berubah menjadi gelap. Suamiku sedang duduk menonton televisi.
“Sudah pulang sayang. Sini, pasti capek. Biar Abang pijitin.” Aku menurut. Berjalan dan duduk disamping Andy. Baru saja aku membuka mulut untuk bertanya, Bumi masuk dengan mengendong kucing hitam.
“Kok dibawa masuk kucingnya. Hacim...hacim...” Andy langsung bersin – bersin. Kucing hitam itu menatapku tapi kali ini tatapannya sendu. Dia mengeong, suara yang seperti memberitahuku kalau dia sudah tahu aku tahu. Aku mendekati Bumi lalu mengambil kucing hitam itu. Dalam gendonganku, kucing hitam itu menitikkan airmata. Aku juga ikut menangis.

“Mama kenapa?” Bumi bertanya heran. Aku tidak sanggup menjawab. Aku dan kucing hitam menatap Andy yang masih bersin – bersin. Kami sama – sama menangis.