Kamis, 04 April 2013

Rencana Indah


Setelah mengcopy memori mayat sesuai dengan permintaan kepolisian, Profesor Tano mengusap wajahnya dengan tangan lalu berpaling pada tiga orang polisi dihadapannya.
"Sepertinya hari ini aku tidak bisa membawa kalian menjelajahi memori mayat ini."
" mengapa begitu?" tanya salah seorang polisi.
"kadang ada rahasia yang memang tak harus diungkapkan meski kematian lah jalan satu - satunya."
"Tapi kami tak mungkin tidak membuat laporan apa pun tentang kematian mayat ini dan profesor pasti tahu siapa mayat ini."
"Sebenarnya aku baru tahu setelah mengcopy memori tadi. Aku bukan penggemar politik. Begini saja, biar aku yang bicara langsung dengan Jendral dan Jendral yang akan mengambil keputusan mau mempublikasikannya atau tidak."
"Sepertinya ini benar - benar memori yang tak bagus ya prof." Jendral yang memang berada diantara ketiga polisi itu menghela napasnya. Raut lelah jelas terpancar diwajahnya.
"Baiklah Prof, sepertinya saya tak punya pilihan lain." Jendral dan Profesor Tano berjalan keluar dan menuju ruang kosong.
"Tadi aku memang bilang akan menceritakan, tapi sebaiknya anda saksikan sendiri dan simpulkan" Tanpa menunggu jawaban, Profesor Tano langsung membawa Jendral menuju memori mayat.

Kamis.....berarti dua hari lagi aku akan berjumpa dengan Raka. Hem.....sebaiknya aku mengenakan pakaian formal. Bukankah minggu lalu Raka bilang ingin melihatku dalam balutan kemeja, tapi sepertinya kemeja itu tak akan bertahan lama karena Raka akan langsung melucutinya dalam hitungan detik. Ah....membayangkan itu saja sudah membuatku terangsang. Untung saja tidak ada orang lain diruanganku. Ini lah enaknya menjadi Manager.
"tok-tok" Setelah ketekukan itu, Ayah masuk. Begitulah Ayah, meski dia Direktur tapi dia tetap sopan. Kalau saya sebagai Direktur saja tidak sopan bagaimana dengan karyawan saya? itu yang Ayah bilang.
"Sibuk nak?" Dan sampai saat ini Ayah masih menyebutku dengan nak.
"Tidak Yah. Ada apa?"
"Tadi Ayah baru bertemu dengan Alex, dan katanya jajak pendapat yang diselenggarakan Majalah Tempo, Ayah berada diurutan pertama. Bukankah itu berita bagus Nak." Senyum sumringah Ayah membuatku ikut tersenyum. Tentu saja aku tahu siapa Alex, dia adalah Kepala tim sukses Ayah. setahun lagi pemilu akan diadakan, dan Ayah adalah salah satu calon Presiden. Tentu saja aku bangga.
"Hebat Yah. Lawan - lawan Ayah pasti merasa kesal sekarang."
"Hahaha...kamu benar Nak. Tapi ini kan hanya jajak pendapat dan yang ikut pasti hanya para pembacanya saja."
"anggap saja ini bonus Yah. Hal yang menggembirakan jangan dibuang." Ayah langsung mengangguk setuju.
"Oh ya Nak, Alex juga melaporkan sesuatu. Dan Ayah sebenarnya sangat ingin tak mempercayainya, tapi Alex meminta Ayah untuk bertanya saja padamu secara langsung." Ayah berhenti bicara dan memandangiku. Apa maksud perkataan Ayah?
"Siapa Raka, Nak?"
Deg.....jantung ku langsung berdetak kencang dan sialnya wajah kaget ku sudah menjelaskan semuanya. Ayah mengaitkan jari - jari tangannya. Sikunya diletakan di atas meja.
"Dengar Nak, Ayah tahu dengan pasti kalau kamu mendukung Ayah seratus persen. Berhati - hatilah, Alex saja bisa tahu apalagi saingan Ayah. Kamu pasti tak ingin Ayah dijatuhkan dengan gosip murahan." Setelah berkata begitu Ayah bangkit dari kursi dan berjalan kearah pintu. Sebelum membuka pintu, Ayah tiba - tiba berbalik dan bilang "Oh ya Nak, kata Bunda malam minggu ini kamu harus makan dirumah. Om dan Tante Bowo, juga putri mereka, Rani akan datang makan malam. Jangan lupa itu."
"Ya Yah." Seperginya Ayah, aku langsung lemas. Bagaimana bisa Alex tahu hubunganku dengan Raka? Sial....benar - benar sial.

"Elang Raja Kusuma, kamu tahukan kita sudah seminggu tak bertemu, bagaimana bisa kamu bilang Sabtu ini kita tak bisa bertemu?" Aku tahu pasti Raka marah, tapi tak mungkin aku tidak mengikuti perintah Ayah.
"Sayang, dengar. Ayah sepertinya, bukan...Ayah sudah tahu hubungan kita."
"Bukankah itu bagus, berarti Raja Kusuma senior menyetujui hubungan kita."
Aku tahu itu hanya ejekan Raka. 
"Sayang, tolong lah. Sabtu nanti Ayah menyuruhku untuk makan dirumah. Om dan Tante Bowo serta anak mereka akan datang makan malam."
"Coba ku tebak, ya pasti kamu akan dijodohkan. Selamat ya." Aku menghembuskan napas putus asa. Raka sangat susah dibujuk kalau sudah kesal.
"sayang, dengar, aku akan ke hotel begitu makan malam selesai." Terpaksa aku mengeluarkan kata - kata itu walau aku tak tahu akan sampai jam berapa acara makan malam berakhir.
"Coba saja tak datang, maka jangan pernah temui aku lagi." Setelah berkata begitu, Raka langsung menutup teleponnya. Setidaknya satu masalah sudah selesai. Tinggal menyelesaikan masalah malam minggu nanti.

Jam sudah menunjukan pukul sembilan dan sepertinya acara masih lama berakhir. Bunda malah menyuruhku membawa Rani melihat halaman belakang rumah kami yang asri. Bunda juga tak lupa berbisik agar aku tak menyia - nyiakan kesempatan.
Dan disinilah aku, menemani Rani. kulirik sekali lagi jam pergelangan tanganku.
"Sepertinya Kak Elang punya janji lain ya?" pertanyaan Rani membuatku segera mengalihkan pandangan kearahnya.
"Dari tadi Rani perhatikan Kak Elang berulang kali melihat jam." Mungkin gerak - gerik ku terlalu mencurigakan, hingga dia bisa menebaknya.
"Ya, janji yang kubuat minggu lalu. Hanya tidak enak rasanya membatalkan janji."
"Pasti teman kencan kak Elang kecewa. Wanita cantik itu pasti kesal."
"Eh? wanita? bukan kok. Saya cuma janjian dengan teman sekolah saya dulu dan dia seorang pria." Aku tersenyum, setidaknya aku tak berbohong. Raka memang Pria, meskipun dia bukan teman sekolahku.
"oh....Rani salah paham." Wajah nya langsung bersemu merah. Gadis lugu ini sepertinya bisa membantuku menyelesaikan acara malam ini.

Dengan bantuan Rani yang tak tega melihatku frustasi melanggar janji, acara malam itu pun selesai. Rani bilang pada orangtuanya kalau dia pusing dan ingin pulang. Setelah itu aku langsung meluncur ke hotel dimana Raka menginap. Pukul sepuluh lewat lima belas menit aku tiba. Disambut dengan wajah cemberut Raka.
"Aku kira kamu kekenyangan sampai lupa ada seseorang yang sedang menunggu."
"Bagaimana mungkin aku lupa denganmu sayang." Aku langsung memeluk Raka. Meski masih cemberut, dia tak menolak ketika ku peluk dan kucium lehernya.
"geli sayang." Kata Raka manja.
"Dan sayang ganteng sekali malam ini." Benarkan tebakanku, Raka pasti senang melihatku mengenakan kemeja.
"Hanya malam ini saja gantengnya?" aku menyusupkan tangan ke dalam kaos ketat Raka. mengelus perut ratanya.
"hem....entahlah." Raka mendekat bibirnya ke bibirku. Aku langsung melumatnya. Tangan Raka bergerak turun kearah selangkanganku, mengelus dan membuat gairahku bangkit.
Malam itu kami saling melucuti, memuaskan dahaga setelah satu minggu tak bertemu. Raka.....sungguh aku mencintaimu.

Aku menjelaskan banyak hal pada Raka. Awalnya dia protes ketika kubilang kami akan jarang bertemu. Mungkin sebulan sekali atau malah lebih dari sebulan. Raka tahu betul aku sangat menghormati Ayah.
"Terima kasih sayang, atas pengertiannya."
"aku tak akan rela jika sayang nanti menikah dengan si Rani."
"Tapi dengan aku menikah, tidak akan ada lagi yang akan curiga dan sayang harus mendekati Rani. Biar Rani yang bakal mempekerjakan sayang dirumah kami."
"belum menikah saja, sayang sudah menyebut Rani dengan kami. huh..."
"hahaha....ayolah sayang, kamu adalah stylist paling hebat dan seorang Rani pasti membutuhkan mu." Ku cium bibir Raka dan dia balas menciumku. Sepertinya rencana kami akan berjalan lancar.

Ternyata rencanaku berjalan sangat lancar. Sudah kuduga Rani tergila - gila padaku. Tanpa perlu perjuangan, Rani sudah bertekuk lutut. kedua keluarga tentu saja sangat senang. Mereka mengusulkan untuk mengadakan acara pertunangan, aku menolak. Aku ingin langsung menikah saja. Awalnya Ayah curiga, tapi aku berhasil mengyakinkan Ayah. Maka enam bulan dari perkenalan, rencana pernikahan kami pun disusun. Sudah dua bulan lebih aku tak bertemu Raka. Bahkan untuk meneleponnya saja sangat sulit. Raka yang bekerjastylist disebuah rumah mode tak selalu berada disatu tempat, kadang malah dia berada diluar negeri. Betapa aku sangat merindukan Raka. Dan pagi ini aku sangat bahagia ketika Raka menghubungiku.
"Sayang, sudah dibelikan majalah - majalah yang berisi stylist arahan ku?"
"Tentu saja sayang, dan majalah itu sudah sengaja ku letakkan di mobil Rani."
"Sepertinya rencana kita akan berjalan lancar. ah, sayang....aku sangat merindukanmu Elang ku."
"Aku juga merindukanmu sayang. sangat dan sangat, Raka ku sayang." Percakapan kami diakhiri dengan panggilan boarding pesawat Raka. Dia akan terbang ke Singapore lalu dilanjutkan ke Paris. Demi aku, Raka rela melepaskan pekerjaannya yang hebat itu dan itu membuatku makin mencintainya dan tak rela kehilangannya.

Lalu berita itu datang. Berita yang memporak - porandahkan rencana kami. Berita itu tersebar dimana - mana. Aku bahkan bisa membaca dengan jelas nama Raka di layar televisi sebagai korban.
Pesawat yang ditumpangi Raka mengalami kecelakaan, pesawat itu terbakar ketika baru mendarat di bandara. Masih belum jelas apa penyebabnya. dari puluhan orang yang luka - luka, Raka tidak termasuk salah satunya. Tapi Raka termasuk korban yang meninggal dunia. Aku kalap, langsung menelepon memastikan. Membooking pesawat pertama yang terbang ke Singapore, tapi Alex mencegahku pergi.
"kalau anda pergi sekarang, maka lawan Pak Raja bakal mendapat apa yang mereka mau. Mereka sudah memata - mataimu dan mereka juga pasti tahu anda akan ke Singapore."
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"saya saja bisa tahu, apalagi mereka. Yang mati biarlah mati, setidaknya anda bisa mendoakannya tenang." Begitu perkataan Alex selesai, aku langsung menghadiahinya pukulan diwajahnya.
Dia menghapus darah dibibirnya.
"saya sama sekali tak berniat menolong anda. Pak Raja sudah sangat membantu saya dan saya tak ingin cita - cita Pak Raja tak terwujud apalagi oleh anaknya sendiri." Alex lalu pergi meninggalkanku sendiri di ruang kantor ku. Aku menghantam meja dengan kepalantanganku. Bahkan untuk melihat kekasihku yang meninggal saja aku tak sanggup. Betapa lemahnya. Selama ini Raka sudah banyak berkorban dan apa yang bisa kulakukan? mungkin nanti pemakamannya juga tak bisa kuhadiri.
Raka......mengapa kamu begitu cepat pergi? padahal rencana kita sebentar lagi akan berhasil. Tidak, aku tak peduli larangan Alex, berani benar dia mengaturku. Aku berjalan keluar dan menuju parkiran. Membawa mobilku membela lautan kendaraan dan bergegas menuju bandara. Tiba - tiba telepon ku berbunyi. Dari Alex.
"Sudah saya bilang, saya tak akan biarkan siapa pun menghancurkan cita - cita Pak Raja, bahkan anaknya sendiri." Perkataan Alex selanjutnya tak dapat lagi aku dengar karena sebuah truck datang kearahku. Aku tak sempat lagi menghindar. Setidaknya meski aku mati, aku akan bertemu lagi dengan Raka.

Penglihatan itu selesai. Jendral mengusap peluh yang mengucur dari dahinya.
"memang memori yang sulit prof. Tapi bagaimanapun saya harus memberitahu Pak Raja. Dia sahabat saya dan dia juga yang meminta anda untuk dilibatkan."
"Sepertinya aku sangat terkenal ya."
"bisa dibilang begitu. Terima kasih banyak prof."
"sama - sama."

Aku Profesor Tano, pemecah masalah dikepolisian. Si pencopy memori mayat, itulah keahlianku. Kadang memori mayat yang ku copy tidak selalu berisi kenangan yang indah, banyak rahasia yang tersimpan dan tidak semua rahasia itu harus diungkapkan. Kudengar dari Jendral, Pak Raja menutup kasus kematian anaknya dengan kecelakaan lalu lintas. Tapi Pak Raja tidak membiarkan begitu saja Alex. Betapa pun setianya Alex, tapi Elang tetap adalah anaknya.
“Jadi apa yang terjadi dengan Alex? Bukan kah kalau dia mati seharusnya sudah masuk ke wilayah kepolisian?” Itu pertanyaan ku pada Jendral. Tapi Jendral menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Alex tidak ada dan saya juga tidak tahu dimana dia sekarang. Ada saatnya polisi tidak bisa ikut campur.” Begitulah, hanya itu yang diceritakan Jendral. Bagiku semua itu tak masalah. Meski aku mengetahui memori mayat tapi aku juga menghormati para mayat itu.

Senin, 01 April 2013

Perpisahan

Kisah kami telah usai, ya telah usai lima bulan yang lalu ketika ia memilih pergi meninggalkan ku. Meninggalkan luka yang mengangah sakit dan meninggalkan kenangan pahit untuk ku.
"Adik akan pergi." Itu ucapan pertamamu ketika itu. Aku yang bersiap - siap pergi kerja, menoleh padamu.
"Ke kampus? bukannya hari ini adik tidak ada jadwal?" Aku bertanya heran, seingatku hari senin dia biasanya tidak masuk kuliah dan lebih memilih mendekam di kamar. Dia menggelengkan kepalanya.
"Jadi mau kemana? mau sekalian kakak antar?" Lagi - lagi pertanyaanku dijawab dengan gelengan. Dia malah bangkit dan mengambil air. Menenguknya cepat dan melihat lagi kearahku.
"Maaf kak, adik enggak bisa sama kakak lagi. Adik akan pergi." Perkataannya membuatku bingung, dia tak bisa lagi bersamaku dan akan pergi, jadi.....
"Adik mau putus dari kakak?" Dia mengangguk dan sebongkah batu jatuh tepat dihatiku. Tarikan napas dan helaan napas jadi berat.
"Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang sanggup keluar dari mulutku. Dia memalingkan wajahnya. Tak mau menatapku. "Ini bukan salah kakak." Jawaban klise dan aku tak mau mendengar itu. Sepertinya dia tahu, dia meneruskan perkataannya. "Adik menemukan orang lain."
"siapa?" Tanyaku seketika. "Kakak tidak mengenalnya. Dia....teman baru di kampus. Adik jatuh cinta padanya."
"Apakah adik tak lagi mencintai kakak?"
"Bukan tak lagi mencintai, tapi........adik menyayangi kakak dan adik tak lagi bisa membedakan apakah itu rasa cinta atau sayang atau membutuhkan. Adik hanya merasa terbiasa dengan adanya kakak. Tapi adik kehilangan rasa akan debaran jatuh cinta."
"Tak mungkin bisa merasakan jatuh cinta berulang - ulang. Bukankah itu berarti adik harus mencari cinta yang baru dan baru lagi terus menerus. Apakah itu yang adik ingin lakukan?" Aku duduk di kursi. ku lirik arloji ditanganku. Sudah pukul delapan dan berarti kalau lima menit lagi aku tak berangkat, aku bakal telat tiba di kantor.
"Tidak, adik bukan ingin seperti itu. Tapi untuk saat ini, itulah yang adik rasakan."
"Jadi adik lebih memilih bersamanya daripada bersama kakak?" Anggukan nya sama sekali tak membuatku semakin lega, aku menghela napas. Tak tahu harus berkata apalagi.
"Maaf kak."
"Adik belum tentu bahagia bersamanya. Pikirkan lah lagi." Aku masih berusaha mengyakinkannya. Tapi dia begitu teguh dengan pendiriannya. Dan sebelum aku pergi ke kantor, dia masuk kekamar dan membawa kopernya. Rupanya semalam tanpa sepengetahuanku dia sudah mempersiapkan semuanya. Dia pamit dan sekali lagi meminta maaf. Dia pergi dan aku masih mematung. Hari itu aku tidak masuk kantor.

Lima bulan yang lalu setelah kepergiaannya aku gigih mencarinya. Menungguinya di kampus, mencoba mengyakinkannya lagi akan kebersamaan kami. Aku juga berjumpa dengan wanita yang telah merebutnya dari sisinya. Dnegan marah wanita itu bilang aku jangan lagi mendekati pacarnya. Dulu aku lah yang terlalu dingin dan mengacuhkannya begitu saja, jadi jangan lagi berharap agar dia kembali padaku. Itu perkataan wanita itu dan dia hanya diam. Selama sebulan penuh aku tak menyerah. Mengirimnya sms, menghubunginya, mencarinya dan terus, terus berusaha. Tapi dia sama sekali tak membalas sms ku atau mengangkat teleponku. Terakhir kuhubungi, nomornya telah tak aktif lagi. Dia pun tak ada dimana - mana lagi. Di kampus dia tak pernah terlihat lagi. Kata temannya dia telah lama tak masuk kuliah. Aku kehilangan jejaknya. Sebulan dan aku putus asa. Pekerjaanku kena imbas, kacau sekacau hatiku. Boss marah besar dan mendampratku habis - habisan. Memberiku surat teguran dan kalau aku masih kacau dia tak segan - segan memecatku walau aku telah sepuluh tahun lebih berjasa padanya.

"Sudahlah, jangan seperti ini kawan. Aku yang sedih melihatmu begini." Sahabatku menangis melihat keadaanku.
"aku bingung harus bagaimana. Aku sengsara kawan. Rasanya hidupku selesai begitu saja."
"Sudah, sudah. Ku mohon bangkitlah. Kamu akan benar - benar mati kalau begini terus. Ingat bukan hanya dia hidupmu, masih ada keluargamu, masih ada aku sahabatmu."
"Tapi......." Sahabatku tak menunggu jawabanku, dia langsung menarik tanganku dan membawaku pergi. Pergi kesuatu tempat yang aku bahkan tak tahu untuk apa. Kami sampai di suatu rumah kecil dengan perkarangan luas. Tampak disitu anak - anak yang......ya ampun, mereka semua cacat. Tapi tak ada semburat kesedihan diwajah mereka. Mereka malah terlihat sangat ceria.
"Lihat anak - anak itu. Mereka cacat tapi mereka ingin hidup. Bagi mereka cacat bukan penghalang. Kamu lihat anak yang memakai kursi roda itu, yang rambutnya agak panjang. Dia juara olympiade Fisika. Lalu anak perempuan kecil yang memakai tongkat itu, dia penulis berbakat. Cerpennya sudah banyak dicetak di majalah anak - anak. Dan bukan hanya mereka berdua, tapi semua anak - anak ini berbakat. Cacat bukan pilihan mereka tapi mereka juga tak menjadikan itu alasan agar hidup mereka terpuruk." Setelah melihat semua itu, sahabatku membawaku pulang. Dan tak berkata apalagi sepanjang perjalanan pulang. Dia tahu aku pasti mengerti apa tujuannya membawaku kesana dan terima kasih teman untuk membuka mataku.

Setelah melihat panti asuhan yang merawat anak - anak cacat, aku bangkit kembali. Berusaha melupakan kenangan pahit walau susah. Aku bekerja dengan tekun juga jadi rajin berkunjung ke panti asuhan itu. Sahabatku rupanya adalah salah satu pengurus panti itu. Dan baru sekarang aku tahu. Betapa aku telah terpaku pada duniaku sendiri hingga mengabaikan semua hal. Menata ulang hidupku kembali. Mengosongkan rumah kontrakan, pindah kerumah kontrakan yang lebih kecil. Lebih menghargai hidupku. Menghapus semua jejak tentangnya agar tak lagi terpuruk dalam kesedihan.

Lalu hari ini tiba, dia kembali dengan linangan air mata. Meminta maaf padaku dan berucap menyesal telah meninggalkan ku, semua yang telah dia lakukan hanya terdorong emosi sesaat. Tapi bukankah seharusnya kata - kata itu dia ucapkan lima bulan yang lalu. Aku menggeleng. Sudah terlambat. Bukan karena aku pendendam, aku sudah memaafkannya. Dia terus menangis. Sahabatku juga disitu. Sahabatku diam, tak berkata apa. Terlihat jelas kesedihan diwajahnya. Semakin lama aku disini semakin tak rela aku pergi. Ya, semua telah terlambat. Semalam setelah lembur sampai larut malam demi mengejar deadline, aku mengendarai mobil dengan tubuh lelah. Sampai tak sadar lampu telah berubah menjadi merah, aku terus menyetir dan sebuah sepeda motor melintas tepat dihadapanku. Aku kaget dan membanting setir. Mobil ku berputar oleng dan menabrak pembatas jalan. Mobilku hancur begitu pula diriku. Aku tewas seketika. Dia dan sahabatku masih belum beranjak dari kuburanku, padahal para pelayat telah lama pergi.
Sudah terlambat dan aku harus pergi sekarang, jiwaku bukan milik dunia ini lagi sekarang.