Jumat, 30 Maret 2012

Pohon Besar di Bukit


Pohon itu terlihat kokoh. Menjulang tinggi di atas bukit hijau. Hanya dia sendiri dalam balutan langit biru pagi dan langit senja sore. Tak ada pohon lain, tapi ada bunga serta rumput – rumput liar menemaninya. Kadang burung – burung kecil duduk diatas rantingnya dan melantukan suara nyanyian riang, kadang malah tupai – tupai malah bermain dan berlarian di atas batangnya. Pohon besar itu selalu menikmati harinya. Dia malah memilih tak tertidur meski malam telah datang menjelang dan bintang pun telah terlelap. Pohon besar itu menyukai hawa dingin malam dan napas sunyi malam. Dia bisa merenung kan hari yang telah dilalui dalam gelapnya malam. Semua terasa terang dan pohon besar jadi bisa lebih memaknai hari – harinya. Dia menanti datangnya pagi sebagai makhluk pertama yang menatap matahari terbit. Membiarkan embun – embun bening menetes jatuh dari daun – daun nya. Lalu kicauan burung menambah semarak harinya. Lagi – lagi hari cerah yang menenangkan hati.

Lalu hari itu datang, hari dimana pohon besar harus merelakan dirinya berpisah dengan semua yang dia lalui setiap hari. Dua orang penebang itu datang dengan kapak besar serta tangan yang kokoh. Mereka menepuk – nepuk tubuh pohon besar. “ini pohon yang bagus. Mungkin sore nanti dia sudah tumbang kalau kita mulai sekarang.” Kata salah satu penebang. Pohon besar tahu arti dari pembicaraan mereka. Teman – temannya sesame pohon di bukit ini juga telah pergi ketika para penebang datang dan menebang mereka. Dulu pohon besar mengira dia akan luput dari kapak besar para penebang karena dia hanya pohon tua yang mungkin saya telah reyot. Tapi dugaannya ternyata salah. “sebaiknya besok saja kita datang lagi. Hari ini aku tak membawa bekal. Lagi pula hari ini kita ada kerjaan di rumah kepala desa. Kau tak ingat itu?”
“ah ya, hampir saja aku lupa. Kalau begitu ayo kita pergi. Aku tak mau pekerjaan kita direbut orang lain kalau kita telat. Pohon ini masih bisa menunggu hari esok.” Kedua penebang itu menjauh dari sisi pohon besar, mereka menuruni bukit.

Berita tentang penebangan pohon besar pun tersebar di seluruh penjuru bukit. Para burung, tupai dan binatang lain datang menjenguk pohon besar. “manusia selalu begitu, sesuka hati mereka mengambil kita. Bahkan anak ku yang masih kecil pun mereka bawa.” Burung merpati putih menangis sesungukan. “ya begitu lah mereka, mereka mengira mereka lah yang paling hebat.” Tupai coklat juga ikut berkomentar. Dia marah karena rumahnya telah dihancurkan manusia. “tapi bagaimana caranya kita melindungi pohon besar dari manusia?” tanya burung nuri. Mereka semua saling berpandangan, bahkan bunga liar yang berada disekitar pohon besar pun tak tahu caranya.
“bagaimana kalau kita menyerang para manusia itu ketika esok mereka datang untuk menebang pohon besar?” berang – berang tua memberi saran. Tapi sarannya itu langsung dibantah rumput liar. “itu bukan ide yang bagus. Ingatkah kalian dengan bunga mawar? Waktu kita menyerang manusia untuk melindungi mawar, keesokan harinya mereka malah membawa penduduk sekampung untuk menyerang balik kita. saya tak mau lagi melihat padang ilalang yang terbakar, lalu binatang – binatang ditangkap dan banyak dari kita menjadi korban” terdengar gumaman tak jelas yang tentu saja mendukung perkataan rumput liar. Mereka tahu mereka tak dapat berbuat banyak.
“sudahlah teman, saya sudah merelakan diri untuk ditebang. Jangan melindungi saya karena saya tak ingin teman sekalian terluka. Saya akan baik – baik saja.” Semuanya memandang ke arah pohon besar dan dengan senyum bijaknya dia menenangkan hati para penghuni bukit. Akhirnya mereka pun mengucapkan selamat tinggal pada pohon besar. Mereka memeluk tubuh besar si pohon.
“jangan sedih wahai para sahabatku. Kalian masih bisa menjumpai ku. Disetiap rumah yang dibangun, atau kandang atau malah kereta kuda. Saya akan dimana – mana. Saya tak hilang, saya hanya pergi ketempat – tempat yang belum pernah saya singgahi. Terimakasih untuk persahabatan kita selama ini. Jaga lah bukit ini. Aku bahagia bisa mengenal kalian.” Senyum pohon besar membuat sedih para penghuni bukit tapi mereka jadi bisa berbesar hati. Mereka pun pergi meninggalkan pohon besar.

Keesokan harinya waktu yang dinanti – nanti pun tiba. Bukan hanya dua tapi ada empat penebang kayu. Rupanya mereka membawa serta teman – teman mereka. Dan tanpa basa – basi mereka pun bekerja. Dua orang yang kemarin datang memulai mengayunkan kampak ke tubuh pohon besar, begitu terus sampai tubuh pohon besar terkoyak. Ketika kedua orang itu lelah, kedua temannya yang lain menggantikan tugas mereka. Terus dan terus sampai siang menjelang dan pohon besar pun akhirnya tumbang. Serbuk – serbuk pohon besar berterbangan dibawa angin mengitari bukit seolah memberi pesan kalau kini saatnya pohon besar pergi. Hari itu cerah, secerah keikhlasan pohon besar untuk ditebang. Bukit itu kini tak ada lagi pohon besar yang ada hanya pohon – pohon kecil yang masih tumbuh dan butuh waktu berpuluh – puluh tahun untuk tumbuh kokoh dan besar. Kadang para sahabat pohon besar datang menjenguk tungkul pohon besar yang masih tersisa. Mereka merindukan pohon besar. Tanpa mereka sadari tumbuh setangkai kecil daun dari tungkul itu. kecil tapi dia adalah pohon besar tua yang hadir kembali menjadi penghuni baru bukit.