Rabu, 20 Maret 2013

Memori Mayat



 


Meski dingin menyeruak tapi keringatku tetap keluar. Bau kamar mayat ini sama sekali tak kusukai, terlebih yang memanggil adalah Esta. Dia orang dikepolisian yang paling tidak pernah meminta bantuanku dan aku ragu dia mempercayai kemampuanku.
“Hari yang panas atau kau gugup bertemu denganku?” Pertanyaan Esta sama sekali tak mengurangi keringat yang bercucuran ditubuhku.
“Kalau kamu bisa mendengar suara teriakan para mayat ini pasti kamu akan berkeringat lebih banyak dariku.”
“Ah, bukankah kau dukun yang hebat? Masak tidak bisa mengatasinya.”
“Aku bukan dukun. Sudah kubilang dari pertama kali kita bertemu. Panggil aku profesor. Aku ini penemu jawaban untuk kalian.” Aku mendengus kesal. Esta selalu saja mengangguku. Aku baru saja selesai membantu kepolisian untuk pembunuhan berantai dan langsung dipanggil kesini. Kekuatan ku belum pulih benar dan sekarang Esta menghinaku.
“Ok, aku minta maaf profesor. Kita langsung saja. Mayat yang ingin kudapat jawabannya adalah yang ini.” Esta menunjuk ke ranjang yang diisi dengan mayat yang ditutupi dengan kain.
“Aku memang terikat kontrak untuk membantu kalian para polisi yang sudah buntu, tapi setidaknya hormati aku. Aku juga manusia yang bisa lelah.”
“Begini saja prof, kalau kau bisa segera memberiku jawaban, nanti akan kutraktir makan dimanapun kau mau.” Tawaran yang sama sekali tak menggiurkan. Esta pasti tahu aku vegetarian dan selalu memasak makanan ku sendiri. Makanan luar tak terjamin kehigienisannya. Aku menghela napas, Esta bukan jenis polisi yang bisa ditolak.
“Baiklah, ayo kerja.” Kusingkap kain penutup mayat dan tetap bergidik ngeri menyaksikan tubuh beku diatas ranjang.

Namaku Toja Bramasa. Sejak dari kecil aku sudah memiliki kemampuan itu, kemampuan yang menurut orang lain aneh dan mengerikan. Tapi ada juga sebagian yang menilai kemampuanku adalah anugerah. Dan bagiku kemampuan adalah kemampuan, ini bakatku dan tentu saja akan kupergunakan sebaik mungkin. Juga untuk mencari uang. Polisi pertama yang kutolong adalah Jenderal Atmojo. Dia kewalahan menemukan pembunuh menteri luar negeri, dan dia mendengar kemampuanku dari pembantu rumahnya, pembantu rumahnya mengetahui tentang aku dari temannya dan temannya mengetahui dari....ah sudahlah, akan panjang ceritanya jika kuperjelas secara terperinci. Mau tahu kemampuanku? Aku bisa membaca mayat. Maksudku, jika kupegang tubuh mayat itu, semua memorinya akan tercopy dalam ingatanku dan aku akan tahu semua rahasia yang dibawa mati oleh sang mayat. Semenjak itu aku menjadi senjata rahasia dikepolisian. Setiap mereka mengalami jalan buntu, aku lah penemu pintu jalan buntu itu. Tentu saja aku tak pernah diumumkan kepada media maupun masyarakat. Polisi tak ingin tercoreng wajahnya dengan meminta bantuan “paranormal”. Sejak awal aku tak suka dipanggil paranormal, dukun atau sejenisnya, maka aku meresmikan diri dengan panggilan profesor. Itu lebih enak didengar.

Aku sudah selesai mengcopy ingatan mayat itu dan Esta terlihat menunggu.
“Aku sudah tahu pembunuhnya. Kalau boleh tahu, mengapa tugas yang satu ini mesti dirahasiakan dan penagihan langsung ke kamu?”
“bukankah ini rahasia, jadi sebaikanya kau tetap tak perlu tahu.”
“Baiklah, Aku pulang. Toh ini bukan pembunuhan tingkat pertama. Ini hanya pembunuhan biasa dan lagi mayat ini hanya akan ditangisi sedikit orang.” Aku berjalan menjauh dari Esta dan si mayat.
“Oke, oke. Akan kuceritakan. Tapi tidak disini. Sebaiknya kita cari tempat yang lebih nyaman untuk bercerita.” Setuju. Teriakan mayat – mayat yang lain masih membahana dikepalaku. Tempat lain sepertinya akan lebih menenangkan.

Cafe tua dengan musik country yang mengalun lembut juga tamu yang sedikit memang pilihan yang tepat. Tapi tidak dengan makanannya.
“Hanya teh? Yakin? Aku yang traktir. Tenang saja.” Aku tak menjawab perkataan Esta. Dia tahu kebiasaanku. Dan cengirannya menjelaskan kalau dia sengaja menggodaku.
“Begini, kamu tahu semua tentang mayat perempuan tadi kan? Jadi kamu juga tahu kalau dia lesbiankan. Dan dia juga memiliki banyak pacar. Salah satu diantaranya adalah mantan pacarku. Aku hanya ingin tahu apakah mantan pacarku adalah pembunuhnya.” Esta langsung ketopik pembicaraan. Aku hargai keterus terangannya tapi aku agak kecewa karena ternyata Esta adalah lesbian. Bagaimana pun Esta sudah kumasukan kandidat untuk menjadi istriku dan sepertinya dia harus kuhapus dari daftar kandidat.
“Siapa nama kekasihmu?”
“Iana.”
“Bukan dia pembunuhnya. Oke, begini saja, bagaimana kalau kamu sendiri yang melihat siapa pembunuhnya. Aku tak yakin bisa menjelaskan secara tepat pembunuh ini dan mungkin kamu pernah melihatnya di buku daftar penjahat kalian.” Tanpa menunggu jawaban Esta, aku langsung menggenggam tangan kanan Esta dan mulai mentransfer memori mayat tadi.

Kami berdua meluncur bebas menuju memori mayat perempuan tadi. Terlihat kamar kecil dengan jendela yang juga kecil, mayat tadi ah bukan, perempuan tadi duduk diatas ranjangnya. Sedang bertelepon ria dengan suara manja yang dibuat – buat.
“Iana sayang....jangan pikirkan yang lain. Aku butuh kamu. Iya sayang. Aku ingin menjadi bagian hidupmu.” Mendengar nama Iana, Esta menampilkan raut tak senang. Kami berpindah lagi ketempat lain, kamar yang lain.
“Sudah ku bilang dia yang menggodaku. Dia yang meminta nomor ku. Terserah kalau kau tak percaya lagi padaku.” Perempuan itu terlihat marah.
“aku bingung. Kamu bilang begitu sedangkan dia bilang begini. Sebenarnya siapa yang benar?”
“Terserah! Kalian semua sama saja. Semua hanya mau menyakiti perasaanku. Iana brengsek, dan kau Nami bajingan.”
“Aku ini pacarmu, dan seharusnya aku yang marah.”
Pertengkaran sepasang kekasih yang tak enak dilihat. Maka kami pindah lagi. Kali ini dikamar perempuan itu lagi. Dia sedang sendirian. Memikirkan rencana. Kali ini Iana sudah hampir jatuh kepelukannya, sedangkan Nami tetap menjadi kekasihnya. Berulang kali perempuan itu mengirim sms ke Iana. Menceritakan tentang kesepiannya, mengumbar cintanya pada Iana.
“Bisa kita langsung kehari dimana pembunuhan itu terjadi?” Esta mengerutkan keningnya. Kenangan perempuan itu tentang mantannya ternyata sangat menganggu Esta. Aku tersenyum maklum.
“Tunggu sebentar, aku ingin menunjukan satu hal lagi, baru kita kehari pembunuhan.” Maka kami terbang lagi menyusuri memori. Tampak seorang gadis kecil menangis sendirian. Ayah ibunya beserta kakaknya telah meninggal akibat kecelakaan tabrakan mobil. Gadis itu sendirian. Umurnya mungkin tak lebih dari sepuluh tahun. Neneknya datang dan memeluk gadis itu. Ya, gadis itu adalah si mayat perempuan. Setelah melihat kesedihan itu aku membawa Esta menuju memori yang sebenarnya dia ingin lihat.
Taman itu sepi. Malam sudah sangat larut. Perempuan itu terlihat sedang berbicara dengan seorang pria, bukan bicara sebenarnya tapi bertengkar.
“Sudah kubilang tak ada yang gratis didunia ini. Kau sudah mendapat susuk pengasih dariku. Dan sudah banyak kukenalkan wanita – wanita yang sekarang menjadi kekasihmu. Nah, sekarang mana bayarannya?”
“Aku lagi enggak ada uang bang. Nanti pasti ku bayar.”
“Jangan omong kosong. Janji – janji saja yang kau berikan! Porotin saja pacar – pacarmu.”
“Tidak bang, mereka pacar ku bukan gudang uangku!”
“Banyak omong kau. Kalau gitu, tubuhmu saja yang jadi bayaran.”
“Jangan sinting bang. Apa abang mau aku teriak biar abang dihajar massa?”
“Hahaha............ini sudah tengah malam, Cuma kita berdua disini.” Sepertinya perempuan itu langsung menyadari situasi, tanpa menjawab perkataan si lelaki, perempuan itu langsung berlari. Tapi reaksi lelaki itu tak kalah cepat. Dia langsung mengejar perempuan itu. Tak lupa mengeluarkan golok yang tadi diselipkan dipunggungnya. Amarah menguasai lelaki itu. Ketika berhasil mengejar perempuan itu, dia langsung menikam punggung dan kepala korbannya. Perempuan itu menggelepar kesakitan lalu perlahan – lahan memorinya pun selesai.

Kami kembali kesuasana cafe. Esta mengeluarkan keringat dingin yang lebih banyak dari ku.
“Kamu tahu siapa lelaki itu?” Esta menganggukkan kepalanya.
“Dia preman di taman Kembang. Sudah banyak kejahatan yang dia lakukan. Aku akan segera menangkap dan mengintrogasi dia.” Esta bangkit sambil mengeluarkan uang dari dompetnya dan meletakkan dimeja.
“Terima kasih prof. Tagihannya nanti alamatkan saja kerumahku.”
“Ngomong – ngomong, apakah kamu akan kembali pada Iana?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Esta terdiam sejenak, lalu menghela napasnya.
“Untuk saat ini tidak. Dia sudah melakukan kesalahan yang menurutku fatal. Iana memang telah meminta maaf, tapi ia tak pernah tegas mengusir perempuan itu dari hubungan kami. Tapi entah nanti. Biarlah waktu yang menjawabnya.”
“Perempuan itu jangan kamu salahkan. Kamu lihat sendirikan apa yang dialaminya.”
“Ya dan tidak. Aku tak menyalahkan dia yang kesepian tapi aku menyalahkan dia yang memanfaatkan kesepiannya.”
“Kadang manusia mempunyai pilihan nya sendiri. Seperti aku yang terus memilih hidup meski harus berhubungan dengan kematian.”
Kami berjalan beriringan keluar dari cafe. Malam sudah larut rupanya. Esta menawarkan untuk mengantarku tapi aku menolak. Aku senang berjalan ditengah sepinya malam. Lagipula apartemenku tak jauh lagi.
“Sekali lagi terima kasih prof. Dan oh ya, jika aku nanti mati jangan coba – coba mengambil memoriku ya.” Esta nyengir lalu berlalu dari hadapanku. Polisi selalu begitu, bisa menertawakan getirnya hidup. Dan aku pun begitu. Anak yatim piatu yang masih bertahan. Dan menyukai kesendirian. Sepertinya Esta harus kuberi diskon karena telah berani membeberkan rahasianya. Aku tersenyum dan bersiul bahagia.