Setelah mengcopy memori mayat sesuai dengan
permintaan kepolisian, Profesor Tano mengusap wajahnya dengan tangan lalu
berpaling pada tiga orang polisi dihadapannya.
"Sepertinya hari ini aku tidak bisa
membawa kalian menjelajahi memori mayat ini."
" mengapa begitu?" tanya salah
seorang polisi.
"kadang ada rahasia yang memang tak
harus diungkapkan meski kematian lah jalan satu - satunya."
"Tapi kami tak mungkin tidak membuat
laporan apa pun tentang kematian mayat ini dan profesor pasti tahu siapa mayat
ini."
"Sebenarnya aku baru tahu setelah
mengcopy memori tadi. Aku bukan penggemar politik. Begini saja, biar aku yang
bicara langsung dengan Jendral dan Jendral yang akan mengambil keputusan mau
mempublikasikannya atau tidak."
"Sepertinya ini benar - benar memori
yang tak bagus ya prof." Jendral yang memang berada diantara ketiga polisi
itu menghela napasnya. Raut lelah jelas terpancar diwajahnya.
"Baiklah Prof, sepertinya saya tak punya
pilihan lain." Jendral dan Profesor Tano berjalan keluar dan menuju ruang
kosong.
"Tadi aku memang bilang akan
menceritakan, tapi sebaiknya anda saksikan sendiri dan simpulkan" Tanpa
menunggu jawaban, Profesor Tano langsung membawa Jendral menuju memori mayat.
Kamis.....berarti dua hari lagi aku akan
berjumpa dengan Raka. Hem.....sebaiknya aku mengenakan pakaian formal. Bukankah
minggu lalu Raka bilang ingin melihatku dalam balutan kemeja, tapi sepertinya
kemeja itu tak akan bertahan lama karena Raka akan langsung melucutinya dalam
hitungan detik. Ah....membayangkan itu saja sudah membuatku terangsang. Untung
saja tidak ada orang lain diruanganku. Ini lah enaknya menjadi Manager.
"tok-tok" Setelah ketekukan itu,
Ayah masuk. Begitulah Ayah, meski dia Direktur tapi dia tetap sopan. Kalau saya
sebagai Direktur saja tidak sopan bagaimana dengan karyawan saya? itu yang Ayah
bilang.
"Sibuk nak?" Dan sampai saat ini
Ayah masih menyebutku dengan nak.
"Tidak Yah. Ada apa?"
"Tadi Ayah baru bertemu dengan Alex, dan
katanya jajak pendapat yang diselenggarakan Majalah Tempo, Ayah berada diurutan
pertama. Bukankah itu berita bagus Nak." Senyum sumringah Ayah membuatku
ikut tersenyum. Tentu saja aku tahu siapa Alex, dia adalah Kepala tim sukses
Ayah. setahun lagi pemilu akan diadakan, dan Ayah adalah salah satu calon
Presiden. Tentu saja aku bangga.
"Hebat Yah. Lawan - lawan Ayah pasti
merasa kesal sekarang."
"Hahaha...kamu benar Nak. Tapi ini kan
hanya jajak pendapat dan yang ikut pasti hanya para pembacanya saja."
"anggap saja ini bonus Yah. Hal yang
menggembirakan jangan dibuang." Ayah langsung mengangguk setuju.
"Oh ya Nak, Alex juga melaporkan
sesuatu. Dan Ayah sebenarnya sangat ingin tak mempercayainya, tapi Alex meminta
Ayah untuk bertanya saja padamu secara langsung." Ayah berhenti bicara dan
memandangiku. Apa maksud perkataan Ayah?
"Siapa Raka, Nak?"
Deg.....jantung ku langsung berdetak kencang
dan sialnya wajah kaget ku sudah menjelaskan semuanya. Ayah mengaitkan jari -
jari tangannya. Sikunya diletakan di atas meja.
"Dengar Nak, Ayah tahu dengan pasti
kalau kamu mendukung Ayah seratus persen. Berhati - hatilah, Alex saja bisa
tahu apalagi saingan Ayah. Kamu pasti tak ingin Ayah dijatuhkan dengan gosip
murahan." Setelah berkata begitu Ayah bangkit dari kursi dan berjalan
kearah pintu. Sebelum membuka pintu, Ayah tiba - tiba berbalik dan bilang
"Oh ya Nak, kata Bunda malam minggu ini kamu harus makan dirumah. Om dan
Tante Bowo, juga putri mereka, Rani akan datang makan malam. Jangan lupa
itu."
"Ya Yah." Seperginya Ayah, aku
langsung lemas. Bagaimana bisa Alex tahu hubunganku dengan Raka? Sial....benar
- benar sial.
"Elang Raja Kusuma, kamu tahukan kita
sudah seminggu tak bertemu, bagaimana bisa kamu bilang Sabtu ini kita tak bisa
bertemu?" Aku tahu pasti Raka marah, tapi tak mungkin aku tidak mengikuti
perintah Ayah.
"Sayang, dengar. Ayah sepertinya,
bukan...Ayah sudah tahu hubungan kita."
"Bukankah itu bagus, berarti Raja Kusuma
senior menyetujui hubungan kita."
Aku tahu itu hanya ejekan Raka.
"Sayang, tolong lah. Sabtu nanti Ayah
menyuruhku untuk makan dirumah. Om dan Tante Bowo serta anak mereka akan datang
makan malam."
"Coba ku tebak, ya pasti kamu akan
dijodohkan. Selamat ya." Aku menghembuskan napas putus asa. Raka sangat
susah dibujuk kalau sudah kesal.
"sayang, dengar, aku akan ke hotel
begitu makan malam selesai." Terpaksa aku mengeluarkan kata - kata itu
walau aku tak tahu akan sampai jam berapa acara makan malam berakhir.
"Coba saja tak datang, maka jangan
pernah temui aku lagi." Setelah berkata begitu, Raka langsung menutup teleponnya.
Setidaknya satu masalah sudah selesai. Tinggal menyelesaikan masalah malam
minggu nanti.
Jam sudah menunjukan pukul sembilan dan
sepertinya acara masih lama berakhir. Bunda malah menyuruhku membawa Rani
melihat halaman belakang rumah kami yang asri. Bunda juga tak lupa berbisik
agar aku tak menyia - nyiakan kesempatan.
Dan disinilah aku, menemani Rani. kulirik
sekali lagi jam pergelangan tanganku.
"Sepertinya Kak Elang punya janji lain
ya?" pertanyaan Rani membuatku segera mengalihkan pandangan kearahnya.
"Dari tadi Rani perhatikan Kak Elang
berulang kali melihat jam." Mungkin gerak - gerik ku terlalu mencurigakan,
hingga dia bisa menebaknya.
"Ya, janji yang kubuat minggu lalu.
Hanya tidak enak rasanya membatalkan janji."
"Pasti teman kencan kak Elang kecewa.
Wanita cantik itu pasti kesal."
"Eh? wanita? bukan kok. Saya cuma
janjian dengan teman sekolah saya dulu dan dia seorang pria." Aku
tersenyum, setidaknya aku tak berbohong. Raka memang Pria, meskipun dia bukan
teman sekolahku.
"oh....Rani salah paham." Wajah nya
langsung bersemu merah. Gadis lugu ini sepertinya bisa membantuku menyelesaikan
acara malam ini.
Dengan bantuan Rani yang tak tega melihatku
frustasi melanggar janji, acara malam itu pun selesai. Rani bilang pada
orangtuanya kalau dia pusing dan ingin pulang. Setelah itu aku langsung
meluncur ke hotel dimana Raka menginap. Pukul sepuluh lewat lima belas menit
aku tiba. Disambut dengan wajah cemberut Raka.
"Aku kira kamu kekenyangan sampai lupa
ada seseorang yang sedang menunggu."
"Bagaimana mungkin aku lupa denganmu
sayang." Aku langsung memeluk Raka. Meski masih cemberut, dia tak menolak
ketika ku peluk dan kucium lehernya.
"geli sayang." Kata Raka manja.
"Dan sayang ganteng sekali malam
ini." Benarkan tebakanku, Raka pasti senang melihatku mengenakan kemeja.
"Hanya malam ini saja gantengnya?"
aku menyusupkan tangan ke dalam kaos ketat Raka. mengelus perut ratanya.
"hem....entahlah." Raka mendekat
bibirnya ke bibirku. Aku langsung melumatnya. Tangan Raka bergerak turun kearah
selangkanganku, mengelus dan membuat gairahku bangkit.
Malam itu kami saling melucuti, memuaskan
dahaga setelah satu minggu tak bertemu. Raka.....sungguh aku mencintaimu.
Aku menjelaskan banyak hal pada Raka. Awalnya
dia protes ketika kubilang kami akan jarang bertemu. Mungkin sebulan sekali
atau malah lebih dari sebulan. Raka tahu betul aku sangat menghormati Ayah.
"Terima kasih sayang, atas
pengertiannya."
"aku tak akan rela jika sayang nanti
menikah dengan si Rani."
"Tapi dengan aku menikah, tidak akan ada
lagi yang akan curiga dan sayang harus mendekati Rani. Biar Rani yang bakal
mempekerjakan sayang dirumah kami."
"belum menikah saja, sayang sudah
menyebut Rani dengan kami. huh..."
"hahaha....ayolah sayang, kamu adalah
stylist paling hebat dan seorang Rani pasti membutuhkan mu." Ku cium bibir
Raka dan dia balas menciumku. Sepertinya rencana kami akan berjalan lancar.
Ternyata rencanaku berjalan sangat lancar.
Sudah kuduga Rani tergila - gila padaku. Tanpa perlu perjuangan, Rani sudah
bertekuk lutut. kedua keluarga tentu saja sangat senang. Mereka mengusulkan
untuk mengadakan acara pertunangan, aku menolak. Aku ingin langsung menikah
saja. Awalnya Ayah curiga, tapi aku berhasil mengyakinkan Ayah. Maka enam bulan
dari perkenalan, rencana pernikahan kami pun disusun. Sudah dua bulan lebih aku
tak bertemu Raka. Bahkan untuk meneleponnya saja sangat sulit. Raka yang
bekerjastylist disebuah rumah mode tak selalu berada disatu tempat, kadang
malah dia berada diluar negeri. Betapa aku sangat merindukan Raka. Dan pagi ini
aku sangat bahagia ketika Raka menghubungiku.
"Sayang, sudah dibelikan majalah -
majalah yang berisi stylist arahan ku?"
"Tentu saja sayang, dan majalah itu
sudah sengaja ku letakkan di mobil Rani."
"Sepertinya rencana kita akan berjalan
lancar. ah, sayang....aku sangat merindukanmu Elang ku."
"Aku juga merindukanmu sayang. sangat
dan sangat, Raka ku sayang." Percakapan kami diakhiri dengan panggilan
boarding pesawat Raka. Dia akan terbang ke Singapore lalu dilanjutkan ke Paris.
Demi aku, Raka rela melepaskan pekerjaannya yang hebat itu dan itu membuatku
makin mencintainya dan tak rela kehilangannya.
Lalu berita itu datang. Berita yang memporak
- porandahkan rencana kami. Berita itu tersebar dimana - mana. Aku bahkan bisa
membaca dengan jelas nama Raka di layar televisi sebagai korban.
Pesawat yang ditumpangi Raka mengalami
kecelakaan, pesawat itu terbakar ketika baru mendarat di bandara. Masih belum
jelas apa penyebabnya. dari puluhan orang yang luka - luka, Raka tidak termasuk
salah satunya. Tapi Raka termasuk korban yang meninggal dunia. Aku kalap,
langsung menelepon memastikan. Membooking pesawat pertama yang terbang ke
Singapore, tapi Alex mencegahku pergi.
"kalau anda pergi sekarang, maka lawan
Pak Raja bakal mendapat apa yang mereka mau. Mereka sudah memata - mataimu dan
mereka juga pasti tahu anda akan ke Singapore."
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"saya saja bisa tahu, apalagi mereka.
Yang mati biarlah mati, setidaknya anda bisa mendoakannya tenang." Begitu
perkataan Alex selesai, aku langsung menghadiahinya pukulan diwajahnya.
Dia menghapus darah dibibirnya.
"saya sama sekali tak berniat menolong
anda. Pak Raja sudah sangat membantu saya dan saya tak ingin cita - cita Pak
Raja tak terwujud apalagi oleh anaknya sendiri." Alex lalu pergi
meninggalkanku sendiri di ruang kantor ku. Aku menghantam meja dengan
kepalantanganku. Bahkan untuk melihat kekasihku yang meninggal saja aku tak
sanggup. Betapa lemahnya. Selama ini Raka sudah banyak berkorban dan apa yang
bisa kulakukan? mungkin nanti pemakamannya juga tak bisa kuhadiri.
Raka......mengapa kamu begitu cepat pergi?
padahal rencana kita sebentar lagi akan berhasil. Tidak, aku tak peduli
larangan Alex, berani benar dia mengaturku. Aku berjalan keluar dan menuju
parkiran. Membawa mobilku membela lautan kendaraan dan bergegas menuju bandara.
Tiba - tiba telepon ku berbunyi. Dari Alex.
"Sudah saya bilang, saya tak akan
biarkan siapa pun menghancurkan cita - cita Pak Raja, bahkan anaknya
sendiri." Perkataan Alex selanjutnya tak dapat lagi aku dengar karena sebuah
truck datang kearahku. Aku tak sempat lagi menghindar. Setidaknya meski aku
mati, aku akan bertemu lagi dengan Raka.
Penglihatan itu selesai. Jendral mengusap
peluh yang mengucur dari dahinya.
"memang memori yang sulit prof. Tapi
bagaimanapun saya harus memberitahu Pak Raja. Dia sahabat saya dan dia juga
yang meminta anda untuk dilibatkan."
"Sepertinya aku sangat terkenal
ya."
"bisa dibilang begitu. Terima kasih
banyak prof."
"sama - sama."
Aku Profesor Tano, pemecah masalah
dikepolisian. Si pencopy memori mayat, itulah keahlianku. Kadang memori mayat
yang ku copy tidak selalu berisi kenangan yang indah, banyak rahasia yang
tersimpan dan tidak semua rahasia itu harus diungkapkan. Kudengar dari Jendral,
Pak Raja menutup kasus kematian anaknya dengan kecelakaan lalu lintas. Tapi Pak
Raja tidak membiarkan begitu saja Alex. Betapa pun setianya Alex, tapi Elang
tetap adalah anaknya.
“Jadi apa yang terjadi dengan Alex? Bukan kah
kalau dia mati seharusnya sudah masuk ke wilayah kepolisian?” Itu pertanyaan ku
pada Jendral. Tapi Jendral menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Alex tidak ada dan saya juga tidak
tahu dimana dia sekarang. Ada saatnya polisi tidak bisa ikut campur.”
Begitulah, hanya itu yang diceritakan Jendral. Bagiku semua itu tak masalah.
Meski aku mengetahui memori mayat tapi aku juga menghormati para mayat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar