Ada sesuatu yang berpendar dihatiku. Yang lama telah usang makan
tergerus dimakan waktu. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya. Tapi sekarang,
perlahan aku mengingatnya. Mungkin namanya masih sama tapi dengan rasa yang
berbeda. Rasa yang lebih membuat hari – hariku menjadi semarak, rasa yang diam
– diam kusembunyikan tapi tak bisa ku tepis. Dia hadir begitu saja, ketika
memandanginya saat debur ombak membelah pantai. Tawa renyahnya dan kata –
katanya terdengar begitu pas ditelinga. Cahaya matanya begitu indah dan
genggaman tangannya seolah menyatu dengan tangganku. Hangat dan masih bisa
kurasakan sampai hari ini. Bolehkah kusebut ia cinta? Cinta yang telah lama tak
pernah kurasakan. Cinta terakhir yang berakhir penuh kemarahan dan membuatku
muak akan cinta pada manusia berwujud perempuan lalu memutuskan mencintai
pekerjaan. Meniti karier dan terus maju melesat meninggalkan seseorang bernama
Angelica yang kusebut dengan brengsek. Tapi benarkah aku patah hati dengan
Angelica? Tidak, aku tahu itu. Aku hanya marah. Setelah sekian bulan
berpetualang dari wanita satu kewanita lain yang hanya bertahan tak lebih dari
satu bulan, aku akhirnya menemukan Angelica. Sosoknya menurutku begitu pas dan
bisa menyempurnakan hidupku tapi rupanya aku salah. Dia peselingkuh ulung dan
tak akan berhenti menaruh hatinya pada satu wanita. Aku hanya salah satu wanita
yang kebetulan dia singgahi. Tapi kali ini aku begitu yakin ini bukan hanya
keinginan pikiranku, dia bukan hanya tidak cocok denganku, dia sama sekali tak
cukup sebanding bersamaku. Dia kaku, serius dan tidak banyak bicara, dia lebih
pendek dariku, dan satu lagi, dia bodyguardku. Semua itu sebagian kecil yang
membuatku tak cocok dengannya dan kalau kujabarkan semua, mungkin hati ku akan
kalah dengan pikiranku, ya mungkin.
“Laila....anda baik – baik saja.” Della menggengam tanganku.
Terdengar nada khawatir disuaranya. Jantungku langsung berdetak tak karuan.
Genggaman tanggannya membuatku salah tingkah.
“Ya, aku baik – baik saja.”
“Baguslah.” Senyum itu, dia benar – benar membuat jantungku
bekerja lebih keras.
“Ah, kita sudah sampai.” Della keluar duluan dari pintu lift yang
baru terbuka, memandang kekiri dan kekanan lalu mengangguk padaku. Aku
melangkah keluar. Dia betul – betul menjagaku, padahal ini di gedung kantorku
sendiri. Bagaimana mungkin ada penyusup yang bersembunyi di lorong kantor. Tapi
biarlah, aku senang dia mencemaskan keselamatanku, ,meski itu hanya sebagian
dari kewajiban tugasnya.
“Apakah ada kiriman aneh lagi?” Setelah masuk kedalam ruangan
kantorku, aku bertanya pada Della. Dia tentu mengerti dengan pertanyaanku.
“Tidak ada. Dan mudah – mudahan tak ada lagi.” Seminggu yang lalu
aku mendapat surat aneh dari seorang yang mengatakan dia penggemarku. Surat
gila mungkin lebih tepat. Dia ingin suatu saat aku mati bersamanya. Lalu muncul
bingkisan aneh. Baju penggantin yang katanya untukku. Lalu foto – foto tempat
kami nantinya dimakamkan. Surat – surat aneh lagi dan lalu pisau berlumuran
darah dengan keterangan darah itu adalah darah dia yang dia katakan untuk aku
rasakan darahnya agar kami bisa menyatu. Della bahkan sudah melapor ke polisi.
Menyelidiki si penggemar aneh, tapi hasilnya nihil. Alamatnya palsu. Tak ada
sidik jari. Begitu piawai hingga membuatku cemas.
“Jangan khawatir. Tidak akan ada apa – apa. Saya akan terus
bersama anda.” Seolah membaca kecemasan diwajahku, Della berkata menenangkan
dan aku menjadi tenang. Ya begitu saja. Meski kepala polisi mengatakan hal yang
sama tapi ucapan Della terbukti lebih ampuh menenangkanku.
“Aku tidak apa – apa. Sebaiknya aku teruskan bekerja dan ingat,
jika ada kiriman lagi, jangan lupa kabari aku.” Della hanya mengangguk lalu
keluar dari ruanganku. Dia paham aku harus bekerja dan dia tak ingin menggangu.
Bukankah senyum malu – malunya seharusnya hanya untukku? Dia dulu
pernah tersipu malu dan salah tingkah waktu aku menggodanya dengan memangilnya
sayang. Tapi sekarang aku melihatnya dari jendela kaca ruanganku tersenyum malu
– malu pada sekertaris ku, Susi yang mejanya memang berada tepat di depan
ruanganku. Susi terlihat sedang berkata sesuatu dan kata – kata yang dikatakan
Susi membuatnya tersenyum malu. Tidak seharusnya senyum seperti itu dia berikan
pada Susi. Seharusnya hanya aku yang boleh mendapat senyum itu. Aku....oh,
tidak. Aku bukan cemburu. Aku hanya....sudahlah, aku tak ingin membahasnya.
“Della, tolong masuk keruanganku.” Aku membuka pintu ruanganku dan
menyuruh Della masuk. Setelah Della masuk, aku bingung harus berkata apa. Aku
tadi hanya menyuruhnya masuk karena tak tahan melihatnya tersenyum pada Susi. Oh
ya, sebentar lagi aku akan gila.
“Apa ada kiriman aneh lagi?” Pertanyaanku membuat Della
mengerutkan keningnya.
“Tidak, tidak ada. Masih sama seperti yang saya laporkan tadi
pagi.” Della pasti berpikir aku menjadi terobsesi dengan kiriman dari penggemar
gila. Padahal aku hanya butuh alasan untuk memanggilnya masuk kedalam
ruanganku.
“Oh..baguslah.” Aku diam dan kembali menatap layar laptopku.
Membiarkan Della duduk dihadapanku, diam dan tak tak harus berbuat apa. Itu
lebih baik daripada melihatnya tersenyum pada Susi.
“Em...apa ada yang bisa saya bantu lagi?” dia sepertinya
kebingungan. Ow..si kaku sepertinya harus kugoda.
“Tidak ada sayang. Duduk saja. Aku hanya merasa perlu dijaga di
dalam sini.” Dan lihat lah, wajahnya langsung bersemu merah. Dia salah tingkah.
“Eh...oh..baiklah.” dia menggaruk kepalanya yang aku tahu pasti
tak gatal. Walau samar aku bisa melihat senyum diwajahnya. Apakah dia senang
aku panggil dengan sebutan sayang? Tidak, tidak. Apa yang sedang ku pikirkan.
Dia itu bodyguardku. Tidak, jangan macam – macam hati. Sudah cukup. Tapi lihat
lah dia, begitu lugu dan bibirnya sepertinya enak untuk dicium lalu leher
jenjangnya tentu saja enak kubaui. Berhenti! Aku semakin gila sepertinya.
Sudah enam bulan lebih dia bekerja denganku dan sikap kakunya
sedikit demi sedikit mencair. Dia telah beradaptasi. Tapi itu bukan alasan dia
untuk beramah tamah dengan model – model di agensy ku. Dan mengapa para wanita
ini senang sekali menggubunginya. Menggoda dan membuat dia tersipu malu.
Seperti hari ini, dia ikut dengan ku ketempat pemotretan. Aku sedang berbicara
dengan fotografer dan dia yang sedang duduk didatangi model – model itu.
“Hai Del, apakabar?” Sesil yang pertama menyapa, lalu disusul
Indri, Agnes, dan Maggie. Mereka berempat langsung menggrubunginya.
“Katakan padaku, dimana kamu belajar thai boxing? Kamu hebat Del.”
“Eh, tempat kerja lama ku, Boss nya adalah orang Thailand dan dia
cinta thai boxing. Maka disediakan satu ruangan khusus thai boxing dengan
pelatih dan siapa saja boleh ikut berlatih kalau mau.” Della menjelaskan sambil
tersenyum . Para model itu lalu bertanya banyak hal lagi pada Della. Oh ya,
beberapa minggu yang lalu, Della memang menghajar salah satu pria yang keluar
dari kerumunan dan muncul kehadapanku sambil memegang pisau. Tentu saja sebagai
bodyguardku, Della langsung bereaksi. Model – model agency ku yang kebetulan
ada disitu terkagum melihat gerakan thai boxing Della. Belakangan Polisi baru
menyampaikan kalau pria tersebut ditinggal pacarnya gara – gara ingin masuk ke
agency ku tapi pria itu melarang. Benar – benar sakit jiwa. Dan sekarang aku
yang sakit jiwa. Dari tempatku duduk aku bisa melihat dengan jelas model –
model itu bergelayut manja pada Della. Mereka begitu dekat dan Della tersipu
malu.
“Laila....are you oke?” George yang tadi sedang bicara padaku
sepertinya tahu aku tak mendengarnya.
“I’m ok George. Sampai dimana kita tadi?” Geoger kembali
melanjutkan pembicaraannya. Menjelaskan padaku tentang konsep foto yang akan
dia ambil. Meski aku mendengar tapi sesekali aku tetap memandangi Della yang
masih dikerubuti model – model.
“Laila, apakah hari ini anda berencana keluar kantor?” Pertanyaan
itu Della tanyakan saat kami baru saja sampai dikantor pagi ini.
“Tidak. Hari ini aku akan dikantor seharian. Klien akan datang
kesini. Ada apa?”
“Em...begini, bolehkan aku meminta ijin keluar sebentar? Hanya sebentar. Sebelum jam satu aku pasti sudah kembali.”
“Em...begini, bolehkan aku meminta ijin keluar sebentar? Hanya sebentar. Sebelum jam satu aku pasti sudah kembali.”
“Ya tidak masalah sih. Lagi pula gedung ini dijaga security.
Keluar saja, aku akan aman disini.”
“Oh, terimakasih.” Dia tersenyum dan lagi – lagi senyumnya membuat jantungku hangat.
“Oh, terimakasih.” Dia tersenyum dan lagi – lagi senyumnya membuat jantungku hangat.
“Ngomong – ngomong, kalau boleh tahu ada perlu apa?” Aku hanya
sekedar bertanya dan kalau boleh menarik kembali pertanyaanku, aku tak akan
melontarkannya.
“Kemarin Maggie bercerita kalau Ayahnya adalah pelatih thai boxing
dan setelah berkata beberapa hal, saya baru sadar Ayah Maggie adalah pelatih
thai boxingku dulu. Jadi Maggie menyuruhku datang saja kerumahnya yang tak jauh
dari kantor untuk berjumpa dengan Ayahnya. Ayah Maggie dulu begitu baik dan
sabar mengajariku. Aku hanya ingin berjumpa dengannya.” Jawaban yang penuh
dengan informasi dan aku hanya menangkap satu kalimat, Maggie menyuruhku datang
kerumahnya. Apa – apaan ini? Apa selanjutnya setelah bertemu Ayah Maggie dia
akan berkencan dengan Maggie?
Kekesalanku memuncak setelah pukul satu siang dan Della belum
kembali juga. Dia baru kembali setelah pukul dua siang.
“Maaf Laila, tadi saya keasyikan mengobrol dengan pelatihku.
Sampai lupa waktu” Yang benar saja, dengan pelatih atau dengan Maggie.
“Seharusnya kamu menepati apa yang kamu bilang tadi. Kamu tahu
betul bagiku waktu itu berharga.” Suara ku ketus dan aku tahu itu. Biar saja.
“Maaf.” Della terdengar merasa bersalah tapi kecemburuanku
membutakanku. Dibayangaku berkelebat wajah Della dan Maggie yang sedang
mengobrol dan tertawa.
“Sudah aku bilang aku tak suka kesalahan sekecil apapun. Ini sudah
jam dua. Bagaimana kalau tadi aku tiba – tiba ada urusan penting dan harus
keluar kantor. Apa kamu pikir aku ini yang harus menunggumu?”
“Maaf, ya saya tahu saya salah.”
“Kamu itu hanya bodyguard, jangan kira karena aku baik, kamu jadi
bisa sesukanya. Terserah kamu mau kemana saja, aku tak peduli. Tapi ingat
waktunya. Apa kamu sudah bosan menjadi bodyguardku hah?” Aku tahu perkataanku
sudah kelewat batas dan itu bisa kulihat dari wajah Della yang berubah. Dia
hanya diam mendengar omelanku. Tapi aku belum puas, mulutku masih saja mengomel
dan yang akhirnya membuatku menyesal.
“Apa kamu mau aku pecat? sudah kubilang kesalahan sekecil apapun
aku bisa memecatmu. Dan kamu mau aku pecat? hah? Mau jadi pengangguran lagi?”
aku berteriak dan teriakan ku langsung dihadiahi dengan wajah terkejut Della.
Dia tak berkata apa – apa, langsung keluar dari ruanganku. Dan itu lah terakhir
kali aku melihatnya. Dia tak pernah lagi datang kerumahku, menjemputku kekantor
bahkan tak juga datang kekantor. Andre saja bingung dan menceritakan kalau Mira
istrinya pun tak bisa membujuk Della untuk kembali bekerja. Aku sudah sangat
keterlaluan. Tapi egoku melarang aku menghubunginya. Aku kacau semenjak tak
melihat Della. Emosiku jadi tak tertahankan. Siapa saja yang melakukan
kesalahan, walau kecil selalu kumarahi.
Hari ini aku pulang larut. Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan
segera. Saat turun ke basement, aku merasa kan takut. Biasanya selalu ada Della
yang menemaniku, tapi sekarang aku hanya sendiri. Andre memang sudah menawarkan
mencari pengganti Della, tapi aku tak mau. Suasana basement yang sepi membuatku
berjalan dengan cepat ke mobilku yang terpakir. Tapi ketakutanku beralasan,
sebelum aku sampai ke mobil, seorang wanita muncul dan menyeringai padaku.
“Angelica?” aku mengenalinya.
“Halo darling, apa kabar?” Angelica terlihat awut – awutan.
Rambutnya berantakan, begitu pula kemejanya, terlihat lusuh.
“Em...baik. sedang apa kamu disini?”
“Menunggu tentu saja darling.”
“Apa maksudmu?”
“Oh darling, aku kangen padamu. Apakah kamu tidak? Aku sengaja
menunggumu pulang larut dan juga sengaja menunggu sampai kamu sendirian.
Akhirnya kamu tidak dijaga siapapun. Ini benar – benar keberuntunganku.” Apa
maksud dari ucapan Angelica? Dan mengapa basement begitu sepi? Apa tidak ada
satpam yang berjaga disini? Angelica memancarkan bahaya dan aku bisa
merasakannya.
“Kita bisa berbicara ditempat lain, bukan disini. Direstoran atau
mungkin ditempat yang lebih nyaman.” Aku berusaha keluar dari basement.
“Disini sudah sangat nyaman darling.” Angelica mendekatiku dan aku
berjalan mundur tapi gerakan Angelica lebih cepat. Dia langsung meraih lenganku
dan menutup mulutku dengan tangganya sebelum aku sempat berteriak.
“Kamu tahu darling, tidak akan yang datang kesini. Satpam –
satpammu sudah kuberi kopi berisi obat tidur dan sebentar lagi kamu juga akan
kubuat tidur dan aku akan membawamu ketempatku. Apa? Kamu bertanya mengapa?
Kamu lupa kamu meninggalkan ku begitu saja? Aku belum pernah dicampakkan
wanita, biasanya aku lah yang mencampakkan wanita. Gara – gara itu aku jadi
gusar, menjalin hubungan lain lagi tapi tak berhasil. Kata wanita – wanita itu
aku gila, paranoid. Baru berhubungan saja sudah takut wanita – wanita
meninggalkanku dan kamu kira siapa yang salah hah? Siapa? Itu gara – gara
kamu!” Angelica sudah gila. Aku tak menyangka dia jadi gila seperti ini. Apa
yang harus kulakukan.
“Oh...jangan menangis darling. Bagaimanapun aku terobsesi padamu.
Aku benar – benar menjadi penggemarmu. Bukankah kamu sudah mendapatkan surat
cintaku? Dan juga kado – kadoku? Ah, tentu kamu senang mendapat foto – foto
makam kita dan pisau berlumuran darah itu. Bukankah itu hadiah terindah?” jadi
selama ini, Angelica lah penggemar gila itu? Pengirim hadiah – hadiah aneh itu.
Dia mengeluarkan pisau dari sakunya. Menyuruhku diam atau dia menggorok
leherku. Dia menyumpal mulutku dengan sapu tangan, aku tersedak. Lalu mengikat
tanganku dengan tali. Dia lalu meyeretku dengan paksa menuju mobil ku.
Sebelum aku atau Angelica menyadarinya, Della langsung berlari dan
menerjang Angelica. Menjatuhkan pisau ditangan Angelica dengan tendangan.
Mendapat serangan mendadak, Angelica mengeram marah lalu meninggalkanku dan
menuju arah Della.
“Sial. Cari mati ya!” Angelica menyerang balik Della. Aku tahu
benar dulu Angelica pernah ikut wajib militer dan dia alih dalam pertarungan
tangan kosong. Mereka saling baku hantam dan aku hanya bisa menyaksikan. Della
berkali – kali melayangkan pukulan kebadan Angelica tapi Angelica pun berkali –
kali melayangkan pukulan kebadan Della. Dan saat Della berhasil menjatuhkan
Angelica, Angelica makin marah. Jatuhnya Angelica tepat didekat pisaunya yang
jatuh tadi. Diraihnya pisau itu dan menyerang kembali Della. Sabetan pisau itu
mengenang tangan Della dan aku bisa melihat tangan Della mengucurkan darah.
Tidak, aku tak bisa diam saja. Aku bangkit, dan berlari menerjang tubuh
Angelica yang tak menyangka aku bakal menyerangnya. Dia terjatuh dan Della
langsung beraksi. Memukul lengan Angelica yang menggenggam pisau dan membekuk
Angelica. Angelica berhasil dirobohkan.
Polisi datang setelah tak lama Della menghubungi. Mereka membawa
Angelica yang babak belur. Aku menyuruh Della kerumah sakit tapi dia menolak.
Maka dengan peralatan P3K di mobil, aku mengobati Della. Sekarang hanya tinggal
kami berdua. Duduk didalam mobil.
“Terimakasih Del.” Aku berucap lirih, senang ditolong Della tapi
sedih melihat dia terluka.
“Saya tidak apa – apa. Sungguh.” Sepertinya Della tahu aku sedih
melihatnya terluka. Aku mengangguk dan membalut luka dilengannya.
“Mengapa kamu bisa ada disini?” Pertanyaan ku dijawab dengan diam.
Aku memandanginya dan tak lama kemudian dia menjawab dengan malu – malu.
“Sebenarnya selama saya tak bekerja lagi, saya tiap hari selalu
menunggu anda pulang. Saya mengikuti anda diam – diam. Dan hari ini karena
curiga melihat anda belum keluar juga dari gedung apalagi melihat satpam yang
tertidur, saya langsung menuju basemant.” Perkataan Della langsung menghangatkan
hatiku. Dia mencemaskanku, meski aku bukanlah bossnya. Aku langsung terharu dan
menitikkan airmata.
“eh, Laila...anda tidak apa – apa?” Della menjadi panik dan aku
menggeleng. Aku bodoh karena terlalu mencemaskan status sosialku sedang disini
ada seseorang yang tulus mengkhawatirkanku. Kuraih kepala Della dan kucium
bibirnya. Dia terlihat kaget, tapi ketika aku tak berhenti memangut bibirnya
dia terlihat lebih tenang dan membalas ciumanku. Kami larut dalam ciuman.
Setelah ciuman kami berhenti, Della terlihat salah tingkah. Dan tentu saja rona
merah dipipinya juga terlihat.
“Eh...tadi itu....em....”
“Apakah kamu mencintaiku Della?” Pertanyaanku langsung membuat
Della tersentak. Ya aku tahu itu pertanyaan yang tiba – tiba tapi sepertinya
aku harus bertanya. Kupikir Della akan menyangkal atau hanya diam, tapi...
“Ya, saya mencintai anda, Laila.” Kata – katanya membuat jantungku
meloncat makin cepat dan aku tahu aku senang mendengarnya.
“Aku juga mencintaimu.” Maka kuraih lagi kepalanya, kami kembali
berciuman.
“Kamu harus tetap menjadi bodyguardku dan jangan menyebutku dengan
anda. Tak ada seorang kekasih yang menyebut kekasihnya dengan anda.”
“Eh....itu, ya...”
“Dan satu lagi, kamu pindah segera dari kontrakan mu kerumahku. Tidak
ada kompromi.” Dan sebelum menunggu jawaban dari Della, aku langsung
memeluknya. Lalu aku mendengar bisikan lembut ditelingaku.
“Ya, Boss, semua keinginmu akan saya kabulkan. Kekasihku, Laila.” Della
mendekapku dan rasanya begitu sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar