Selasa, 14 Januari 2014

Pengakuan

Sudah seratus hari semenjak kecelakaan itu merenggut nyawa Aylin. Semua yang hadir diruangan tampak bersedih. Mereka berkumpul dan mengenang Aylin. Semula hanya sebuah status di facebook lalu semua terdorong untuk mengadakan acara ini.
“Aylin...siapa yang tidak mengenal wanita ceria dan supel seperti dia.” Ren memulai pidatonya. Pidato yang sebenarnya tidak tahu kata apa yang sanggup dia ucapakan untuk seseorang yang mengisi masa lalunya. Kemeja hitam yang Ren kenakan menambah kelam wajahnya. Dia mengusapkan telapak tangannya kewajah.
“Kita telah kehilangan seseorang yang selalu membuat kita bersemangat. Kehilangan tawa cerianya. Kepergian Aylin adalah kesedihan yang sangat untuk kita semua. Seandainya Aylin disini dia pasti akan menertawakan kita. ‘Hei, kok wajah kalian sedih semua sih. Ayolah, kita jangan murung terus, bersenang – senang dong.’ Itu pasti kata – kata yang diucapkan Aylin.” Ren tersenyum kecil dan anggukan dari teman – temannya membuat Ren tahu kalau mereka juga mempunyai pikiran yang sama.

Ren berjalan dan duduk disudut. Membiarkan teman – teman yang lain memandangi foto – foto Aylin yang terpajang di dinding. Ren mengusap rambut pendeknya, seolah ingin mengusap aura suram. Anis yang datang dan membawa minuman untuk Ren, ikut duduk disamping Ren.
“Aylin tidak akan suka melihatmu bersedih gara – gara dia.” Meski tersenyum tapi tampak jelas Anis juga sama kelamnya. Wajah orientalnya terlihat sedih, terlebih gaun hitamnya seolah mendukung kesedihan itu.
“Ironis ya, acara ini memang untuk Aylin dan dia memang selalu suka menjadi pusat perhatian tapi acara ini ada kerena kepergiannya.” Tiba – tiba Biana datang dan mengambil kursi lalu duduk dihadapan kedua temannya. Hari itu meski Biana tampil santai, kaos hitam dan celana jeans panjang tapi dia juga terlihat sedih. Anis menunduk, membiarkan rambut panjangnya menutupi wajahnya.
“Kalau saja hari itu aku tidak meninggalkan Aylin, tentu Aylin tidak akan mengalami kecelakaan itu.” Anis menangis. Bulir – bulir airmata jatuh dan pengakuan itu meluncur dari mulut Anis.

Malam itu Aylin mengajak Anis untuk clubing. Menikmati hingar bingar musik. Anis sebenarnya tidak ingin ikut. Besok dia harus kuliah. Tapi seperti biasa Aylin tidak menerima penolakan.
“Hanya sebentar Nis. Aku hanya ingin bersenang – senang. Setelah itu aku janji akan pulang.” Anis luluh dan termakan janji Aylin. Mereka mulai bersenang – senang, Aylin lebih tepatnya. Aylin sama sekali tak berniat membayar semua kesenangannya. Lagi – lagi Anis mengalah, membiarkan dompetnya menipis. Tapi ketika jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, Anis menagih janji Aylin.
“Ayo kita pulang Lin. Ini sudah jam satu.”
“Baru jam satu. Sebentar lagi.”
“Tadi kamu juga bilang begitu, sebentar lagi, sebentar lagi. Besok aku ada quis Lin. Ayo lah, kita pulang. Biar aku antar ke kost mu.” Bisa saja Anis pulang duluan tapi larut seperti ini pasti tidak ada taksi apalagi club ini jauh dari tempat biasa mereka berkumpul. Tidak ada seorang pun yang mereka kenal.
“Buat apa kuliah sih. Jangan jadi kuper begitu dong Nis. Sia – sia aku permak kamu dari si gemuk jadi si tenar royal.” Aylin cekikikan. Mungkin alkohol yang sudah masuk memperngaruhi otaknya. Anis tidak suka dengan kata – kata Aylin. Anis tahu dia memang pemalu. Aylin yang mengajarinya banyak hal, mengenalkan lebih dalam tentang dunia Lesbian yang dulu Anis tidak berani akui. Aylin pula yang menjodohkannya dengan Karen. Tapi pertolongan Aylin tidak lah gratis. Aylin tidak segan meminta.
“Jangan pelit sama makcomblangmu Nis. Belum tentu kamu bisa jadian dengan Karen kalau bukan karena campur tanganku.” Anis terlalu lugu dan menurut begitu saja. Tapi kali ini Anis memberontak. Dia tidak mau lagi menuruti perkataan Aylin apalagi setiap kata yang keluar dari mulut Aylin selalu menyakitkan hatinya.
“Kalau kamu tidak mau pulang, aku pulang duluan.” Ancam Anis.
“Pulang saja sana. Dasar cewek kuper. Jangan – jangan Karen mau sama kamu cuma karena kamu kaya.” Aylin menyelesaikan katanya dengan tawa cekikikan. Anis tak mau lagi menunggu, dia segera keluar dengan wajah marah. Sudah cukup dia mendengar kata – kata Aylin.

Ren mengusap bahu Anis lembut. Ren yang mengenal Aylin sedemikian lama tahu betul kalau yang diceritakan Anis adalah benar, bukan hanya rekaan Anis.
“Karen memang dari lama sudah memintaku menjauhi Aylin. Tapi aku tidak tega. Dia yang mengenalkan ku dengan Karen. Malam itu, kalau saja aku tidak meninggalkan Aylin......” Diantara isak tangisnya Anis bercerita.
“Kecelakaan itu bukan mau mu, Nis. Kamu tidak salah. Sebenarnya malam itu Aylin juga meneleponku. Tapi aku juga tidak berniat menolongnya sama sekali.” Ren yang semula mengusap bahu Anis kemudian mengacak rambut pendeknya. Mungkin orang akan mengira Ren adalah lelaki kalau tidak memperhatikan betul lekuk tubuhnya yang tersembunyi. Ren mulai bercerita, mengakui tentang kejadian malam sebelum kecelakaan Aylin.

Malam sudah larut, bahkan dini hari sudah menjelang. Ren mengumpat kesal ketika bunyi memekakkan handphonenya membuatnya bangun. Ren semula ingin tidak mempedulikan saja, tapi biasanya telepon dijam segini selalu penting. Ren bangkit, khawatir terjadi sesuatu terhadap anggota keluarganya yang memang berada jauh diluar kota. Ketika nama Aylin yang tertera dilayar handphone, Ren mengerutkan dahinya. Membiarkan telepon itu berbunyi beberapa detik lagi sebelum dengan malas menjawab.
“Kok lama banget sih ngangkat teleponnya.” Belum sempat Ren berkata, Aylin sudah menyerang dengan rentetan kata kesal.
“Aku lagi tidur.” Hanya itu. Ren memang tak berniat bertanya apa pun. Tapi seperti yang Ren kira, Aylin sama sekali tidak merasa mengganggu tidur Ren.
“Jemput aku dong. Ini aku lagi dijalan Lilalama. Depan klub Akar.”
“Aku tidak bisa. Ngantuk. Naik taksi saja.”
“Kalau ada taksi dari tadi aku juga naik taksi aja. Gimana sih. Ayolah, apa kamu tega membiarkan aku sendirian disini.” Suara memelas Aylin sama sekali tidak mempengaruhi Ren. Ren sudah terbiasa bahkan boleh dibilang muak.
“Dimana teman – temanmu? Pacarmu? Suruh saja mereka. Aku mau tidur lagi, sudah ya.”
“Eh...tunggu Ren...ayolah Ren. Cuma kamu yang bisa aku harapkan, aku malu kalau meminta tolong teman yang lain. Aku juga sudah tidak punya pacar lagi. Membosankan banget si Biana itu. Lagipula BB dan Galaxy ku sudah mati. Powerbank lupa ku bawa. Hanya handphone kecil ini hadiah darimu yang masih ada.” Rayuan Aylin mengetuk hati Ren sedikit tapi Ren teringat dengan semua yang telah dilakukan Aylin padanya. Ren menghembuskan napasnya. Dia memutuskan sudah cukup Aylin memanfaatkan dirinya. Menyalahkannya karena Aylin kabur dari rumah demi bersamanya dulu, lima tahun yang lalu.
“Aku benar – benar tidak bisa, maaf. Besok ada meeting penting.”
“Jadi kamu tidak mau nolongin aku hah? Sudah hebat ya? Apa kamu mau aku menyebarkan kalau kamu itu lesbian dikantormu? Membawa lari aku lalu begitu saja tidak mau bertanggung jawab!” Seperti yang Ren duga, sifat asli Aylin muncul kembali. kata – kata pedas dan ancaman.
“Sudah cukup Lin. Aku minta maaf kalau kamu merasa aku yang menyerumuskanmu kedunia lesbian. Aku tidak mau melakukan pembelaan apapun karena bagimu tetap aku yang salah. Tidak perlu mengancamku lagi karena semua teman kantor bahkan Boss ku sudah tahu tentap siapa aku. Mereka menerimaku dengan baik. Jadi jangan ganggu aku lagi. Seperti katamu dulu, kita sudah berpisah jangan ikut campur lagi.” Tanpa menunggu jawaban Aylin, segera Ren mematikan handphonenya. Dia tidak ingin mendengar makian Aylin lagi, itu hanya akan membuat tidurnya tidak nyenyak. Semenjak mereka putus Aylin memang selalu saja meneror dan mengancam. Ren yang tidak mau terlibat masalah, memberikan saja apa yang dimau Aylin. Tapi makin lama Ren merasa tidak bebas apalagi ketika dia bertemu dengan Cecil, karyawan baru dikantornya. Dia tidak ingin usaha pendekatan dengan Cecil berjalan tidak lancar gara – gara Aylin. Maka sebulan yang lalu Ren memberanikan diri coming out. Dan ternyata ketakutan yang selama ini Ren simpan tidak beralasan. Boss nya menerima dengan baik dan rekan – rekan kerjanya juga begitu. Meski ada satu dua yang mencibir dibelakang. Ren tahu mereka hanya pura – pura baik karena Boss mereka tidak mempermasalahkan jati diri Ren. Tapi rekan – rekan yang memang akrab sangat menerima siapapun Ren.

Ren mengakhiri ceritanya, memandangi Anis dan Biana. Anis yang semula menangis menjadi terdiam.
“Bisa saja aku pergi menjemput Aylin dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.” Ren meneruskan kata – katanya.
“Tidak, Ren. Kamu tidak salah. Ini semua sudah digariskan. Sebenarnya malam itu aku berada disana.” Biana yang dari tadi mengumpulkan keberanian untuk bercerita akhirnya berkata. Pengakuan yang sebenarnya ingin dia simpan.

Biana tak dapat terlelap, dia memilih membawa mobilnya dan berkeliling. Entah kemana. Tanpa Biana duga sosok Aylin berdiri diatas trotoar seperti menanti sesuatu atau mencari sesuatu. Biana mendekatkan mobilnya hingga sejajar dengan posisi dimana Aylin berdiri. Kaca mobil diturunkan.
“Biana sayang.....aku sudah menduga itu kamu. Antar aku pulang ya.” Aylin berseru kegirangan ketika tahu Biana yang berada didalam mobil.
“Ngapain kamu disini malam – malam begini?”
“Si begok Anis ninggalin aku. Dari tadi nunggu taksi tapi enggak ada satu pun.”
“Kamu pasti maksain Anis clubing kan? Sudah kubilang jangan begitu pada Anis.”
“Udah deh jangan ceramah. Antarin aku pulang ya.” Aylin masih bersikap manis.
“Aku bukan ceramah. Ah sudah lah, kamu memang susah dibilangin.”
“Heh, jangan sok tahu kamu ya. Mau nolongin apa enggak sih? Sok banget sih. Apa kamu mau aku bayar pake tubuhku dulu baru kamu nolongin!” Sikap Aylin yang kasar membuat Biana yang semula ingin membukakan pintu mobilnya menjadi urung. Lagi – lagi Aylin bersikap seperti itu.
“Kamu tidak berubah ya, Lin” Biana berkata dengan sedih. Wanita yang pernah dia cintai ternyata kini malah dbencinya. Mungkin kata kasar sudah mendarah daging tapi ketika Biana tahu tentang Aylin yang suka menyewakan tubuh seorang wanita pada wanita atau bahkan pria membuat Biana terkejut. Aylin bahkan tidak segan menjual tubuhnya sendiri.
“Anjing! Udah deh, jauh – jauh sana kalau tidak mau nolong.” Dengan sepatu haknya Aylin menendang mobil Biana. Biana tidak mau berdebat lagi, dia kembali memacu mobilnya meninggalkan Aylin yang mengacungkan jari tengahnya pada Biana.

“Malam itu kalau saja aku tidak termakan umpatan kasar Aylin tentu aku akan mengantarnya dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.” Pandangan Biana diselimuti kesedihan mungkin juga rasa bersalah. Anis meremas lembut tangan Biana lalu Ren menepuk pelan bahu Biana.
“Tidak, kamu tidak salah Na. Seperti katamu tadi. Ini sudah digariskan. Pemabuk yang mengendarai mobilnya secara ugal – ugalan itu lah yang bersalah. Dia menabrak Aylin yang berdiri menunggu taksi ditrotoar.”
“Ya, benar kata Anis. Kita hanya kebetulan berhubungan sebelum maut menjemput Aylin. Lagipula Aylin pasti tidak ingin orang lain tahu kalau dia tidak kita pedulikan.” Ren menambahkan kata – kata Anis.

“Benar, Aylin selalu ingin terlihat sempurna dimata orang – orang. Kita tidak perlu menceritakan hal yang malah akan merusak namanya. Biar saja kematiannya dikenang karena kecelakaan yang menggenaskan saja.” Biana memandangi Ren dan Anis. Mereka mengangguk bersamaan. Sepakat dengan keputusan kalau pengakuan mereka akan terkubur bersama kematian Aylin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar