Kamis, 28 November 2013

Kucing Hitam

“Kamu tahu tidak mengapa aku memelihara kucing hitam?” Dia bertanya sambil mengendong kucing kecil berwarna hitam legam. Kucing yang semula tak kusetujui untuk dipelihara. Aku tahu dia pecinta kucing dan aku juga menyukai kucing tapi tidak dengan kucing hitam. Kucing yang menurut mitos adalah kucing pembawa sial. Aku menggeleng, lebih karena malas menanggapi perkataannya.
“Kalau kamu ninggalin aku dan aku mati, maka jiwa ku akan masuk kedalam tubuh kucing ini. Lalu aku yang sudah menjadi kucing akan mendatangimu.” Dia berkata dengan wajah serius. Aku menatapnya.
“Sinting.” Hanya itu ucapanku tapi dia malah tertawa terbahak – bahak.

Sembilan tahun telah berlalu dan aku tiba – tiba teringat dengan kata – katanya ketika Bumi, anakku membawa seekor kucing hitam dalam gendongannya.
“Ma, lihat kucing ini. kasihan kakinya luka.” Bumi mengangkat kucing hitam itu agar aku bisa melihat. Telinga kiri yang memiliki bekas sompel membuatku terkesiap. Sama persis seperti kucing miliknya. Mungkin hanya kebetulan. Aku membatin.
“sayang obati setelah itu kasih makan. Tapi tidak boleh dipelihara ya.”
“Tapi kan kasihan Ma.”
“Papamu kan alergi kucing sayang.” Aku mengelus kepala anakku. Dia mengangguk mengerti lalu membawa kucing itu kebelakang rumah.

Jauh sebelum aku menikah, aku dan dia adalah sepasang kekasih yang bahagia. Berkenalan didunia maya lalu berlanjut didunia nyata. Ah ya, biar kuperjelas, aku pecinta wanita jadi dia adalah wanita tentu saja. Namanya, ah...sepertinya tak perlu kusebutkan. Cukup hanya menjadi kenanganku saja. Dia sudah hilang, sembilan tahun yang lalu. Seminggu sebelum pernikahanku. Pernikahan yang mungkin batal kalau saja dia tidak menghilang. Tapi mungkin ini yang terbaik. Apa yang akan dikatakan keluargaku jika aku malah memilih perempuan dibanding pria baik hati yang bersedia menerimaku meski dia tahu masa laluku.
“Jangan mencoreng nama keluarga ini. Kalau kamu tidak memikirkan Mama dan Papa, pikirkanlah adik – adikmu. Jangan egois.” Itu perkataan Mama yang membuatku terduduk diam kala aku ingin kabur. Mungkin dia marah saat aku memilih memutuskannya. Dia yang posesif tentu tidak mau menerima hal itu. Menghilang, ya mungkin itu lebih baik untuknya dan juga untukku.

Suami ku pulang dan langsung bersin – bersin. Sepertinya Bumi masih belum mengembalikan kucing hitam itu kejalan.
“Padahal tadi dikantor saya baik – baik saja. Kok tiba – tiba bersin ya?”
“Mungkin gara – gara bulu kucing yang dibawa Bumi tadi, Bang. Bumi, sayang...” Anakku muncul saat kupanggil dan kucing hitam ini malah masih dalam gendongannya. Bersin suamiku makin menjadi.
“Sayang, kan Mama sudah bilang kalau kucing itu mesti sudah dikembalikan ke jalan. Lihat Papa jadi bersin – bersin.”
“Tapi Bumi kasihan, Ma. Milo jalannya masih pincang.” Aduh, sekarang kucing itu malah sudah diberi nama. Aku segera membawa Bumi ke teras sebelum suamiku marah.
“Dengar sayang, bagaimana kalau kita titip kucing ini di Pos Pak Supri. Tapi Bumi janji ya tidak boleh membawa kucing nya kedalam rumah dan kalau mau masuk ke rumah, Bumi harus membersihkan diri dulu. Biar bulunya enggak nempel dibaju Bumi.” Aku mencari solusi. Anakku tentu tidak akan melepas kucing itu begitu saja. Bumi langsung tersenyum senang dan menganggukkan kepalanya. Tapi aku melihat sesuatu yang aneh. Kucing itu menatapku. Tatapan yang tajam. Ah, mungkin hanya bayanganku saja.

Semenjak itu kucing hitam yang kini diberi nama Milo menjadi peliharaan anakku. Semula suamiku tidak setuju tapi ketika Bumi menangis saat Suamiku menyuruh Pak Udin, supirnya untuk membuang kucing itu akhirnya suamiku mengalah. Entah mengapa aku merasaka keterikatan terhadap kucing hitam itu. Saat aku lewat di os Pak Supri, kucing itu selalu mengeong. Bukan suara meongan yang biasa tapi suara yang menyayat hati.
“Suara kucing nya aneh ya Pak.” Aku bertanya pada Pak Supri tapi satpamku itu malah mengernyit heran mendengar pertanyaanku.
“Enggak ah Bu. Biasa saja. Mungkin karena Ibu tidak pernah melihara kucing.” Aku tidak membalas ucapan Pak Supri karena kucing itu sekarang malah menatapku tajam.

Malam itu aku bermimpi. Aku berada dalam ruang yang gelap tapi aku bisa melihat kucing hitam itu. Dia menatapku lalu mengeong, suara yang begitu menyayat hati. Lalu dari kedua bola matanya keluar airmata. Aku terkesiap dan terbangun. Mimpi aneh. Bulu kudukku meremang. Tidak itu hanya sekedar mimpi, aku berusaha mengyakinkan hatiku.

Kedatangan Mama yang tiba – tiba sama sekali tidak membuat hatiku makin tenang. Mama bukan tipe Ibu yang lembut dan menenangkan putrinya. Mama keras dan harga dirinya lebih penting daripada kebahagian anaknya.
“Kata Andy akhir – akhir ini kamu sering melamun. Dia takut kamu banyak pikiran jadi meminta Mama menemanimu. Ada apa? Jangan bilang kamu melakukan hal itu lagi.” Hal itu yang dimaksud Mama tanpa perlu beliau ucapkan pun aku paham.
“Tidak Ma. Aku sudah memiliki Andy dan Bumi. Aku tidak berhubungan lagi dengan wanita mana pun.” Aku menatap Mama dengan jengkel tapi Mama sepertinya tidak peduli.
“Syukurlah kalau begitu. Cukup sekali kamu hampir menghancurkan nama keluarga kita. Ingat ini Rosa, Andy itu pria yang baik. Dia mau menerimamu meski kamu itu ‘sakit’! jadi jangan macam – macam.” Aku memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mama. Dia selalu menganggap apapun yang keluar dari mulutnya adalah hal yang benar. Sebagai anak sulungnya aku cukup paham.
“Oh ya, ada sebuah berita. Sebenarnya tidak penting sih. Tapi sebaiknya kamu tahu supaya kamu tidak berharap lagi. Seminggu yang lalu Mama tidak sengaja bertemu dengan Pak Danu. Dia bercerita kalau Juana baru meninggal.” Mama bercerita dengan santai seolah itu adalah cerita biasa. Aku jatuh terduduk. Pak Danu adalah pemilik kost dimana aku dan kekasihku menetap dulu sebelum ketahuan oleh Mama. Dan tentu saja Joana adalah kekasihku. Sakit yang teramat sangat menyerang jantungku. Kucing hitam itu datang dan menatapku. Tatapan tajam serta suara eongan yang menyayat.

Aku harus mencari tahu. Tentu saja setelah Mama kembali ke rumahnya. Mama pasti tidak akan senang kalau aku mencari tahu tentang Juana. Aku meminta izin untuk pergi keluar kota. Melayat teman sekolah, itu alasanku pada Andy. Dan dia percaya. Tak peduli berapa jarak yang mesti kutempuh. Aku mengendarai mobil empat jam lebih tanpa istirahat. Rumah kost itu terlihat lebih tua. Pak Danu terlihat duduk di teras. Dia terkejut melihat kedatanganku.
“Eh, Athisa. Ada apa ya?” Sekilas aku melihat rasa bersalah dari Pak Danu. Ya, dia memang pantas merasa bersalah. Dialah yang melaporkan pada Mama tentang hubunganku dengan Juana. Mungkin dia sering mengintipi kamar kami hingga tahu kami sepasang kekasih.
“Apa betul Juana sudah meninggal?” Aku tak berbasa – basi. Pak Danu terhenyak tapi hanya sebentar. Pak Danu menganggukkan kepalanya.
“Bapak tahu dari mana? Dulu Bapak bilang tidak tahu kemana Juana. Mengapa Bapak bisa tahu dia sudah meninggal?” Aku tidak bisa menahan diri. Berbagai pertanyaan langsung keluar dari mulutku.
“Bapak sebenarnya tahu dimana Juana berada hanya saja Bapak sudah berjanji tidak akan memberitahumu. Dia dan suamimu bertemu disini seminggu sebelum pernikahanmu. Suamimu memintanya menjauh darimu tapi dia tidak mau. Mereka bertengkar hebat. Bapak tidak tahu harus membela siapa dan saat bertengkar tanpa sengaja suamimu mendorong Juana. Juana terjatuh dari tangga. Kami segera membawanya kerumah sakit. Bapak tidak mengerti dengan istilah medis yang diberitahu dokter. Yang jelas setelah terjatuh, saraf Juana ikut terantuk. Dia lumpuh dan selama ini dia dirawat di rumah sakit. Suamimu lah yang membiayai perawatan Juana. Dia meminta Bapak merahasiakan semuanya. Maafkan Bapak. Bapak merasa berdosa, Bapak tidak sanggup merahasiakannya lagi. Sepuluh hari yang lalu Juana tidak sanggup lagi bertahan. Dia menghembuskan napas terakhirnya.” Wajah Pak Danu keruh dan begitu pula denganku. Tenggorakanku tercekat. Selama ini, ternyata selama ini suamiku yang memisahkanku dengan Juana. Aku menangis, tangis yang entah menangis nasib tragis Juana atau nasibku.

Hari itu juga aku pulang ke rumah. Setelah melihat makam Juana dan menangis lagi disana aku memutuskan untuk pulang. Pak Danu tak hentinya meminta maaf. Aku hanya mengangguk kecil. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Ada satu orang yang mesti kutanyai lagi, Andy suamiku. Sesampainya di rumah, langit sudah berubah menjadi gelap. Suamiku sedang duduk menonton televisi.
“Sudah pulang sayang. Sini, pasti capek. Biar Abang pijitin.” Aku menurut. Berjalan dan duduk disamping Andy. Baru saja aku membuka mulut untuk bertanya, Bumi masuk dengan mengendong kucing hitam.
“Kok dibawa masuk kucingnya. Hacim...hacim...” Andy langsung bersin – bersin. Kucing hitam itu menatapku tapi kali ini tatapannya sendu. Dia mengeong, suara yang seperti memberitahuku kalau dia sudah tahu aku tahu. Aku mendekati Bumi lalu mengambil kucing hitam itu. Dalam gendonganku, kucing hitam itu menitikkan airmata. Aku juga ikut menangis.

“Mama kenapa?” Bumi bertanya heran. Aku tidak sanggup menjawab. Aku dan kucing hitam menatap Andy yang masih bersin – bersin. Kami sama – sama menangis.