Rabu, 05 Juni 2013

Me and My Bodyguard




Ada sesuatu yang berpendar dihatiku. Yang lama telah usang makan tergerus dimakan waktu. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya. Tapi sekarang, perlahan aku mengingatnya. Mungkin namanya masih sama tapi dengan rasa yang berbeda. Rasa yang lebih membuat hari – hariku menjadi semarak, rasa yang diam – diam kusembunyikan tapi tak bisa ku tepis. Dia hadir begitu saja, ketika memandanginya saat debur ombak membelah pantai. Tawa renyahnya dan kata – katanya terdengar begitu pas ditelinga. Cahaya matanya begitu indah dan genggaman tangannya seolah menyatu dengan tangganku. Hangat dan masih bisa kurasakan sampai hari ini. Bolehkah kusebut ia cinta? Cinta yang telah lama tak pernah kurasakan. Cinta terakhir yang berakhir penuh kemarahan dan membuatku muak akan cinta pada manusia berwujud perempuan lalu memutuskan mencintai pekerjaan. Meniti karier dan terus maju melesat meninggalkan seseorang bernama Angelica yang kusebut dengan brengsek. Tapi benarkah aku patah hati dengan Angelica? Tidak, aku tahu itu. Aku hanya marah. Setelah sekian bulan berpetualang dari wanita satu kewanita lain yang hanya bertahan tak lebih dari satu bulan, aku akhirnya menemukan Angelica. Sosoknya menurutku begitu pas dan bisa menyempurnakan hidupku tapi rupanya aku salah. Dia peselingkuh ulung dan tak akan berhenti menaruh hatinya pada satu wanita. Aku hanya salah satu wanita yang kebetulan dia singgahi. Tapi kali ini aku begitu yakin ini bukan hanya keinginan pikiranku, dia bukan hanya tidak cocok denganku, dia sama sekali tak cukup sebanding bersamaku. Dia kaku, serius dan tidak banyak bicara, dia lebih pendek dariku, dan satu lagi, dia bodyguardku. Semua itu sebagian kecil yang membuatku tak cocok dengannya dan kalau kujabarkan semua, mungkin hati ku akan kalah dengan pikiranku, ya mungkin.

“Laila....anda baik – baik saja.” Della menggengam tanganku. Terdengar nada khawatir disuaranya. Jantungku langsung berdetak tak karuan. Genggaman tanggannya membuatku salah tingkah.
“Ya, aku baik – baik saja.”
“Baguslah.” Senyum itu, dia benar – benar membuat jantungku bekerja lebih keras.
“Ah, kita sudah sampai.” Della keluar duluan dari pintu lift yang baru terbuka, memandang kekiri dan kekanan lalu mengangguk padaku. Aku melangkah keluar. Dia betul – betul menjagaku, padahal ini di gedung kantorku sendiri. Bagaimana mungkin ada penyusup yang bersembunyi di lorong kantor. Tapi biarlah, aku senang dia mencemaskan keselamatanku, ,meski itu hanya sebagian dari kewajiban tugasnya.
“Apakah ada kiriman aneh lagi?” Setelah masuk kedalam ruangan kantorku, aku bertanya pada Della. Dia tentu mengerti dengan pertanyaanku.
“Tidak ada. Dan mudah – mudahan tak ada lagi.” Seminggu yang lalu aku mendapat surat aneh dari seorang yang mengatakan dia penggemarku. Surat gila mungkin lebih tepat. Dia ingin suatu saat aku mati bersamanya. Lalu muncul bingkisan aneh. Baju penggantin yang katanya untukku. Lalu foto – foto tempat kami nantinya dimakamkan. Surat – surat aneh lagi dan lalu pisau berlumuran darah dengan keterangan darah itu adalah darah dia yang dia katakan untuk aku rasakan darahnya agar kami bisa menyatu. Della bahkan sudah melapor ke polisi. Menyelidiki si penggemar aneh, tapi hasilnya nihil. Alamatnya palsu. Tak ada sidik jari. Begitu piawai hingga membuatku cemas.
“Jangan khawatir. Tidak akan ada apa – apa. Saya akan terus bersama anda.” Seolah membaca kecemasan diwajahku, Della berkata menenangkan dan aku menjadi tenang. Ya begitu saja. Meski kepala polisi mengatakan hal yang sama tapi ucapan Della terbukti lebih ampuh menenangkanku.
“Aku tidak apa – apa. Sebaiknya aku teruskan bekerja dan ingat, jika ada kiriman lagi, jangan lupa kabari aku.” Della hanya mengangguk lalu keluar dari ruanganku. Dia paham aku harus bekerja dan dia tak ingin menggangu.

Bukankah senyum malu – malunya seharusnya hanya untukku? Dia dulu pernah tersipu malu dan salah tingkah waktu aku menggodanya dengan memangilnya sayang. Tapi sekarang aku melihatnya dari jendela kaca ruanganku tersenyum malu – malu pada sekertaris ku, Susi yang mejanya memang berada tepat di depan ruanganku. Susi terlihat sedang berkata sesuatu dan kata – kata yang dikatakan Susi membuatnya tersenyum malu. Tidak seharusnya senyum seperti itu dia berikan pada Susi. Seharusnya hanya aku yang boleh mendapat senyum itu. Aku....oh, tidak. Aku bukan cemburu. Aku hanya....sudahlah, aku tak ingin membahasnya.
“Della, tolong masuk keruanganku.” Aku membuka pintu ruanganku dan menyuruh Della masuk. Setelah Della masuk, aku bingung harus berkata apa. Aku tadi hanya menyuruhnya masuk karena tak tahan melihatnya tersenyum pada Susi. Oh ya, sebentar lagi aku akan gila.
“Apa ada kiriman aneh lagi?” Pertanyaanku membuat Della mengerutkan keningnya.
“Tidak, tidak ada. Masih sama seperti yang saya laporkan tadi pagi.” Della pasti berpikir aku menjadi terobsesi dengan kiriman dari penggemar gila. Padahal aku hanya butuh alasan untuk memanggilnya masuk kedalam ruanganku.
“Oh..baguslah.” Aku diam dan kembali menatap layar laptopku. Membiarkan Della duduk dihadapanku, diam dan tak tak harus berbuat apa. Itu lebih baik daripada melihatnya tersenyum pada Susi.
“Em...apa ada yang bisa saya bantu lagi?” dia sepertinya kebingungan. Ow..si kaku sepertinya harus kugoda.
“Tidak ada sayang. Duduk saja. Aku hanya merasa perlu dijaga di dalam sini.” Dan lihat lah, wajahnya langsung bersemu merah. Dia salah tingkah.
“Eh...oh..baiklah.” dia menggaruk kepalanya yang aku tahu pasti tak gatal. Walau samar aku bisa melihat senyum diwajahnya. Apakah dia senang aku panggil dengan sebutan sayang? Tidak, tidak. Apa yang sedang ku pikirkan. Dia itu bodyguardku. Tidak, jangan macam – macam hati. Sudah cukup. Tapi lihat lah dia, begitu lugu dan bibirnya sepertinya enak untuk dicium lalu leher jenjangnya tentu saja enak kubaui. Berhenti! Aku semakin gila sepertinya.

Sudah enam bulan lebih dia bekerja denganku dan sikap kakunya sedikit demi sedikit mencair. Dia telah beradaptasi. Tapi itu bukan alasan dia untuk beramah tamah dengan model – model di agensy ku. Dan mengapa para wanita ini senang sekali menggubunginya. Menggoda dan membuat dia tersipu malu. Seperti hari ini, dia ikut dengan ku ketempat pemotretan. Aku sedang berbicara dengan fotografer dan dia yang sedang duduk didatangi model – model itu.
“Hai Del, apakabar?” Sesil yang pertama menyapa, lalu disusul Indri, Agnes, dan Maggie. Mereka berempat langsung menggrubunginya.
“Katakan padaku, dimana kamu belajar thai boxing? Kamu hebat Del.”
“Eh, tempat kerja lama ku, Boss nya adalah orang Thailand dan dia cinta thai boxing. Maka disediakan satu ruangan khusus thai boxing dengan pelatih dan siapa saja boleh ikut berlatih kalau mau.” Della menjelaskan sambil tersenyum . Para model itu lalu bertanya banyak hal lagi pada Della. Oh ya, beberapa minggu yang lalu, Della memang menghajar salah satu pria yang keluar dari kerumunan dan muncul kehadapanku sambil memegang pisau. Tentu saja sebagai bodyguardku, Della langsung bereaksi. Model – model agency ku yang kebetulan ada disitu terkagum melihat gerakan thai boxing Della. Belakangan Polisi baru menyampaikan kalau pria tersebut ditinggal pacarnya gara – gara ingin masuk ke agency ku tapi pria itu melarang. Benar – benar sakit jiwa. Dan sekarang aku yang sakit jiwa. Dari tempatku duduk aku bisa melihat dengan jelas model – model itu bergelayut manja pada Della. Mereka begitu dekat dan Della tersipu malu.
“Laila....are you oke?” George yang tadi sedang bicara padaku sepertinya tahu aku tak mendengarnya.
“I’m ok George. Sampai dimana kita tadi?” Geoger kembali melanjutkan pembicaraannya. Menjelaskan padaku tentang konsep foto yang akan dia ambil. Meski aku mendengar tapi sesekali aku tetap memandangi Della yang masih dikerubuti model – model.

“Laila, apakah hari ini anda berencana keluar kantor?” Pertanyaan itu Della tanyakan saat kami baru saja sampai dikantor pagi ini.
“Tidak. Hari ini aku akan dikantor seharian. Klien akan datang kesini. Ada apa?”
“Em...begini, bolehkan aku meminta ijin keluar sebentar? Hanya sebentar. Sebelum jam satu aku pasti sudah kembali.”
“Ya tidak masalah sih. Lagi pula gedung ini dijaga security. Keluar saja, aku akan aman disini.”
“Oh, terimakasih.” Dia tersenyum dan lagi – lagi senyumnya membuat jantungku hangat.
“Ngomong – ngomong, kalau boleh tahu ada perlu apa?” Aku hanya sekedar bertanya dan kalau boleh menarik kembali pertanyaanku, aku tak akan melontarkannya.
“Kemarin Maggie bercerita kalau Ayahnya adalah pelatih thai boxing dan setelah berkata beberapa hal, saya baru sadar Ayah Maggie adalah pelatih thai boxingku dulu. Jadi Maggie menyuruhku datang saja kerumahnya yang tak jauh dari kantor untuk berjumpa dengan Ayahnya. Ayah Maggie dulu begitu baik dan sabar mengajariku. Aku hanya ingin berjumpa dengannya.” Jawaban yang penuh dengan informasi dan aku hanya menangkap satu kalimat, Maggie menyuruhku datang kerumahnya. Apa – apaan ini? Apa selanjutnya setelah bertemu Ayah Maggie dia akan berkencan dengan Maggie?

Kekesalanku memuncak setelah pukul satu siang dan Della belum kembali juga. Dia baru kembali setelah pukul dua siang.
“Maaf Laila, tadi saya keasyikan mengobrol dengan pelatihku. Sampai lupa waktu” Yang benar saja, dengan pelatih atau dengan Maggie.
“Seharusnya kamu menepati apa yang kamu bilang tadi. Kamu tahu betul bagiku waktu itu berharga.” Suara ku ketus dan aku tahu itu. Biar saja.
“Maaf.” Della terdengar merasa bersalah tapi kecemburuanku membutakanku. Dibayangaku berkelebat wajah Della dan Maggie yang sedang mengobrol dan tertawa.
“Sudah aku bilang aku tak suka kesalahan sekecil apapun. Ini sudah jam dua. Bagaimana kalau tadi aku tiba – tiba ada urusan penting dan harus keluar kantor. Apa kamu pikir aku ini yang harus menunggumu?”
“Maaf, ya saya tahu saya salah.”
“Kamu itu hanya bodyguard, jangan kira karena aku baik, kamu jadi bisa sesukanya. Terserah kamu mau kemana saja, aku tak peduli. Tapi ingat waktunya. Apa kamu sudah bosan menjadi bodyguardku hah?” Aku tahu perkataanku sudah kelewat batas dan itu bisa kulihat dari wajah Della yang berubah. Dia hanya diam mendengar omelanku. Tapi aku belum puas, mulutku masih saja mengomel dan yang akhirnya membuatku menyesal.
“Apa kamu mau aku pecat? sudah kubilang kesalahan sekecil apapun aku bisa memecatmu. Dan kamu mau aku pecat? hah? Mau jadi pengangguran lagi?” aku berteriak dan teriakan ku langsung dihadiahi dengan wajah terkejut Della. Dia tak berkata apa – apa, langsung keluar dari ruanganku. Dan itu lah terakhir kali aku melihatnya. Dia tak pernah lagi datang kerumahku, menjemputku kekantor bahkan tak juga datang kekantor. Andre saja bingung dan menceritakan kalau Mira istrinya pun tak bisa membujuk Della untuk kembali bekerja. Aku sudah sangat keterlaluan. Tapi egoku melarang aku menghubunginya. Aku kacau semenjak tak melihat Della. Emosiku jadi tak tertahankan. Siapa saja yang melakukan kesalahan, walau kecil selalu kumarahi.

Hari ini aku pulang larut. Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan segera. Saat turun ke basement, aku merasa kan takut. Biasanya selalu ada Della yang menemaniku, tapi sekarang aku hanya sendiri. Andre memang sudah menawarkan mencari pengganti Della, tapi aku tak mau. Suasana basement yang sepi membuatku berjalan dengan cepat ke mobilku yang terpakir. Tapi ketakutanku beralasan, sebelum aku sampai ke mobil, seorang wanita muncul dan menyeringai padaku.
“Angelica?” aku mengenalinya.
“Halo darling, apa kabar?” Angelica terlihat awut – awutan. Rambutnya berantakan, begitu pula kemejanya, terlihat lusuh.
“Em...baik. sedang apa kamu disini?”
“Menunggu tentu saja darling.”
“Apa maksudmu?”
“Oh darling, aku kangen padamu. Apakah kamu tidak? Aku sengaja menunggumu pulang larut dan juga sengaja menunggu sampai kamu sendirian. Akhirnya kamu tidak dijaga siapapun. Ini benar – benar keberuntunganku.” Apa maksud dari ucapan Angelica? Dan mengapa basement begitu sepi? Apa tidak ada satpam yang berjaga disini? Angelica memancarkan bahaya dan aku bisa merasakannya.
“Kita bisa berbicara ditempat lain, bukan disini. Direstoran atau mungkin ditempat yang lebih nyaman.” Aku berusaha keluar dari basement.
“Disini sudah sangat nyaman darling.” Angelica mendekatiku dan aku berjalan mundur tapi gerakan Angelica lebih cepat. Dia langsung meraih lenganku dan menutup mulutku dengan tangganya sebelum aku sempat berteriak.
“Kamu tahu darling, tidak akan yang datang kesini. Satpam – satpammu sudah kuberi kopi berisi obat tidur dan sebentar lagi kamu juga akan kubuat tidur dan aku akan membawamu ketempatku. Apa? Kamu bertanya mengapa? Kamu lupa kamu meninggalkan ku begitu saja? Aku belum pernah dicampakkan wanita, biasanya aku lah yang mencampakkan wanita. Gara – gara itu aku jadi gusar, menjalin hubungan lain lagi tapi tak berhasil. Kata wanita – wanita itu aku gila, paranoid. Baru berhubungan saja sudah takut wanita – wanita meninggalkanku dan kamu kira siapa yang salah hah? Siapa? Itu gara – gara kamu!” Angelica sudah gila. Aku tak menyangka dia jadi gila seperti ini. Apa yang harus kulakukan.
“Oh...jangan menangis darling. Bagaimanapun aku terobsesi padamu. Aku benar – benar menjadi penggemarmu. Bukankah kamu sudah mendapatkan surat cintaku? Dan juga kado – kadoku? Ah, tentu kamu senang mendapat foto – foto makam kita dan pisau berlumuran darah itu. Bukankah itu hadiah terindah?” jadi selama ini, Angelica lah penggemar gila itu? Pengirim hadiah – hadiah aneh itu. Dia mengeluarkan pisau dari sakunya. Menyuruhku diam atau dia menggorok leherku. Dia menyumpal mulutku dengan sapu tangan, aku tersedak. Lalu mengikat tanganku dengan tali. Dia lalu meyeretku dengan paksa menuju mobil ku.

Sebelum aku atau Angelica menyadarinya, Della langsung berlari dan menerjang Angelica. Menjatuhkan pisau ditangan Angelica dengan tendangan. Mendapat serangan mendadak, Angelica mengeram marah lalu meninggalkanku dan menuju arah Della.
“Sial. Cari mati ya!” Angelica menyerang balik Della. Aku tahu benar dulu Angelica pernah ikut wajib militer dan dia alih dalam pertarungan tangan kosong. Mereka saling baku hantam dan aku hanya bisa menyaksikan. Della berkali – kali melayangkan pukulan kebadan Angelica tapi Angelica pun berkali – kali melayangkan pukulan kebadan Della. Dan saat Della berhasil menjatuhkan Angelica, Angelica makin marah. Jatuhnya Angelica tepat didekat pisaunya yang jatuh tadi. Diraihnya pisau itu dan menyerang kembali Della. Sabetan pisau itu mengenang tangan Della dan aku bisa melihat tangan Della mengucurkan darah. Tidak, aku tak bisa diam saja. Aku bangkit, dan berlari menerjang tubuh Angelica yang tak menyangka aku bakal menyerangnya. Dia terjatuh dan Della langsung beraksi. Memukul lengan Angelica yang menggenggam pisau dan membekuk Angelica. Angelica berhasil dirobohkan.

Polisi datang setelah tak lama Della menghubungi. Mereka membawa Angelica yang babak belur. Aku menyuruh Della kerumah sakit tapi dia menolak. Maka dengan peralatan P3K di mobil, aku mengobati Della. Sekarang hanya tinggal kami berdua. Duduk didalam mobil.
“Terimakasih Del.” Aku berucap lirih, senang ditolong Della tapi sedih melihat dia terluka.
“Saya tidak apa – apa. Sungguh.” Sepertinya Della tahu aku sedih melihatnya terluka. Aku mengangguk dan membalut luka dilengannya.
“Mengapa kamu bisa ada disini?” Pertanyaan ku dijawab dengan diam. Aku memandanginya dan tak lama kemudian dia menjawab dengan malu – malu.
“Sebenarnya selama saya tak bekerja lagi, saya tiap hari selalu menunggu anda pulang. Saya mengikuti anda diam – diam. Dan hari ini karena curiga melihat anda belum keluar juga dari gedung apalagi melihat satpam yang tertidur, saya langsung menuju basemant.” Perkataan Della langsung menghangatkan hatiku. Dia mencemaskanku, meski aku bukanlah bossnya. Aku langsung terharu dan menitikkan airmata.
“eh, Laila...anda tidak apa – apa?” Della menjadi panik dan aku menggeleng. Aku bodoh karena terlalu mencemaskan status sosialku sedang disini ada seseorang yang tulus mengkhawatirkanku. Kuraih kepala Della dan kucium bibirnya. Dia terlihat kaget, tapi ketika aku tak berhenti memangut bibirnya dia terlihat lebih tenang dan membalas ciumanku. Kami larut dalam ciuman. Setelah ciuman kami berhenti, Della terlihat salah tingkah. Dan tentu saja rona merah dipipinya juga terlihat.
“Eh...tadi itu....em....”
“Apakah kamu mencintaiku Della?” Pertanyaanku langsung membuat Della tersentak. Ya aku tahu itu pertanyaan yang tiba – tiba tapi sepertinya aku harus bertanya. Kupikir Della akan menyangkal atau hanya diam, tapi...
“Ya, saya mencintai anda, Laila.” Kata – katanya membuat jantungku meloncat makin cepat dan aku tahu aku senang mendengarnya.
“Aku juga mencintaimu.” Maka kuraih lagi kepalanya, kami kembali berciuman.


“Kamu harus tetap menjadi bodyguardku dan jangan menyebutku dengan anda. Tak ada seorang kekasih yang menyebut kekasihnya dengan anda.”
“Eh....itu, ya...”
“Dan satu lagi, kamu pindah segera dari kontrakan mu kerumahku. Tidak ada kompromi.” Dan sebelum menunggu jawaban dari Della, aku langsung memeluknya. Lalu aku mendengar bisikan lembut ditelingaku.
“Ya, Boss, semua keinginmu akan saya kabulkan. Kekasihku, Laila.” Della mendekapku dan rasanya begitu sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar