Minggu, 26 Mei 2013

Me and My Boss


Di sekolah anak yang paling diingat adalah anak yang pintar lalu anak yang bandel bahkan anak yang pendiam dan penyendiri juga selalu diingat. Bagaimana dengan saya? saya termasuk golongan yang biasa - biasa saja. Tidak pintar, tidak bodoh, tidak nakal, tidak pendiam, tidak juga periang. Dan mungkin hanya beberapa teman yang mengingat keberadaan saya. Selama dua belas tahun saya menjalani bangku sekolah dengan seperti itu. Begitu pula waktu kuliah. Lulus tepat waktu dengan nilai yang bisa dikatakan tidak jelek juga tidak bagus - bagus sekali. Dan di dunia kerja saya juga menjadi staff accounting yang prestasinya biasa - biasa saja. Mengerjakan apa yang ditugaskan, pulang dan datang tepat waktu. Tidak menonjol, biasa saja.

Lalu bencana datang mengacaukan hidup biasa dan damai saya. Bos besar yang sudah tua memutuskan untuk pensiun dan menyerahkan bangku kepemimpinan pada anak semata wayangnya. Tapi sayangnya kemampuan Bos kecil tak sebagus Bos besar. Dia bertindak sesuka hati dan akhirnya satu tahun kemudian, perusahaan dinyatakan bangkrut. Kami para pegawainya terpaksa diPHK. Kasihan Bos besar, seharusnya dia bisa hidup tenang dimasa pensiunnya tapi ini malah harus memikirkan hutang yang telah dibuat anaknya. Salah Bos besar juga terlalu percaya pada anaknya.

Saya sudah jadi pengangguran selama kurang lebih sepuluh bulan. Bukannya tak mencari kerja, malah setelah diberhentikan kerja dari sana saya sudah bekerja ditiga perusahaan yang berbeda. Tapi baru bekerja sebentar saya sudah menyerah dan berhenti. Tidak ada yang senyaman bekerja di perusahaan lama. Dan tawaran pekerjaan datang dari kakak sepupu saya merubah hidup saya.
"Jadi bodyguard? gak salah Kak?"
"Iya Del, kamu kan kekar terus ada basic thai boxing juga. Cocok banget."
"Tapi kak, saya kan sarjana ekonomi, masak jadi bodyguard."
"Ya enggak apa - apa Del, daripada kamu nganggur. Bukankah sudah tiga bulan kost mu nunggak? emangnya kamu mau diusir dan harus pulang kerumah?" Kak Mira tahu saja apa yang sedang saya alami sekarang dan tentu saja saya tidak mau pulang kerumah.
"Memangnya siapa yang mesti saya lindungi Kak?"
"LAILA JACKMAN!!!!"
"Siapa dia?"
"Ya ampuuuuun, kamu tidak tahu siapa Laila Jackman? kemana aja selama ini? Dengar ya Della, Laila Jackman itu model internasional keturunan Indonesia Australia. Punya agensi model paling terkenal dan besar di Indonesia. Model - model di agensinya bukan hanya bekerja di Indonesia tapi di luar negeri. Dan kamu pasti ngiler liat kecantikan dia." Aku hanya menyengir mendengar penjelasan panjang lebar dari Kak Mira.
"Menjadi bodyguard seorang Laila Jackman itu merupakan suatu kehormatan. Dia sempat hampir menjadi juri di Asia's Next Top Model, tapi karena kesibukannya dia membatalkan rencananya. Jadinya Nadya Hutagalung yang menggantikan dia."
"Orang seterkenal dia kenapa mencari bodyguard amatiran Kak? Dia kan bisa menyewa jasa bodyguard profesional."
"Justru itu Del. Dulu dia pernah menyewa jasa bodyguard profesional tapi mengecewakan. Bodyguard itu memang melindungi dia, tapi tidak dengan rahasianya. Bodyguard itu membocorkan rahasia Laila. Karena itu dia trauma dan meminta bantuan Andre untuk mencarikan bodyguard yang bisa dipercaya. Andre menceritakan itu ke Kakak dan Kakak teringat kamu." Saya menggaruk kepala yang tak gatal. Andre itu suami Kak Mira dan saya baru ingat kalau Kak Andre bekerja disalah satu agensy model sebagai Manager Finance. Sepertinya tidak ada salahnya menerima pekerjaan ini, daripada menganggur.

Di sinilah saya berada, di dalam ruang kantor Laila Jackman. Benar saja kata Kak Mira, saya ngiler melihat kecantikannya. Mungkin tingginya 178 cm dan itu berarti jika kami berdiri bersama saya hanya sebahunya saja.
"Jadi kamu adik iparnya Andre? oke, begini, saya percaya terhadap Andre, jadi saya yakin dia memberi pekerjaan ini padamu karena dia juga percaya padamu. Tugasmu tak sulit, jangan biarkan infotaiment, penggemar, penjahat atau siapapun mendekati saya tanpa saya mengizinkan. Kamu ikut kemana saya pergi, tapi kalau saya sudah pulang kerumah, kamu bebas pulang atau kemana saja. Pekerjaan ini tidak ada jam kerjanya dan satu lagi, kamu tidak boleh membocorkan apa pun tentang saya pada media atau siapapun. Meski hanya hal kecil, seperti saya hari ini sarapan apa, tidak ada yang boleh kamu beritahu. Masalah gaji, pasti Andre sudah membicarakan denganmu. Jadi hari ini kamu bisa mulai bekerja. Oh ya, jika satu saja kesalahan kamu perbuat, maka detik itu juga kamu saya pecat."Apa dia tak perlu menarik napasnya setelah berkata begitu panjang? Ya, sebenarnya tadi Kak Andre sudah menjelas kurang lebih tentang tugasku dan juga beberapa ultimatum dari si Laila, hanya saja saya baru tahu Laila itu benar - benar ratu.

Hari pertama saya langsung ambruk begitu menyentuh tempat tidur. Benar - benar melelahkan. Bukan karena banyak media atau penggemar yang menganggu tapi karena mengikuti ritme kerja si bos Laila yang seakan tak pernah berhenti. Dia bisa berada di tiga tempat dalam waktu sejam dan pindah lagi kelokasi - lokasi lain. Sepertinya saya harus lebih rajin olaraga agar badan tetap fit.

"dreeet......dreeeet............dreeeeet.........." Bunyi getar handphone yang memang sengaja saya silentkan terdengar menganggu ditelinga. Saya melirik jam dinding, baru pukul lima dini hari. Siapa yang sepagi ini menelepon saya? tanpa melihat layar handphone saya langsung mengangkat telepon itu.
"Halooo..........."
"Saya sudah telepon lebih dari tiga kali, kenapa baru sekarang diangkat?" Ya ampun....bukankah ini suara Laila? Langsung saya lihat layar telepon dan benar saja, terpampang jelas tulisan "Boss baru"
"Maaf Bu, saya tadi tidak dengar."
"ya sudah lah. Dengar, dua jam lagi saya akan berangkat ke Singapore. Dan semua tiketmu sudah diurus. Setengah jam lagi kamu harus sudah di rumah saya. Tak perlu membawa pakaian, saya cuma sebentar di sana" Begitu saja, dia langsung memutuskan telepon. Saya yang belum tersadar sepenuhnya terbengong sepuluh detik dan setelah itu saya langsung terburu - buru bangun, mandi dan berganti pakaian. Segera berangkat ke rumah Bos.

Benar - benar pekerjaan gila. Sudah seminggu saya bekerja dan sepertinya saya harus makan lebih banyak makanan yang menambah tenaga. Waktu Kak Andre menyebutkan gaji, saya pikir Kak Andre memberikan angka besar itu karena saya adik iparnya, ternyata karena pekerjaan gila - gilaan seperti ini. Tapi hari ini saya melihat sisi yang berbeda dari Laila Jackman. Dia baru saja membaca berita tentang dirinya di koran. Pemberitaan yang tidak begitu mengenakan. Dia langsung membuang koran tersebut. Terlihat benar dia berusaha acuh tapi ada sesuatu dimatanya yang membuat saya tahu berita itu menganggunya. Saya bukan orang yang pandai menghibur apalagi mencari cara agar orang yang sedih tak lagi bersedih, jadinya saya hanya bisa diam dan melakukan tugas seperti biasanya. Seharusnya seperti itu. Tapi ketika seharusnya saya mengantar Laila ke hotel untuk pertemuan dengan klien (saya juga merangkap supir Laila karena lagi – lagi dia tak bisa mempercayai supirnya) dari kaca spion saya melihat Laila menitikkan airmata. Deg.....perasaan saya langsung terenyuh. Ya, dia manusia juga. Bisa merasa down. Dan tanpa diminta saya membawa mobil ketempat yang berlainan dengan arah yang seharusnya kami tuju. Laila tampaknya tak menyadari karena dia sedang melamun. Saya terus memacu mobil tak peduli kalau tindakan ini bisa saja membuat saya dipecat. Ini tindakan reflek yang pertama kali saya lakukan.

“Ini dimana? Della, kamu tersesat atau bagaimana?” Pertanyaan itu langsung keluar dari mulut Laila begitu saya menghentikan laju mobil.
“Ini taman. Sebenarnya tempat wisata. Tapi karena bukan musim liburan, sepertinya hanya kita yang berkunjung disini.”
“Iya, saya tahu ini taman, tapi bukan itu maksud pertanyaan saya. Kalau kita tidak kembali sekarang, kita bisa terlambat meetingnya.”
“Saya sudah mengabari ke Susi kalau Ibu sakit, jadi meetingnya diundurkan sampai Ibu sehat. Maaf kalau saya lancang.” Susi adalah sekertaris Laila dan tadi saya mengabari melalui sms pembatalan pertemuan di hotel.
“Kamu......berani – beraninya kamu..........” Saya sudah menduga reaksi yang seperti ini, tapi Laila hanya mengucapkan kata itu. Dia kemudian diam dan masuk ke dalam mobil. Membuka kaca jendela dan menghardik.
“Ayo cepat, kita balik lagi ke kantor!”
“Biasanya kalau sedang suntuk dan tidak tahu harus berbuat apa, saya selalu kesini. Di ibukota jarang ada tempat asri seperti ini. Taman ini bagi saya sudah merupakan surga. Menghilangkan penat pikiran.” Saya tak mempedulikan hardikan Laila, malah bercerita tentang kegemaran saya mengunjungi taman ini. Laila terdiam, lalu keluar dari mobil dan berjalan meninggalkan saya. Dia duduk di bangku taman dan menatap pepohonan, mengacuhkan saya yang masih berdiri di samping mobil. Senyum di bibir Laila walau hanya sebentar, membuat saya lega. Lega bukan karena berpikir dia tak akan memecatku tapi lega karena setidaknya bisa membantunya menghilangkan perasaan sedih.

Saya tahu saya lancang dan saya juga sudah mempersiapkan diri untuk dipecat. Tapi saya tertegun ketika saat mengantar Laila kerumahnya, dia berucap seperti ini;
“Besok kita akan berangkat ke Lombok. Persiapkan bagasimu, karena kita akan liburan seminggu disana.”
“Liburan?” Dia tak menjawab hanya tersenyum lalu melangkah masuk dan meninggalkan saya yang masih kebingungan. Malamnya saya langsung menelepon Susi, mengonfirmasi tentang liburan yang dibilang Laila.
“Saya juga tidak tahu apa yang terjadi. Ibu meminta saya membatalkan semua janji selama seminggu dia berlibur dan liburan ini hanya boleh diketahui saya dan Pak Andre. Selama saya bekerja bersama Ibu, baru kali ini dia berlibur. Sebenarnya Ibu sakit apa sih Del?”
“Eh....mungkin Ibu hanya ingin liburan. Refresing.” Saya juga bingung harus menjawab apa karena saya sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Setelah berbasa – basi sedikit, saya mengakhiri telepon dan terduduk di tempat tidur. Ah sudahlah, semakin dipikirkan semakin tak menemukan jawaban. Sebaiknya segera berkemas. Kalau seandainya Laila berubah jadi gila dan membuang saya di Lombok, setidaknya Kak Andre tahu saya juga ikut bersama Laila ke Lombok dan dia bisa menyelamatkan saya. Hanya seandainya, mudah – mudahan kami memang berlibur.

Lombok, pulau yang indah. Laut biru, matahari cerah, pasir putih. Laila yang sedang berenang dan saya yang hanya bisa duduk dipasir pantai sambil memperhatikannya. Dia tadi mengajak berenang tapi saya menggeleng. Bukan karena segan berenang bersama bos tapi saya memang tak bisa berenang. Dulu saya merasa tak perlu sibuk belajar berenang, tapi kali ini saya merasa kesal karena tak bisa berenang. Hanya bisa menikmati air laut dari tepiannya. Laila tampak betul menikmati aktifitasnya di Lombok. Tubuh putihnya tak berusaha ia lindungi dari teriknya matahari di Lombok. Cantik.....seandainya saja dia bukan bos, eh....pikiran apa ini? Sepertinya saya melantur.
“Del, kamu belum punya pacar?” Pertanyaan itu langsung membuatku tersedak ketika sedang menikmati dinginnya orange juice.
“Eh...belum Bu.”
“Panggil saja Laila. Bukankah umur kita tak beda jauh. Lagipula kita sedang berlibur, bukan sedang bekerja.” Laila berucap dengan santai, sangat berbeda sekali dengan Laila yang biasanya memerintahkan melakukan ini itu. Glek......dia jadi semakin cantik dan saya sempurna terposana. Bingung harus berkata apa, diam – diam saya meliriknya yang duduk bersebelahan dengan saya.
“Disini enak ya Del. Apalagi bukan musim liburan, turis yang datang hanya beberapa orang.”
“Iya Bu, eh Laila.” Mendengar suara gugup saya, Laila tersenyum dan menatap saya.
“Kamu merasa canggung dengan saya? Ya wajar sih. Tapi untuk saat ini anggap saja kita ini teman liburan. Ya Del.” Saya hanya bisa mengangguk mengiyakan.
“Terima kasih Del. Untuk taman yang kemarin.” Setelah berkata itu, Laila langsung bangkit dan melanjutkan berenang dilaut yang indah.

Kami memang sedang berlibur sebagai teman, dan saya senang – senang saja menikmati liburan yang menyenangkan seperti ini. Tapi saya lupa mempersiapkan hati saya agar tak jatuh hati pada bos saya sendiri. Oke, saya memang lesbian tapi saya juga tak sembarang jatuh cinta. Sudah lima tahun lebih semenjak berpisah dengan kekasih saya yang terakhir. Dan saya tak menyangka bisa jatuh cinta pada Laila. Gila saja jatuh cinta dengan Laila. Kami bagai langit dan bumi. Dan tentu saja dia itu tak akan jatuh cinta dengan saya. Tapi apa mau dikata, sikapnya selama liburan ini benar – benar membuat saya terpesona. Dia begitu terbuka dan banyak tersenyum. Kami berjalan sambil saling mengenggamkan tangan menyusuri tepi pantai, mengoleskan sunblok dibadannya, mendengarnya tertawa ketika saya menceritakan lelucon, benar – benar liburan yang menyenangkan. Tapi tetap saja semua harus berakhir ketika kami harus kembali kerutinas biasanya. Kembali menjadi bodyguard dan memanggil Laila dengan sebutan Ibu.

Kantor yang sama, Laila yang sama. Ini hanya perasaan saya atau senyum itu masih sama seperti waktu liburan itu?
“Del, akhir – akhir ini saya menerima banyak surat penggemar yang aneh. Saya rasa ini orang yang sama. Nanti kamu minta suratnya ke Susi, saya khawatir ini pengemar yang gila.”
“Baik Bu.” Saya sudah akan melangkah keluar dari kantor Laila, tiba – tiba kata – katanya menghentikan langkah saya.
“Del, kita kan hanya berdua, jangan formal begitu. Laila, bukan Ibu. Oh ya, nanti tolong minta OB buat kan Kopi untuk saya ya”
“Eh....iya. Baik Laila”
"Terima kasih sayang." Setelah berkata begitu Laila kembali menekuni layar laptopnya dan saya langsung melangkah pergi dengan degup jantung yang berdetak kencang. Ya ampun, saya benar – benar jatuh cinta dan boleh kah saya berharap kalau Laila juga jatuh cinta pada seorang Della sang bodyguard? Dia menyebutkan sayang pada saya, tapi bisa jadi itu hanya ucapan sekedar tak lebih. Hati, tolong jangan buat saya gila seperti ini. Sudah saya bilang saya orang yang biasa – biasa saja, saya tak akan berani menyatakan cinta pada Laila apalagi berharap lebih. Sepertinya rasa ini harus saya nikmati sendiri. Haaahhhh........benar – benar tidak tahu harus berbuat apa.

END