Di
sekolah anak yang paling diingat adalah anak yang pintar lalu anak yang bandel
bahkan anak yang pendiam dan penyendiri juga selalu diingat. Bagaimana dengan
saya? saya termasuk golongan yang biasa - biasa saja. Tidak pintar, tidak
bodoh, tidak nakal, tidak pendiam, tidak juga periang. Dan mungkin hanya
beberapa teman yang mengingat keberadaan saya. Selama dua belas tahun saya
menjalani bangku sekolah dengan seperti itu. Begitu pula waktu kuliah. Lulus
tepat waktu dengan nilai yang bisa dikatakan tidak jelek juga tidak bagus -
bagus sekali. Dan di dunia kerja saya juga menjadi staff accounting yang
prestasinya biasa - biasa saja. Mengerjakan apa yang ditugaskan, pulang dan
datang tepat waktu. Tidak menonjol, biasa saja.
Lalu
bencana datang mengacaukan hidup biasa dan damai saya. Bos besar yang sudah tua
memutuskan untuk pensiun dan menyerahkan bangku kepemimpinan pada anak semata
wayangnya. Tapi sayangnya kemampuan Bos kecil tak sebagus Bos besar. Dia
bertindak sesuka hati dan akhirnya satu tahun kemudian, perusahaan dinyatakan
bangkrut. Kami para pegawainya terpaksa diPHK. Kasihan Bos besar, seharusnya
dia bisa hidup tenang dimasa pensiunnya tapi ini malah harus memikirkan hutang
yang telah dibuat anaknya. Salah Bos besar juga terlalu percaya pada anaknya.
Saya
sudah jadi pengangguran selama kurang lebih sepuluh bulan. Bukannya tak mencari
kerja, malah setelah diberhentikan kerja dari sana saya sudah bekerja ditiga
perusahaan yang berbeda. Tapi baru bekerja sebentar saya sudah menyerah dan
berhenti. Tidak ada yang senyaman bekerja di perusahaan lama. Dan tawaran
pekerjaan datang dari kakak sepupu saya merubah hidup saya.
"Jadi
bodyguard? gak salah Kak?"
"Iya
Del, kamu kan kekar terus ada basic thai boxing juga. Cocok banget."
"Tapi
kak, saya kan sarjana ekonomi, masak jadi bodyguard."
"Ya
enggak apa - apa Del, daripada kamu nganggur. Bukankah sudah tiga bulan kost mu
nunggak? emangnya kamu mau diusir dan harus pulang kerumah?" Kak Mira tahu
saja apa yang sedang saya alami sekarang dan tentu saja saya tidak mau pulang
kerumah.
"Memangnya
siapa yang mesti saya lindungi Kak?"
"LAILA
JACKMAN!!!!"
"Siapa
dia?"
"Ya
ampuuuuun, kamu tidak tahu siapa Laila Jackman? kemana aja selama ini? Dengar
ya Della, Laila Jackman itu model internasional keturunan Indonesia Australia.
Punya agensi model paling terkenal dan besar di Indonesia. Model - model di
agensinya bukan hanya bekerja di Indonesia tapi di luar negeri. Dan kamu pasti
ngiler liat kecantikan dia." Aku hanya menyengir mendengar penjelasan
panjang lebar dari Kak Mira.
"Menjadi
bodyguard seorang Laila Jackman itu merupakan suatu kehormatan. Dia sempat
hampir menjadi juri di Asia's Next Top Model, tapi karena kesibukannya dia
membatalkan rencananya. Jadinya Nadya Hutagalung yang menggantikan dia."
"Orang
seterkenal dia kenapa mencari bodyguard amatiran Kak? Dia kan bisa menyewa jasa
bodyguard profesional."
"Justru
itu Del. Dulu dia pernah menyewa jasa bodyguard profesional tapi mengecewakan.
Bodyguard itu memang melindungi dia, tapi tidak dengan rahasianya. Bodyguard
itu membocorkan rahasia Laila. Karena itu dia trauma dan meminta bantuan Andre
untuk mencarikan bodyguard yang bisa dipercaya. Andre menceritakan itu ke Kakak
dan Kakak teringat kamu." Saya menggaruk kepala yang tak gatal. Andre itu
suami Kak Mira dan saya baru ingat kalau Kak Andre bekerja disalah satu agensy
model sebagai Manager Finance. Sepertinya tidak ada salahnya menerima pekerjaan
ini, daripada menganggur.
Di
sinilah saya berada, di dalam ruang kantor Laila Jackman. Benar saja kata Kak
Mira, saya ngiler melihat kecantikannya. Mungkin tingginya 178 cm dan itu
berarti jika kami berdiri bersama saya hanya sebahunya saja.
"Jadi
kamu adik iparnya Andre? oke, begini, saya percaya terhadap Andre, jadi saya
yakin dia memberi pekerjaan ini padamu karena dia juga percaya padamu. Tugasmu
tak sulit, jangan biarkan infotaiment, penggemar, penjahat atau siapapun
mendekati saya tanpa saya mengizinkan. Kamu ikut kemana saya pergi, tapi kalau
saya sudah pulang kerumah, kamu bebas pulang atau kemana saja. Pekerjaan ini
tidak ada jam kerjanya dan satu lagi, kamu tidak boleh membocorkan apa pun
tentang saya pada media atau siapapun. Meski hanya hal kecil, seperti saya hari
ini sarapan apa, tidak ada yang boleh kamu beritahu. Masalah gaji, pasti Andre
sudah membicarakan denganmu. Jadi hari ini kamu bisa mulai bekerja. Oh ya, jika
satu saja kesalahan kamu perbuat, maka detik itu juga kamu saya pecat."Apa
dia tak perlu menarik napasnya setelah berkata begitu panjang? Ya, sebenarnya
tadi Kak Andre sudah menjelas kurang lebih tentang tugasku dan juga beberapa
ultimatum dari si Laila, hanya saja saya baru tahu Laila itu benar - benar
ratu.
Hari
pertama saya langsung ambruk begitu menyentuh tempat tidur. Benar - benar
melelahkan. Bukan karena banyak media atau penggemar yang menganggu tapi karena
mengikuti ritme kerja si bos Laila yang seakan tak pernah berhenti. Dia bisa
berada di tiga tempat dalam waktu sejam dan pindah lagi kelokasi - lokasi lain.
Sepertinya saya harus lebih rajin olaraga agar badan tetap fit.
"dreeet......dreeeet............dreeeeet.........."
Bunyi getar handphone yang memang sengaja saya silentkan terdengar menganggu
ditelinga. Saya melirik jam dinding, baru pukul lima dini hari. Siapa yang
sepagi ini menelepon saya? tanpa melihat layar handphone saya langsung
mengangkat telepon itu.
"Halooo..........."
"Saya
sudah telepon lebih dari tiga kali, kenapa baru sekarang diangkat?" Ya
ampun....bukankah ini suara Laila? Langsung saya lihat layar telepon dan benar
saja, terpampang jelas tulisan "Boss baru"
"Maaf
Bu, saya tadi tidak dengar."
"ya
sudah lah. Dengar, dua jam lagi saya akan berangkat ke Singapore. Dan semua
tiketmu sudah diurus. Setengah jam lagi kamu harus sudah di rumah saya. Tak
perlu membawa pakaian, saya cuma sebentar di sana" Begitu saja, dia
langsung memutuskan telepon. Saya yang belum tersadar sepenuhnya terbengong
sepuluh detik dan setelah itu saya langsung terburu - buru bangun, mandi dan
berganti pakaian. Segera berangkat ke rumah Bos.
Benar
- benar pekerjaan gila. Sudah seminggu saya bekerja dan sepertinya saya harus
makan lebih banyak makanan yang menambah tenaga. Waktu Kak Andre menyebutkan
gaji, saya pikir Kak Andre memberikan angka besar itu karena saya adik iparnya,
ternyata karena pekerjaan gila - gilaan seperti ini. Tapi hari ini saya melihat
sisi yang berbeda dari Laila Jackman. Dia baru saja membaca berita tentang
dirinya di koran. Pemberitaan yang tidak begitu mengenakan. Dia langsung
membuang koran tersebut. Terlihat benar dia berusaha acuh tapi ada sesuatu
dimatanya yang membuat saya tahu berita itu menganggunya. Saya bukan orang yang
pandai menghibur apalagi mencari cara agar orang yang sedih tak lagi bersedih,
jadinya saya hanya bisa diam dan melakukan tugas seperti biasanya. Seharusnya seperti
itu. Tapi ketika seharusnya saya mengantar Laila ke hotel untuk pertemuan
dengan klien (saya juga merangkap supir Laila karena lagi – lagi dia tak bisa
mempercayai supirnya) dari kaca spion saya melihat Laila menitikkan airmata. Deg.....perasaan
saya langsung terenyuh. Ya, dia manusia juga. Bisa merasa down. Dan tanpa
diminta saya membawa mobil ketempat yang berlainan dengan arah yang seharusnya
kami tuju. Laila tampaknya tak menyadari karena dia sedang melamun. Saya terus
memacu mobil tak peduli kalau tindakan ini bisa saja membuat saya dipecat. Ini tindakan
reflek yang pertama kali saya lakukan.
“Ini
dimana? Della, kamu tersesat atau bagaimana?” Pertanyaan itu langsung keluar
dari mulut Laila begitu saya menghentikan laju mobil.
“Ini
taman. Sebenarnya tempat wisata. Tapi karena bukan musim liburan, sepertinya
hanya kita yang berkunjung disini.”
“Iya,
saya tahu ini taman, tapi bukan itu maksud pertanyaan saya. Kalau kita tidak
kembali sekarang, kita bisa terlambat meetingnya.”
“Saya
sudah mengabari ke Susi kalau Ibu sakit, jadi meetingnya diundurkan sampai Ibu
sehat. Maaf kalau saya lancang.” Susi adalah sekertaris Laila dan tadi saya
mengabari melalui sms pembatalan pertemuan di hotel.
“Kamu......berani
– beraninya kamu..........” Saya sudah menduga reaksi yang seperti ini, tapi
Laila hanya mengucapkan kata itu. Dia kemudian diam dan masuk ke dalam mobil. Membuka
kaca jendela dan menghardik.
“Ayo
cepat, kita balik lagi ke kantor!”
“Biasanya
kalau sedang suntuk dan tidak tahu harus berbuat apa, saya selalu kesini. Di ibukota
jarang ada tempat asri seperti ini. Taman ini bagi saya sudah merupakan surga. Menghilangkan
penat pikiran.” Saya tak mempedulikan hardikan Laila, malah bercerita tentang
kegemaran saya mengunjungi taman ini. Laila terdiam, lalu keluar dari mobil dan
berjalan meninggalkan saya. Dia duduk di bangku taman dan menatap pepohonan,
mengacuhkan saya yang masih berdiri di samping mobil. Senyum di bibir Laila
walau hanya sebentar, membuat saya lega. Lega bukan karena berpikir dia tak
akan memecatku tapi lega karena setidaknya bisa membantunya menghilangkan
perasaan sedih.
Saya
tahu saya lancang dan saya juga sudah mempersiapkan diri untuk dipecat. Tapi saya
tertegun ketika saat mengantar Laila kerumahnya, dia berucap seperti ini;
“Besok
kita akan berangkat ke Lombok. Persiapkan bagasimu, karena kita akan liburan
seminggu disana.”
“Liburan?”
Dia tak menjawab hanya tersenyum lalu melangkah masuk dan meninggalkan saya
yang masih kebingungan. Malamnya saya langsung menelepon Susi, mengonfirmasi
tentang liburan yang dibilang Laila.
“Saya
juga tidak tahu apa yang terjadi. Ibu meminta saya membatalkan semua janji
selama seminggu dia berlibur dan liburan ini hanya boleh diketahui saya dan Pak
Andre. Selama saya bekerja bersama Ibu, baru kali ini dia berlibur. Sebenarnya Ibu
sakit apa sih Del?”
“Eh....mungkin
Ibu hanya ingin liburan. Refresing.” Saya juga bingung harus menjawab apa
karena saya sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Setelah berbasa – basi sedikit,
saya mengakhiri telepon dan terduduk di tempat tidur. Ah sudahlah, semakin
dipikirkan semakin tak menemukan jawaban. Sebaiknya segera berkemas. Kalau seandainya
Laila berubah jadi gila dan membuang saya di Lombok, setidaknya Kak Andre tahu
saya juga ikut bersama Laila ke Lombok dan dia bisa menyelamatkan saya. Hanya seandainya,
mudah – mudahan kami memang berlibur.
Lombok,
pulau yang indah. Laut biru, matahari cerah, pasir putih. Laila yang sedang
berenang dan saya yang hanya bisa duduk dipasir pantai sambil memperhatikannya.
Dia tadi mengajak berenang tapi saya menggeleng. Bukan karena segan berenang
bersama bos tapi saya memang tak bisa berenang. Dulu saya merasa tak perlu
sibuk belajar berenang, tapi kali ini saya merasa kesal karena tak bisa
berenang. Hanya bisa menikmati air laut dari tepiannya. Laila tampak betul
menikmati aktifitasnya di Lombok. Tubuh putihnya tak berusaha ia lindungi dari
teriknya matahari di Lombok. Cantik.....seandainya saja dia bukan bos,
eh....pikiran apa ini? Sepertinya saya melantur.
“Del,
kamu belum punya pacar?” Pertanyaan itu langsung membuatku tersedak ketika
sedang menikmati dinginnya orange juice.
“Eh...belum
Bu.”
“Panggil
saja Laila. Bukankah umur kita tak beda jauh. Lagipula kita sedang berlibur,
bukan sedang bekerja.” Laila berucap dengan santai, sangat berbeda sekali
dengan Laila yang biasanya memerintahkan melakukan ini itu. Glek......dia jadi
semakin cantik dan saya sempurna terposana. Bingung harus berkata apa, diam –
diam saya meliriknya yang duduk bersebelahan dengan saya.
“Disini
enak ya Del. Apalagi bukan musim liburan, turis yang datang hanya beberapa
orang.”
“Iya
Bu, eh Laila.” Mendengar suara gugup saya, Laila tersenyum dan menatap saya.
“Kamu
merasa canggung dengan saya? Ya wajar sih. Tapi untuk saat ini anggap saja kita
ini teman liburan. Ya Del.” Saya hanya bisa mengangguk mengiyakan.
“Terima
kasih Del. Untuk taman yang kemarin.” Setelah berkata itu, Laila langsung
bangkit dan melanjutkan berenang dilaut yang indah.
Kami
memang sedang berlibur sebagai teman, dan saya senang – senang saja menikmati
liburan yang menyenangkan seperti ini. Tapi saya lupa mempersiapkan hati saya
agar tak jatuh hati pada bos saya sendiri. Oke, saya memang lesbian tapi saya
juga tak sembarang jatuh cinta. Sudah lima tahun lebih semenjak berpisah dengan
kekasih saya yang terakhir. Dan saya tak menyangka bisa jatuh cinta pada Laila.
Gila saja jatuh cinta dengan Laila. Kami bagai langit dan bumi. Dan tentu saja
dia itu tak akan jatuh cinta dengan saya. Tapi apa mau dikata, sikapnya selama
liburan ini benar – benar membuat saya terpesona. Dia begitu terbuka dan banyak
tersenyum. Kami berjalan sambil saling mengenggamkan tangan menyusuri tepi
pantai, mengoleskan sunblok dibadannya, mendengarnya tertawa ketika saya
menceritakan lelucon, benar – benar liburan yang menyenangkan. Tapi tetap saja
semua harus berakhir ketika kami harus kembali kerutinas biasanya. Kembali menjadi
bodyguard dan memanggil Laila dengan sebutan Ibu.
Kantor
yang sama, Laila yang sama. Ini hanya perasaan saya atau senyum itu masih sama
seperti waktu liburan itu?
“Del,
akhir – akhir ini saya menerima banyak surat penggemar yang aneh. Saya rasa ini
orang yang sama. Nanti kamu minta suratnya ke Susi, saya khawatir ini pengemar
yang gila.”
“Baik
Bu.” Saya sudah akan melangkah keluar dari kantor Laila, tiba – tiba kata –
katanya menghentikan langkah saya.
“Del,
kita kan hanya berdua, jangan formal begitu. Laila, bukan Ibu. Oh ya, nanti tolong minta OB buat kan Kopi untuk saya ya”
“Eh....iya. Baik Laila”
"Terima kasih sayang." Setelah berkata begitu Laila kembali menekuni layar laptopnya dan saya langsung melangkah pergi dengan degup jantung yang berdetak kencang. Ya ampun,
saya benar – benar jatuh cinta dan boleh kah saya berharap kalau Laila juga
jatuh cinta pada seorang Della sang bodyguard? Dia menyebutkan sayang pada saya, tapi bisa jadi itu hanya ucapan sekedar tak lebih. Hati, tolong jangan buat saya
gila seperti ini. Sudah saya bilang saya orang yang biasa – biasa saja, saya
tak akan berani menyatakan cinta pada Laila apalagi berharap lebih. Sepertinya rasa
ini harus saya nikmati sendiri. Haaahhhh........benar – benar tidak tahu harus
berbuat apa.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar