Kamis, 13 Juni 2013

Kebahagian



Penyesalan, selalu datang terlambat. Bukankah selalu seperti itu? Aku ingin berbagi tentang penyesalan yang paling menusuk hatiku, penyesalan yang harus kutanggung seumur hidup tapi setidaknya aku bisa belajar banyak dari penyesalan ini, bukan hanya terpuruk dan menangis menyesal, tapi bangkit dan berusaha menatah kembali kehidupanku.

Saat itu aku berdiri diluar club sambil mengetatkan jaket. Dinginnya malam di Philadelphia menusuk kulitku tapi aku bernapas dengan lega setelah menghirup udara segar.
“Suara bising mobil lebih melegakan daripada suara musik didalam.” Suara itu membuatku berpaling dan mendapati dirinya sedang merangkul badan dengan lengannya. Dia rupanya berbicara sendiri dan sepertinya dia sama denganku, tidak menyukai suasana club yang menurutku bising dan gelap.
“ya, itu benar.” Kataku menyetujui ucapannya meski dia tak sedang berbicara denganku. Dia melihat kearahku dan tersenyum.
“Coba katakan apa alasanmu sehingga bisa keluar dari club? sakit kepala?” Senyumnya miring dan aku suka melihat senyum seperti itu.
“Sepertinya alasan kita sama.” Lalu kami tertawa bersama.
“Khasa, Khasa Kapoor.” Dia memperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Lana Henning.” Aku mengerutkan dahi mendengar namanya. Namanya sangat berbau India tapi dia dengan rambut coklat serta warna biru matanya tentu tak bisa membuatku berpikiran dia orang India dan sepertinya dia mengerti kerutan didahiku.
“Nama India bukan, bingung? Orangtua angkatku dari India dan tentu saja namaku jadi seperti itu. Dan kalau boleh aku tebak, namamu, nama Hawaii?” Senyum miring lagi.
“Ya, kamu benar. Ibu ku orang Hawaii.” Semenjak perkenalan kami, tingkat pertemanan kami pun berlanjut.

Khasa, dia cantik dengan kacamata dan rambut tak lebih dari sebahu juga tentunya senyum miringnya. Aku begitu saja menyukainya. Setelah malam itu, kami bertukar nomor telepon. Mengirim pesan singkat dan bertelepon juga bertemu saat kesibukan tak menyita waktu kami. Pekerjaan ku di klinik kecantikan juga berjalan lancar. Pelanggan bertambah banyak. Rekan usaha sekaligus rekan kerja ku Caroline juga akhir – akhir ini tampak bahagia. Aku baru mengetahui berita lamaran kekasihnya setelah melihat cincin melingkar dijari manisnya.
“Jadi kapan pesta itu akan diadakan?” Aku bertanya turut senang dengan kebahagian Caroline.
“Dua bulan lagi. Itu memang cepat tapi Adam mau kami cepat menikah. Katanya tak perlu repot, kami hanya akan mengadakan pesta sederhana dan Lana, kamu harus menjadi pengiring pengantinku.”
“Oh...itu kehormatan bagiku Caroline, sekali lagi selamat.” Kami berpelukan. Sungguh bahagia melihat sahabatmu bahagia. Klinik kecantikan kami, Lana & Caroline kami bangun dengan susah payah dan tentu saja nama Caroline yang merupakan senior serta guruku membawa pengaruh baik untuk usaha kami.
“Siapa wanita yang kemarin datang menjemputmu? Kamu belum menceritakannya Lana.” Tiba – tiba pertanyaan Caroline membuatku tersenyum. Caroline tahu kalau aku pecinta wanita dan menceritakan Khasa padanya membuatku sedikit tersipu.
“Namanya Khasa. Dia teman baruku. Dia baik.”
“Ow...sepertinya dia lebih dari teman. Coba ceritakan tentang ‘teman’ barumu sayang. Aku begitu penasaran. Seorang Lana yang tertutup akhirnya punya teman kencan.” Caroline berkata sambil menekankan kata teman.
“Dia baik, seperti yang tadi kukatakan. Dia bekerja diperusahaan game, aku kurang paham tepatnya apa bagian pekerjaan dia tapi menurutnya dia dan teman – temannya membuat suatu game hidup dan disukai. Dia anak rumahan, menurut ceritanya dia tinggal bersama kedua orangtuanya tapi ya kamu tahu Caroline, aku belum pernah kerumahnya. Kami masih berkencan dan tentu saja aneh jika kami sudah saling mengunjungi keluarga kami.”
“Oh..dear, tentu saja. Tapi aku rasa kamu tinggal tunggu waktu. Senang melihatmu bahagia seperti ini. Dan jika si Khasa berani menyakitimu, beritahu aku, dia akan kubalas.” Perkataan Caroline membuatku terharu, dia memang sahabat terbaikku.

Malam ini seharusnya kami makan malam bersama, Khasa dan aku tentunya. Tapi Khasa menelepon saat aku masih berada diklinik.
“Maaf, sepertinya malam ini kita harus membatalkan makan malam kita. Hasyiiimmmm....” bersinnya yang keras membuatku tahu dia sedang sakit.
“Sebenarnya flu ini tidak terlalu menyulitkan ku untuk bertemu denganmu, tapi Mom sangat khawatir dan semenjak tadi pagi dia melarangku keluar bahkan meski hanya keluar ke pintu pagar untuk mengambil koran pagi.” Khasa melanjutkan kata – katanya.
“Ya, tidak apa – apa. Memang sebaiknya kamu beristirahat. Lain kali kita bisa makan malam bersama tentunya jika kamu sudah sembuh.” Dari telepon Khasa aku mendengar suara seorang wanita tapi kecil lalu Khasa sepertinya berkata sesuatu.
“Tidak Mom, aku belum menawarinya. Maaf itu tadi Mom, dia menanyakan mengapa kita tak makan malam disini saja.”
“Mengapa tidak?” tiba – tiba kata itu terlepas dari mulutku. Seketika aku menggigit bibirku karena tak sempat berpikir dulu sebelum berkata.
“Eh...kamu tidak keberatan kita makan dirumahku, Lana?” Suara itu meski terdengar serak akibat flu tapi aku bisa mendengar dengan jelas nada riangnya.
“Tidak, aku sama sekali tak keberatan. Tapi tentu saja jika orangtuamu tak keberatan aku ikut makan malam bersama.”
“Tentu saja Mom dan Dad tak akan keberatan. Sebentar, apa Mom, tidak...oh ayo lah Mom, buat apa? Em...Lana, Mom ingin berbicara, bolehkah?”
“eh...ya tentu saja.” Seketika rasa gugup melingkupi ku. Lalu suara keibuan dan ramah itu menyapaku.
“Halo Lana, apakabar? Maafkan putriku yang tidak sopan ini karena membatalkan janji makan malam kalian. Tapi sebagai penggantinya mau kah kamu makan malam bersama kami dirumah kami sayang?” suara ramah itu membuat rasa gugupku perlahan sirna.
“Ya, tentu saja. Saya sangat senang Mrs. Kapoor.”

Maka dengan taksi aku pergi kerumah Khasa sesuai dengan alamat yang dia berikan tadi sewaktu menelepon. Rumah bertingkat dua dan sederhana itu seketika membuatku nyaman. Aku membunyikan bel dan Khasa yang membukakan pintu.
“Apa aku terlambat?” tanya ku setelah melirik jam dipergelangan tanggaku sudah menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh.
“sama sekali tidak. Mom baru meletakkan makanan di meja makan. Dan Lana, kamu cantik sekali malam ini.” Pujian Khasa membuat pipiku bersemu merah. Dia mempersilahkan masuk dan mengenalkanku pada Mr. dan Mrs. Kapoor. Pasangan India terlihat jelas dari wajah mereka dan mereka sangat ramah. Kami menghabiskan makan malam dengan saling bertukar cerita dan tertawa bersama. Sungguh makan malam yang menyenangkan. Selesai makan, Khasa menarikku kekamarnya. Dia menyuruhku duduk diranjangnya dan dia sendiri mengambil sesuatu dari laci mejanya.
“Sebenarnya ini akan kuberikan malam ini jika kita jadi makan malam diluar.” Dia menyerahkan sesuatu berbentuk kotak panjang kecil. Aku menerimanya.
“Bukalah.” Katanya lagi. Aku membukanya. Gelang emas putih cantik tertata rapi dikotak yang baru kubuka.
“Ini....untukku?” tanya ku ragu dan senyum miring itu membuatku hangat seketika.
“ya, ini untukmu. Hanya hadiah kecil. Pakailah.” Dia mengeluarkan gelang itu dari kotak dan memintaku untuk memakainya. Aku memberikan lengan kiriku dan dia memasangkan gelang itu.
“terima kasih.” Kataku dan dia menatapku. Begitu dekat dan perlahan bibirnya memangut bibirku. Ciuman lembut dan hangat. Kami berciuman dan jantungku seakan mau meledak karena kebahagian ini.

Boleh kah kukatakan dengan bahagia kalau Khasa sekarang adalah kekasihku? Ah...tentu saja boleh bukan. Hari – hari ku dipenuhi Khasa dan juga orangtua Khasa. Mereka begitu baik, memperlakukanku seperti putri mereka. Dari cerita Khasa semenjak bayi dia sudah dia adopsi oleh orangtuanya dan dia tak tahu siapa orangtua biologisnya. Dia tak berniat mencari mereka karena baginya pasangan Kapoorlah orangtuanya yang sebenarnya. Khasa satu – satunya anak mereka dan aku bisa melihat dengan jelas kasih sayang diantara mereka. Mereka menerima Khasa yang menceritakan secara terus terang tentang orientasi seksualnya dan tak pernah mempermasalahkan itu. Kadang aku menginap dirumah Khasa dan kadang pula Khasa menginap diapartemenku. Bahagia rasanya saat bangun pagi ada yang mengecup dan memeluk. Dipernikahan Caroline, Khasa menemaniku dan disitu secara resmi aku memperkenalkan Khasa pada Caroline. Semua berjalan lancar dan bahagia. Pagi itu, aku yang baru bangun terkejut tidak mendapati Khasa yang biasanya tidur disebelah kananku, lalu saat aku berpaling kesebelah kiri Khasa ada disitu. Berlutut dibawah tempat tidur dengan tangan memegang kotak cincin.
“Lana Henning, bersediakah kamu menikah denganku sayang?” lamaran itu segera membuat mataku terbuka sepenuhnya dan aku langsung bangun dan duduk ditempat tidur.
“ya, aku bersedia, sangat bersedia.” Mendengar ucapanku, Khasa langsung bangkit dan memelukku. Mengecup wajahku yang menangis terharu. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri beberapa teman dan keluarga. Mom dan ayah tiriku juga datang dari California. Kami memutuskan menyewa sebuah rumah didekat rumah orangtua Khasa.
“Oh...sayang, terima kasih mau menerima putriku yang berantakan ini.” Nyonya Kapoor atau yang sekarang aku panggil Mama Devi mengecup pipiku.
“Mom, seharusnya Mom bilang selamat karena sudah mendapat putri yang sempurna seperti aku.” Khasa bercanda dan Mama Devi tertawa kecil.
“Ya sayang, kamu memang putri paling sempurna kami. Dengar, bahagiakan Lana dan kamu juga pasti bahagia sayang.” Mama Devi mengecup pipi Khasa.

Pernikahan kami berjalan dengan baik. Bahagia dan kadang pertengkaran kecil tapi bisa kami atasi. Suatu hari saat sedang makan dirumah orangtua Khasa, ucapan Mama Devi membuat kami memutuskan hal besar.
“Apakah kalian berpikir untuk mempunyai anak?” pertanyaan itu membuatku dan Khasa saling memandang dan malamnya kami pun berdiskusi tentang hal itu. Kami pun sepakat mempunyai anak, meski usia pernikahan kami baru berjalan tiga bulan tapi keinginan mempunyai anak rupanya sama – sama terbesit dihati kami. Dengan bantuan dunia medis yang canggih saat ini, kami melakukan inseminasi. Donor sperma dan sel telur Khasa ditanamkan didalam rahimku. Kebahagiaan lain menunggu kedatangan anak kami.

Usia kandungan memasuki tujuh bulan saat Khasa menceritakan berita itu.
“Boss senang melihat pendapatan perusahaan meningkat drastis dan sebagai hadiahnya dua minggu lagi semua staffnya akan dia bawa berlibur ke Bali selama seminggu”
“Pulau Bali? Yang di negara mana itu...em...Indonesia ya?”
“Ya sayang, jumlah kami semua tak lebih dari sepuluh orang tapi termasuk aku ada tiga orang yang tak bisa ikut. Berarti tinggal tujuh orang, tapi Boss pasti membawa istri dan kedua anaknya.”
“Kenapa tak ikut saja sayang?” waktu itu aku bertanya dengan enteng.
“Tidak mungkin aku ikut sayang. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dengan perut sebesar ini. Kamu bisa melahirkan kapan saja.”
“Ini baru tujuh bulan sayang. Masih ada waktu dua bulan. Pergi lah sayang, aku tidak apa – apa. Tidak enak menolak Boss yang sudah baik hati mengajak berwisata. Lagipula, Papa dan Mama Devi ada didekat rumah. Kalau kamu kahawatir, aku bisa menginap disana selama kamu pergi ke Bali sayang.” Khasa terlihat senang tapi juga ragu. Setelah kuyakinkan akhirnya dia setuju untuk pergi. Tapi bukan izin ku yang membuatku menyesal. Pertengkaran kami sebelum kami pergi lah yang membuatku menyesal.
“Besok aku sudah akan berangkat, bagaimana mungkin kamu menyuruhku membatalkannya. Tiket sudah dibeli. Tentu Boss tidak akan senang kalau aku tidak jadi pergi.”
“Tapi aku ingin kamu disini saja, jangan pergi.”
“Ayolah sayang, dulu kamu yang menyuruhku pergi, sekarang kamu melarang.”
“Kamu lama sekali, seminggu sayang. Aku akan kesepian.” Sifat manja dan plin planku keluar dan membuat jengkel Khasa. Aku memang kadang selalu bersikap begitu. Mengiyakan disuatu waktu tapi dilain waktu bisa mentidakkan. Selalu itu yang membuat kami bertengkar dan begitu pula malam itu. Keesokan paginya Khasa mengantarku kerumah orangtuanya. Meski kami tak lagi bertengkar tapi aku tahu Khasa masih kesal dengan sikap ku semalam. Dia berangkar ke bandara diantar Papa Kapoor.

Berita itu datang bagai sambaran petir. Baru dua hari Khasa di Bali tapi berita mengejutkan itu membuat lututku lemas. Hari itu Khasa menelepon. Disana malam sedang disini masih pagi.
“Bagaimana keadaanmu sayang? Sehatkan?”
“Sehat sayang. Sekarang lagi di hotel atau dimana?”
“Sekarang kami sedang direstoran. Katanya disini makanannya terkenal enak dan kami akan mencicipi masakan Bali disini. Mom dan Dad juga sehatkan?” kami bertukar kabar tapi setelah itu suara dentuman keras dan teriakan kaget membuat percakapan kami terhenti. Aku bisa mendengar teriakan Khasa dengan jelas tapi setelah itu hanya bunyi telepon terputus. Aku panik dan berusaha menelepon balik tapi tak dapat tersambung. Mama Devi dan Papa Kapoor juga ikut panik. Segera mencari tahu apa yang terjadi. Siangnya kami baru berhasil mendapat kabar. Restoran tempat Khasa dan rekan – rekannya berada telah dipasang bom dan bom itu meledak. Belum bisa dipastikan berapa korban yang selamat. Aku pingsan seketika itu. Mama Devi langsung menangis. Kami dicekam kepanikan luar biasa.

“Aku harus kesana.” Kata ku ketika tersadar. Tapi sepertinya anak kami pun mengalami kepanikan, perutku bergejolak. Aku langsung memegangi perutku. Darah mengucur dan dengan cepat aku dibawa kerumah sakit.
“Biar Papa yang pergi. Lana dan Mama disini saja.” Papa Kapoor akhirnya memutuskan. Dan aku tak dapat menolak. Bayi kami meminta keluar. Hari itu juga aku masuk keruang operasi bersamaan dengan Papa Kapoor yang mengurus penerbangan paling awal ke Indonesia. Mama Devi menemaniku. Tujuh setengah bulan, bayi lelaki kami lahir dengan bobot kecil dan harus dirawat di inkubator karena lahir sebelum waktunya. Kesehatanku terus saja menurun. Menunggu berita dari Papa Kapoor yang tak kunjung membuahkan titik terang. Hari pertama tiba Papa Kapoor memang langsung menelepon tapi belum bisa memberikan kabar bagus.
“Papa tidak tahu, belum bisa dipastikan siapa saja yang selamat. Korban sudah dilarikan kerumah sakit terdekat, tapi pengecekan data korban masih berlangsung. Akan Papa kabari lagi. Ini Papa akan kerumah sakit.” Telepon itu berakhir. Hari ketiga setelah bersusah payah mencari akhirnya Papa Kapoor menemukan Khasa tapi bukan berita bagus yang dia beri.
“Khasa sudah Papa temukan. Dia ada dirumah sakit lain. Tapi...............” Papa Kapoor terdengar enggan melanjutkan kata – katanta. Telepon yang sengaja Mama Devi speakerkan agar aku bisa turut mendengar membuatku menarik napas tertahan. Ranjang rumah sakit yang seharusnya hangat serasa seperti bongkahan es yang sedang kutiduri.
“Kondisi Khasa belum bisa dipastikan. Dokter menyuruhku menunggu. Khasa kehilangan banyak darah dan luka yang berat.” Helaan berat napas Papa Kapoor membuat aku dan Mama Devi menitikkan airmata. Kami takut membayangkan, kami takut apa yang kami cemaskan terjadi. Khasa yang begitu kami cintai harus mengalami semua hal buruk ini.
“Apa Khasa tidak bisa dibawa pulang Pa?” Mama Devi bertanya diantara isak tangisnya.
“Tidak Ma, Papa sudah menanyakannya. Kata dokter itu terlalu berbahaya. Kondisi Khasa belum stabil dan membawanya sejauh itu akan sangat berbahaya.” Menunggu, itu saran yang bisa dokter berikan. Kami semua harus menunggu. Sungguh aku begitu sedih, mengapa aku bertengkar dengan Khasa saat dia akan pergi berlibur, mengapa aku izinkan dia pergi, mengapa harus Khasa, mengapa dan mengapa terus membayangiku.

Dua tahun sudah berlalu semenjak kejadian tragis di Bali. Aku sekarang sedang berada dihalaman belakang rumah mertuaku, dengan Ananda Kapoor, anakku dan Khasa. Ananda, sesuai dengan nama yang diberi Mama Devi sedang asik bermain dengan bolanya. Dia menendang dan berlari mengejar bola itu. Mama Devi menyusulku dan duduk disampingku.
“Lihat, Ananda cepat sekali besar ya. Sepertinya baru kemarin dia belajar berjalan.”
“Ya, waktu cepat berlalu dan sebentar lagi Ananda akan sekolah, lalu tumbuh besar dan mencari pasangan hidupnya lalu pergi meninggalkan kita.”
“Hahaha...Lana, setiap Ibu selalu mencemaskan hal itu, tapi percayalah anak kita meski pergi jauh tapi tetap akan pulang kepasa kita.” Ucapan Mama Devi membuatku tersenyum. kebahagian terbesar tentu melihat anak kita tumbuh dan bahagia. Bunyi suara pintu belakang dibuka membuat Ananda menghentikan permainannya. Dia langsung berlari menghambur kepelukan Grandfanya yang datang.
“Hahaha....mau terbang tinggi – tinggi sayang.” Papa Kapoor mengendong Ananda tinggi – tinggi dan anakku tertawa riang.
“Dad, ingat pinggang Daddy. Ananda sudah semakin berat.” Khasa muncul dibelakang Papa Kapoor dan Papa Kapoor tertawa mendengar ucapan Khasa. Ya, Khasa Selamat. Dia pulang seminggu kemudian bersama Papa Kapoor. Meski kondisinya belum bisa dibilang bagus, Khasa bisa pulang dan dirawat dirumah sakit sini. Meski harus merelakan kaki kanannya, aku bahagia Khasa masih bisa bersama kami. Dengan kaki palsu yang sudah terbiasa Khasa gunakan, Khasa bisa berjalan dan melakukan aktifitas seperti biasa. Dia mengambil Ananda dari gendongan Kakeknya dan mengendong Ananda menuju tempatku dan Mama Devi duduk. Kejadian itu mungkin menjadi trauma yang buruk bagi kami saat itu tapi lama kelamaan kami sudah bisa menerimanya. Kami pun berencana ke Bali jika umur Ananda sudah lima tahun. Kebahagian kami rasanya tak pantas kami campurkan dengan trauma yang sudah berlalu dua tahun ini.






Senin, 10 Juni 2013

Pelarian Alenca dan Bianca



Bianca memandangi kertas yang sudah lusuh ditangannya. Dikertas itu terdapat foto seorang wanita dengan tulisan dicari. Perlahan dua butir tetes airmata turun membasahi pipi Bianca.
“Buat apa kamu menangisi orang yang sudah mati.” Suara itu mengagetkan Bianca. Segera dia hapus airmatanya dan melipat kertas yang dipegangnya tadi dan dimasukkan kedalam saku. Dia tak ingin, Alenca, saudari kembarnya merebut kertas itu dan mengoyaknya.
“Dia belum mati dan kamu tahu itu.”
“Dia sudah mati! Mau berapa kali ku bilang hah? Mau sampai kapan kamu begini? Apa tidak cukup semua yang dia lakukan untuk menyakiti mu? Kita pindah sampai sejauh ini bukan agar kamu bisa mengenang dia terus menerus.” Alenca marah dan Bianca menunduk kan kepalanya. Kalau membicarakan dia pasti Alenca selalu marah.
“maaf.” Suara Bianca seperti cicit tikus, nyaris tak terdengar. Alenca mendengus kesal lalu pergi meninggalkan Bianca.

Sudah empat bulan berlalu mereka pindah ke kota baru ini. Kota besar yang terlalu sibuk untuk mencari tahu siapa mereka. Kota yang tak mempedulikan siapa pun. Alenca suka suasana seperti ini. Setidaknya tidak akan ada yang bertanya mengapa mereka pindah ke kota ini atau siapa dia yang selalu dikenang Bianca. Dia, dia yang tak akan pernah lagi Alenca sebut namanya. Wanita jahat yang sangat Alenca benci. Dan Alenca makin frustasi melihat Bianca yang tak bisa melupakan dia. Betapa jahatnya wanita itu pada Bianca tapi tetap saja Bianca tak bisa melepaskan dirinya dari dia.
“Dia bagian diriku Al, dia tak akan bisa ku singkirkan dari pikiranku.” Bianca meratap sedih.
“Tidak. Kamu bodoh. Coba lihat apa yang dia lakukan padamu. Bisa – bisanya dia menjual tubuhmu pada lelaki keparat dan perempuan bejat itu. Dan kamu masih memikirkannya?”
“Jangan ungkit itu! Dia hanya butuh uang, aku tahu dia terpaksa menjualku.”
“Omong kosong. Bian, kapan kamu akan sadar? Dia itu jahat. Tidak sepantasnya dia hadir dihidup kita. Dia itu bukan siapa – siapa. Kamu bodoh kalau terus – terusan mengingat dia.”
“Tapi Al, dia....”
“Sudah! Cukup. Aku tak mau lagi mendengar apa pun tentang dia.” Alenca menggebrak meja dan Bianca terdiam. Selalu, pertengkaran yang terus berulang.

Mimpi malam yang kesekian. Bianca bermimpi hal yang sama terus menerus. Darah segar membasahi seprei putih. Alenca menatap dengan bengis ke pria yang telah memperkosanya. Pria itu tergeletak tak berdaya, masih dalam keadaan bugil.
“ayo pergi!” teriak Alenca, Bianca yang masih syok menurut saja ketika tangannya ditarik Alenca. Alenca memakaikan pakaian ketubuh Bianca.
“Kita tinggalkan dia disini. Biar dia yang jadi tersangka pembunuhan ini.” Kata Alenca lagi.
“Tapi....kita tak mungkin meninggalkan dia. Aku butuh dia Al.”
“Dengarkan aku, besok pagi pelayan hotel akan menemukan mayat lelaki bajingan ini. Jika kita tak lari, kita yang akan dipenjara. Biar dia yang menjadi tertuduh karena orang – orang menyaksikan dia bersama lelaki ini sebelum menyerahkan tubuhmu pada lelaki bajingan ini. Sudah cukup Bian, sudah cukup kamu dipermainkan dia. Dia tak mencintaimu, dia memanfaatkan mu. Kita pergi sekarang juga.” Perkataan tegas Alenca dengan terpaksa dituruti Bianca. Pelarian yang tak berujung dan ketakutan terus menerus. Mimpi yang terus berulang dan membuat keringat dingin menetes ketika Bianca bangun.

Pelarian yang sempurna menurut Alenca. Dia mengganti penampilannya begitu pula dengan Bianca. Menyuruh Bianca yang pendiam tinggal di apartemen kecil yang mereka sewa dan dia mencari pekerjaan. Bukan hal sulit mencari kerja dikota besar seperti kota ini. Asal mau bekerja apa saja. Alenca sekarang bekerja sebagai pramusaji di restoran dan pekerjaannya cukup menyenangkan. Teman – teman kerjanya juga menyenangkan. Mereka sering mengajak Alenca untuk pergi jalan – jalan setelah pekerjaan mereka selesai, kadang Alenca ikut tapi lebih sering Alenca menolak. Ia teringat Bianca yang sendirian dirumah. Walau telah menjalani kehidupan baru, tetap saja Alenca merasa was – wa ketika bertemu dengan polisi. Rasa cemas itu belum mau hilang sampai sekarang.

Bianca mengintip dari balik tirai jendela. Alenca sudah tertidur lelap tapi Bianca masih terjaga. Takut untuk tidur dan memimpikan hal yang sama. Malam selalu Bianca habiskan untuk melihat kejalan, mengawasi satu dua orang yang pulang dari pesta di night club atau pengemis yang berjalan tak tentu arah. Bianca tak berani berharap dia akan datang menjumpai mereka. Alenca akan marah jika Bianca berpikir seperti itu. Bianca sangat tergantung pada Alenca. Meski Bianca lebih tua beberapa menit dari Alenca, tapi Alenca lebih pemberani sedangkan Bianca lebih pendiam dan tertutup.
“Bian, tidurlah. Kalau kamu tak tidur, besok aku akan kecapekan waktu pergi bekerja.”
“Kamu tidur saja duluan.”
“Kamu pasti tahu aku tak akan bisa tidur kalau kamu masih terjaga.” Alenca melirik Bianca yang masih memandang keluar. Bianca menghela napasnya. Lalu berjalan naik ke atas tempat tidur. Menarik selimut dan berbaring disamping Bianca. Dia tak ingin ribut lagi dengan Alenca. Dipejamkannya matanya. Berusaha untuk tidur. Alenca juga kembali menutup matanya.

Kecerobohan Alenca akhirnya memutuskan jalan pelarian mereka. Karena tak punya uang lagi sedangkan obat Bianca harus ditebus, Alenca menggunakan kartu kredit dia yang mereka curi. Polisi pun berhasil mengendus pelarian mereka. Maka tak perlu menunggu lama, polisi bergerak. Alenca yang baru akan berangkat kerja terkejut ketika polisi datang mengetuk apartemennya. Lari pun tak ada jalan lagi. Apartemen mereka sudah dikepung dari berbagai arah. Alenca mengumpat marah ketika tangannya dan tangan Bianca diborgol polisi.
“Nona Bella, anda ditahan atas kasus pembunuhan. Segala perkataan anda bisa menjadi bukti. Anda berhak didampingi pengacara.”
“Namaku bukan Bella, namaku Alenca dan dia Bianca.” Alenca mendesis marah. Para polisi saling memandang heran. Tapi mereka tetap menyeret wanita yang mereka tangkap. Alenca terus saja mengumpat dan menyuruh Bianca untuk tak menangis. Polisi terlihat kebingungan.
“Dia bicara sendiri?” salah satu polisi terlihat bertanya pada temannya dan temannya mengangkat bahu.

“Yang mulia, sebagai pembela dari saudari Bella saya mengajukan untuk mencabut tuduhan terhadap nona Bella atas kasus pembunuhan saudara Roki. Seperti yang mulia lihat, nona Bella memiliki penyakit mental dan dia seharusnya dimasuk kan ke rumah sakit jiwa untuk memulihkan mentalnya. Boleh dikatakan pembunuh yang sebenarnya adalah kepribadian lain nona Bella, bernama Alenca. Dari kesaksian dokter Agus dan dokter Tika, Bella datang dari desa untuk mencari pekerjaan di kota, tapi dia ditipu. Dia terpaksa, maaf, menjual dirinya. Lalu muncul kepribadiannya yang lain bernama Bianca yang pendiam dan merasa tersakiti karena harus menjual diri, dan Alenca muncul berikutnya. Merasa marah pada diri sendiri karena harus menjual tubuh dan terakhir melakukan pembunuhan.” Pembela melihat kearah wanita tertuduh yang sekarang duduk dengan memakai baju khas rumah sakit jiwa. Tangan terikat. Rambut awut – awutan, pandangan matanya kosong. Dia tak mempedulikan orang – orang dipengadilan, kadang ia mengumpat marah, kadang malah terlihat sedih dan ketakutan. Alenca mendengus kesal mendengar kata rumah sakit jiwa, sedangkan Bianca begitu ketakutan melihat banyak orang yang melihat mereka.

Rabu, 05 Juni 2013

Me and My Bodyguard




Ada sesuatu yang berpendar dihatiku. Yang lama telah usang makan tergerus dimakan waktu. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya. Tapi sekarang, perlahan aku mengingatnya. Mungkin namanya masih sama tapi dengan rasa yang berbeda. Rasa yang lebih membuat hari – hariku menjadi semarak, rasa yang diam – diam kusembunyikan tapi tak bisa ku tepis. Dia hadir begitu saja, ketika memandanginya saat debur ombak membelah pantai. Tawa renyahnya dan kata – katanya terdengar begitu pas ditelinga. Cahaya matanya begitu indah dan genggaman tangannya seolah menyatu dengan tangganku. Hangat dan masih bisa kurasakan sampai hari ini. Bolehkah kusebut ia cinta? Cinta yang telah lama tak pernah kurasakan. Cinta terakhir yang berakhir penuh kemarahan dan membuatku muak akan cinta pada manusia berwujud perempuan lalu memutuskan mencintai pekerjaan. Meniti karier dan terus maju melesat meninggalkan seseorang bernama Angelica yang kusebut dengan brengsek. Tapi benarkah aku patah hati dengan Angelica? Tidak, aku tahu itu. Aku hanya marah. Setelah sekian bulan berpetualang dari wanita satu kewanita lain yang hanya bertahan tak lebih dari satu bulan, aku akhirnya menemukan Angelica. Sosoknya menurutku begitu pas dan bisa menyempurnakan hidupku tapi rupanya aku salah. Dia peselingkuh ulung dan tak akan berhenti menaruh hatinya pada satu wanita. Aku hanya salah satu wanita yang kebetulan dia singgahi. Tapi kali ini aku begitu yakin ini bukan hanya keinginan pikiranku, dia bukan hanya tidak cocok denganku, dia sama sekali tak cukup sebanding bersamaku. Dia kaku, serius dan tidak banyak bicara, dia lebih pendek dariku, dan satu lagi, dia bodyguardku. Semua itu sebagian kecil yang membuatku tak cocok dengannya dan kalau kujabarkan semua, mungkin hati ku akan kalah dengan pikiranku, ya mungkin.

“Laila....anda baik – baik saja.” Della menggengam tanganku. Terdengar nada khawatir disuaranya. Jantungku langsung berdetak tak karuan. Genggaman tanggannya membuatku salah tingkah.
“Ya, aku baik – baik saja.”
“Baguslah.” Senyum itu, dia benar – benar membuat jantungku bekerja lebih keras.
“Ah, kita sudah sampai.” Della keluar duluan dari pintu lift yang baru terbuka, memandang kekiri dan kekanan lalu mengangguk padaku. Aku melangkah keluar. Dia betul – betul menjagaku, padahal ini di gedung kantorku sendiri. Bagaimana mungkin ada penyusup yang bersembunyi di lorong kantor. Tapi biarlah, aku senang dia mencemaskan keselamatanku, ,meski itu hanya sebagian dari kewajiban tugasnya.
“Apakah ada kiriman aneh lagi?” Setelah masuk kedalam ruangan kantorku, aku bertanya pada Della. Dia tentu mengerti dengan pertanyaanku.
“Tidak ada. Dan mudah – mudahan tak ada lagi.” Seminggu yang lalu aku mendapat surat aneh dari seorang yang mengatakan dia penggemarku. Surat gila mungkin lebih tepat. Dia ingin suatu saat aku mati bersamanya. Lalu muncul bingkisan aneh. Baju penggantin yang katanya untukku. Lalu foto – foto tempat kami nantinya dimakamkan. Surat – surat aneh lagi dan lalu pisau berlumuran darah dengan keterangan darah itu adalah darah dia yang dia katakan untuk aku rasakan darahnya agar kami bisa menyatu. Della bahkan sudah melapor ke polisi. Menyelidiki si penggemar aneh, tapi hasilnya nihil. Alamatnya palsu. Tak ada sidik jari. Begitu piawai hingga membuatku cemas.
“Jangan khawatir. Tidak akan ada apa – apa. Saya akan terus bersama anda.” Seolah membaca kecemasan diwajahku, Della berkata menenangkan dan aku menjadi tenang. Ya begitu saja. Meski kepala polisi mengatakan hal yang sama tapi ucapan Della terbukti lebih ampuh menenangkanku.
“Aku tidak apa – apa. Sebaiknya aku teruskan bekerja dan ingat, jika ada kiriman lagi, jangan lupa kabari aku.” Della hanya mengangguk lalu keluar dari ruanganku. Dia paham aku harus bekerja dan dia tak ingin menggangu.

Bukankah senyum malu – malunya seharusnya hanya untukku? Dia dulu pernah tersipu malu dan salah tingkah waktu aku menggodanya dengan memangilnya sayang. Tapi sekarang aku melihatnya dari jendela kaca ruanganku tersenyum malu – malu pada sekertaris ku, Susi yang mejanya memang berada tepat di depan ruanganku. Susi terlihat sedang berkata sesuatu dan kata – kata yang dikatakan Susi membuatnya tersenyum malu. Tidak seharusnya senyum seperti itu dia berikan pada Susi. Seharusnya hanya aku yang boleh mendapat senyum itu. Aku....oh, tidak. Aku bukan cemburu. Aku hanya....sudahlah, aku tak ingin membahasnya.
“Della, tolong masuk keruanganku.” Aku membuka pintu ruanganku dan menyuruh Della masuk. Setelah Della masuk, aku bingung harus berkata apa. Aku tadi hanya menyuruhnya masuk karena tak tahan melihatnya tersenyum pada Susi. Oh ya, sebentar lagi aku akan gila.
“Apa ada kiriman aneh lagi?” Pertanyaanku membuat Della mengerutkan keningnya.
“Tidak, tidak ada. Masih sama seperti yang saya laporkan tadi pagi.” Della pasti berpikir aku menjadi terobsesi dengan kiriman dari penggemar gila. Padahal aku hanya butuh alasan untuk memanggilnya masuk kedalam ruanganku.
“Oh..baguslah.” Aku diam dan kembali menatap layar laptopku. Membiarkan Della duduk dihadapanku, diam dan tak tak harus berbuat apa. Itu lebih baik daripada melihatnya tersenyum pada Susi.
“Em...apa ada yang bisa saya bantu lagi?” dia sepertinya kebingungan. Ow..si kaku sepertinya harus kugoda.
“Tidak ada sayang. Duduk saja. Aku hanya merasa perlu dijaga di dalam sini.” Dan lihat lah, wajahnya langsung bersemu merah. Dia salah tingkah.
“Eh...oh..baiklah.” dia menggaruk kepalanya yang aku tahu pasti tak gatal. Walau samar aku bisa melihat senyum diwajahnya. Apakah dia senang aku panggil dengan sebutan sayang? Tidak, tidak. Apa yang sedang ku pikirkan. Dia itu bodyguardku. Tidak, jangan macam – macam hati. Sudah cukup. Tapi lihat lah dia, begitu lugu dan bibirnya sepertinya enak untuk dicium lalu leher jenjangnya tentu saja enak kubaui. Berhenti! Aku semakin gila sepertinya.

Sudah enam bulan lebih dia bekerja denganku dan sikap kakunya sedikit demi sedikit mencair. Dia telah beradaptasi. Tapi itu bukan alasan dia untuk beramah tamah dengan model – model di agensy ku. Dan mengapa para wanita ini senang sekali menggubunginya. Menggoda dan membuat dia tersipu malu. Seperti hari ini, dia ikut dengan ku ketempat pemotretan. Aku sedang berbicara dengan fotografer dan dia yang sedang duduk didatangi model – model itu.
“Hai Del, apakabar?” Sesil yang pertama menyapa, lalu disusul Indri, Agnes, dan Maggie. Mereka berempat langsung menggrubunginya.
“Katakan padaku, dimana kamu belajar thai boxing? Kamu hebat Del.”
“Eh, tempat kerja lama ku, Boss nya adalah orang Thailand dan dia cinta thai boxing. Maka disediakan satu ruangan khusus thai boxing dengan pelatih dan siapa saja boleh ikut berlatih kalau mau.” Della menjelaskan sambil tersenyum . Para model itu lalu bertanya banyak hal lagi pada Della. Oh ya, beberapa minggu yang lalu, Della memang menghajar salah satu pria yang keluar dari kerumunan dan muncul kehadapanku sambil memegang pisau. Tentu saja sebagai bodyguardku, Della langsung bereaksi. Model – model agency ku yang kebetulan ada disitu terkagum melihat gerakan thai boxing Della. Belakangan Polisi baru menyampaikan kalau pria tersebut ditinggal pacarnya gara – gara ingin masuk ke agency ku tapi pria itu melarang. Benar – benar sakit jiwa. Dan sekarang aku yang sakit jiwa. Dari tempatku duduk aku bisa melihat dengan jelas model – model itu bergelayut manja pada Della. Mereka begitu dekat dan Della tersipu malu.
“Laila....are you oke?” George yang tadi sedang bicara padaku sepertinya tahu aku tak mendengarnya.
“I’m ok George. Sampai dimana kita tadi?” Geoger kembali melanjutkan pembicaraannya. Menjelaskan padaku tentang konsep foto yang akan dia ambil. Meski aku mendengar tapi sesekali aku tetap memandangi Della yang masih dikerubuti model – model.

“Laila, apakah hari ini anda berencana keluar kantor?” Pertanyaan itu Della tanyakan saat kami baru saja sampai dikantor pagi ini.
“Tidak. Hari ini aku akan dikantor seharian. Klien akan datang kesini. Ada apa?”
“Em...begini, bolehkan aku meminta ijin keluar sebentar? Hanya sebentar. Sebelum jam satu aku pasti sudah kembali.”
“Ya tidak masalah sih. Lagi pula gedung ini dijaga security. Keluar saja, aku akan aman disini.”
“Oh, terimakasih.” Dia tersenyum dan lagi – lagi senyumnya membuat jantungku hangat.
“Ngomong – ngomong, kalau boleh tahu ada perlu apa?” Aku hanya sekedar bertanya dan kalau boleh menarik kembali pertanyaanku, aku tak akan melontarkannya.
“Kemarin Maggie bercerita kalau Ayahnya adalah pelatih thai boxing dan setelah berkata beberapa hal, saya baru sadar Ayah Maggie adalah pelatih thai boxingku dulu. Jadi Maggie menyuruhku datang saja kerumahnya yang tak jauh dari kantor untuk berjumpa dengan Ayahnya. Ayah Maggie dulu begitu baik dan sabar mengajariku. Aku hanya ingin berjumpa dengannya.” Jawaban yang penuh dengan informasi dan aku hanya menangkap satu kalimat, Maggie menyuruhku datang kerumahnya. Apa – apaan ini? Apa selanjutnya setelah bertemu Ayah Maggie dia akan berkencan dengan Maggie?

Kekesalanku memuncak setelah pukul satu siang dan Della belum kembali juga. Dia baru kembali setelah pukul dua siang.
“Maaf Laila, tadi saya keasyikan mengobrol dengan pelatihku. Sampai lupa waktu” Yang benar saja, dengan pelatih atau dengan Maggie.
“Seharusnya kamu menepati apa yang kamu bilang tadi. Kamu tahu betul bagiku waktu itu berharga.” Suara ku ketus dan aku tahu itu. Biar saja.
“Maaf.” Della terdengar merasa bersalah tapi kecemburuanku membutakanku. Dibayangaku berkelebat wajah Della dan Maggie yang sedang mengobrol dan tertawa.
“Sudah aku bilang aku tak suka kesalahan sekecil apapun. Ini sudah jam dua. Bagaimana kalau tadi aku tiba – tiba ada urusan penting dan harus keluar kantor. Apa kamu pikir aku ini yang harus menunggumu?”
“Maaf, ya saya tahu saya salah.”
“Kamu itu hanya bodyguard, jangan kira karena aku baik, kamu jadi bisa sesukanya. Terserah kamu mau kemana saja, aku tak peduli. Tapi ingat waktunya. Apa kamu sudah bosan menjadi bodyguardku hah?” Aku tahu perkataanku sudah kelewat batas dan itu bisa kulihat dari wajah Della yang berubah. Dia hanya diam mendengar omelanku. Tapi aku belum puas, mulutku masih saja mengomel dan yang akhirnya membuatku menyesal.
“Apa kamu mau aku pecat? sudah kubilang kesalahan sekecil apapun aku bisa memecatmu. Dan kamu mau aku pecat? hah? Mau jadi pengangguran lagi?” aku berteriak dan teriakan ku langsung dihadiahi dengan wajah terkejut Della. Dia tak berkata apa – apa, langsung keluar dari ruanganku. Dan itu lah terakhir kali aku melihatnya. Dia tak pernah lagi datang kerumahku, menjemputku kekantor bahkan tak juga datang kekantor. Andre saja bingung dan menceritakan kalau Mira istrinya pun tak bisa membujuk Della untuk kembali bekerja. Aku sudah sangat keterlaluan. Tapi egoku melarang aku menghubunginya. Aku kacau semenjak tak melihat Della. Emosiku jadi tak tertahankan. Siapa saja yang melakukan kesalahan, walau kecil selalu kumarahi.

Hari ini aku pulang larut. Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan segera. Saat turun ke basement, aku merasa kan takut. Biasanya selalu ada Della yang menemaniku, tapi sekarang aku hanya sendiri. Andre memang sudah menawarkan mencari pengganti Della, tapi aku tak mau. Suasana basement yang sepi membuatku berjalan dengan cepat ke mobilku yang terpakir. Tapi ketakutanku beralasan, sebelum aku sampai ke mobil, seorang wanita muncul dan menyeringai padaku.
“Angelica?” aku mengenalinya.
“Halo darling, apa kabar?” Angelica terlihat awut – awutan. Rambutnya berantakan, begitu pula kemejanya, terlihat lusuh.
“Em...baik. sedang apa kamu disini?”
“Menunggu tentu saja darling.”
“Apa maksudmu?”
“Oh darling, aku kangen padamu. Apakah kamu tidak? Aku sengaja menunggumu pulang larut dan juga sengaja menunggu sampai kamu sendirian. Akhirnya kamu tidak dijaga siapapun. Ini benar – benar keberuntunganku.” Apa maksud dari ucapan Angelica? Dan mengapa basement begitu sepi? Apa tidak ada satpam yang berjaga disini? Angelica memancarkan bahaya dan aku bisa merasakannya.
“Kita bisa berbicara ditempat lain, bukan disini. Direstoran atau mungkin ditempat yang lebih nyaman.” Aku berusaha keluar dari basement.
“Disini sudah sangat nyaman darling.” Angelica mendekatiku dan aku berjalan mundur tapi gerakan Angelica lebih cepat. Dia langsung meraih lenganku dan menutup mulutku dengan tangganya sebelum aku sempat berteriak.
“Kamu tahu darling, tidak akan yang datang kesini. Satpam – satpammu sudah kuberi kopi berisi obat tidur dan sebentar lagi kamu juga akan kubuat tidur dan aku akan membawamu ketempatku. Apa? Kamu bertanya mengapa? Kamu lupa kamu meninggalkan ku begitu saja? Aku belum pernah dicampakkan wanita, biasanya aku lah yang mencampakkan wanita. Gara – gara itu aku jadi gusar, menjalin hubungan lain lagi tapi tak berhasil. Kata wanita – wanita itu aku gila, paranoid. Baru berhubungan saja sudah takut wanita – wanita meninggalkanku dan kamu kira siapa yang salah hah? Siapa? Itu gara – gara kamu!” Angelica sudah gila. Aku tak menyangka dia jadi gila seperti ini. Apa yang harus kulakukan.
“Oh...jangan menangis darling. Bagaimanapun aku terobsesi padamu. Aku benar – benar menjadi penggemarmu. Bukankah kamu sudah mendapatkan surat cintaku? Dan juga kado – kadoku? Ah, tentu kamu senang mendapat foto – foto makam kita dan pisau berlumuran darah itu. Bukankah itu hadiah terindah?” jadi selama ini, Angelica lah penggemar gila itu? Pengirim hadiah – hadiah aneh itu. Dia mengeluarkan pisau dari sakunya. Menyuruhku diam atau dia menggorok leherku. Dia menyumpal mulutku dengan sapu tangan, aku tersedak. Lalu mengikat tanganku dengan tali. Dia lalu meyeretku dengan paksa menuju mobil ku.

Sebelum aku atau Angelica menyadarinya, Della langsung berlari dan menerjang Angelica. Menjatuhkan pisau ditangan Angelica dengan tendangan. Mendapat serangan mendadak, Angelica mengeram marah lalu meninggalkanku dan menuju arah Della.
“Sial. Cari mati ya!” Angelica menyerang balik Della. Aku tahu benar dulu Angelica pernah ikut wajib militer dan dia alih dalam pertarungan tangan kosong. Mereka saling baku hantam dan aku hanya bisa menyaksikan. Della berkali – kali melayangkan pukulan kebadan Angelica tapi Angelica pun berkali – kali melayangkan pukulan kebadan Della. Dan saat Della berhasil menjatuhkan Angelica, Angelica makin marah. Jatuhnya Angelica tepat didekat pisaunya yang jatuh tadi. Diraihnya pisau itu dan menyerang kembali Della. Sabetan pisau itu mengenang tangan Della dan aku bisa melihat tangan Della mengucurkan darah. Tidak, aku tak bisa diam saja. Aku bangkit, dan berlari menerjang tubuh Angelica yang tak menyangka aku bakal menyerangnya. Dia terjatuh dan Della langsung beraksi. Memukul lengan Angelica yang menggenggam pisau dan membekuk Angelica. Angelica berhasil dirobohkan.

Polisi datang setelah tak lama Della menghubungi. Mereka membawa Angelica yang babak belur. Aku menyuruh Della kerumah sakit tapi dia menolak. Maka dengan peralatan P3K di mobil, aku mengobati Della. Sekarang hanya tinggal kami berdua. Duduk didalam mobil.
“Terimakasih Del.” Aku berucap lirih, senang ditolong Della tapi sedih melihat dia terluka.
“Saya tidak apa – apa. Sungguh.” Sepertinya Della tahu aku sedih melihatnya terluka. Aku mengangguk dan membalut luka dilengannya.
“Mengapa kamu bisa ada disini?” Pertanyaan ku dijawab dengan diam. Aku memandanginya dan tak lama kemudian dia menjawab dengan malu – malu.
“Sebenarnya selama saya tak bekerja lagi, saya tiap hari selalu menunggu anda pulang. Saya mengikuti anda diam – diam. Dan hari ini karena curiga melihat anda belum keluar juga dari gedung apalagi melihat satpam yang tertidur, saya langsung menuju basemant.” Perkataan Della langsung menghangatkan hatiku. Dia mencemaskanku, meski aku bukanlah bossnya. Aku langsung terharu dan menitikkan airmata.
“eh, Laila...anda tidak apa – apa?” Della menjadi panik dan aku menggeleng. Aku bodoh karena terlalu mencemaskan status sosialku sedang disini ada seseorang yang tulus mengkhawatirkanku. Kuraih kepala Della dan kucium bibirnya. Dia terlihat kaget, tapi ketika aku tak berhenti memangut bibirnya dia terlihat lebih tenang dan membalas ciumanku. Kami larut dalam ciuman. Setelah ciuman kami berhenti, Della terlihat salah tingkah. Dan tentu saja rona merah dipipinya juga terlihat.
“Eh...tadi itu....em....”
“Apakah kamu mencintaiku Della?” Pertanyaanku langsung membuat Della tersentak. Ya aku tahu itu pertanyaan yang tiba – tiba tapi sepertinya aku harus bertanya. Kupikir Della akan menyangkal atau hanya diam, tapi...
“Ya, saya mencintai anda, Laila.” Kata – katanya membuat jantungku meloncat makin cepat dan aku tahu aku senang mendengarnya.
“Aku juga mencintaimu.” Maka kuraih lagi kepalanya, kami kembali berciuman.


“Kamu harus tetap menjadi bodyguardku dan jangan menyebutku dengan anda. Tak ada seorang kekasih yang menyebut kekasihnya dengan anda.”
“Eh....itu, ya...”
“Dan satu lagi, kamu pindah segera dari kontrakan mu kerumahku. Tidak ada kompromi.” Dan sebelum menunggu jawaban dari Della, aku langsung memeluknya. Lalu aku mendengar bisikan lembut ditelingaku.
“Ya, Boss, semua keinginmu akan saya kabulkan. Kekasihku, Laila.” Della mendekapku dan rasanya begitu sempurna.