Rabu, 04 Juli 2012

Kenangan

Jihan duduk di atas batang pohon yang melintang seperti jembatan. Di bawahnya terlihat air sungai mengalir dengan tenang. Sesekali daun kering ikut berlayar bersama arus sungai. Jihan menggoyang – goyangkan kakinya, menikmati semilir angin yang tercipta di hutan tempat dia menyepi. Berbagai macam bayangan melintas tak tentu arah dalam benaknya. Jihan tertawa kecil mengingat tentang Sita, ya Sita, nama yang terus berdengung ditelinganya. Sosok seorang gaids mandiri yang bertubuh kecil tapi cekatan tak pernah absen hadir dipikirannya. Mengingat Sita, Jihan bisa membayangkan Sita pasti merutuk kesal pada Jihan. Sita akan protes karena Jihan memilih tempat menyepi di hutan yang letaknya pun entah dibelantara mana, bukannya di tepi pantai seperti yang sering diceritakan dinovel – novel romantis atau drama – drama percintaan.

“Huh...dasar perusak suasana. Seharusnya Gil mengingatku dengan cara berjalan di tepi pantai. Memandangi ombak yang melompat – lompat, duduk di atas pasir pantai menanti matahari terbenam. Gil gak romantis!” Pasti kata – kata itu yang bakal keluar dari mulut Sita kalau tahu dimana Jihan sekarang. Ah Sita, mengapa dirinya begitu sulit melupakan gadis itu. Enam bulan lebih Sita berpetualang dari satu tempat ke tempat lain tapi sosok Sita tetap setia mengikutinya. Sakit untuk diingat tapi bahagia menyadari kenangan tentang Sita masih abadi. Panggilan sayang mereka pun masih Jihan ingat. Jihan memanggil Sita dengan Cil yang dia ambil dari kecil sedangkan Sita juga tak mau kalah dia memanggil Jihan Gil yang berasal dari kata Gila. Jihan hanya tertawa mendengar asal muasal kata sayangnya dan membiarkan Sita memanggilnya Gil.

“Gil, lihat hujan. Duh enaknya.” Jihan berjalan mendekati Sita yang sedang duduk memandangi hujan dari kaca jendela.
“Apanya yang enak? Hujan itu menyusahkan Cil.”
“huh, Gil payah. Hujan itu buat suasana jadi romantis.”
“Romantis dari Hongkong! Duh Cil, kamu itu udah kebanyakan baca novel cinta – cintaan tu. Coba bilang dimana letak nya sisi romantis si hujan?”
“Payah, payah, payah. Gil payah! Gini ya Gil sayang, ceritanya ni ada sepasang kekasih yang sudah lama berpisah, mereka berjalan dari sisi yang berlawanan lalu hujan turun. Dengan payung masing – masing mereka tetap berjalan dan sampai diatas jembatan. Keduanya pun bertemu dan saling terkejut, tapi cinta mereka lebih kuat, maka dilemparnya payung mereka dan dibawah hujan mereka berpelukan. Tamat.” Cil mengakhiri ceritanya dengan dramatis dan membuat Gil tertawa terbahak – bahak.
“Hahahahahaahaha......... lucu – lucu. Hahahahaha..........” Mendengar tawa Gil, Cil jadi cemberut.
“Hahhahahaha...ups sorry sayang, hanya saja cerita Cil menggelikan. Coba bayangkan saat mereka hujan – hujanan sambil  berpelukan ada petir datang menyambar. Gosong deh tu. Terus kalo setelah mereka hujan – hujanan jadi sakit, demam lalu keduanya masuk kerumah sakit, lalu demamnya malah tambah parah dan tidak sembuh, mati dua – duanya. Lah, mana coba sisi romantisnya, wong semua akhirnya sedih kayak gitu.”
“Gil gila, sinting. Manusia gak romantis! Edan!” Dan perkataan Sita hanya disambut tawa kemenangan Jihan.
Kenangan seperti itu selalu membuat jantung Jihan berdenyut tak menentu. Seperti ada bongkahan batu yang menggencet jantungnya. Jihan bangkit dari duduknya, berdiri di atas batang pohon lalu berjalan menuruni batang pohon itu. Jihan membalikkan badannya, memandangi arus sungai yang masih tenang. Angin kecil menyentuh wajahnya, seakan berbisik padanya. Jihan tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya. Sita, cinta yang telah lama memilih berpisah dengannya pasti sekarang sedang menikmati siang dengan suaminya sambil mengelus – elus perut yang telah membesar karena kehamilan. Jihan melangkah, membiarkan bayangan Sita mengikutinya tapi tak membuat dirinya terlena oleh kesedihan. Petualangan ini mungkin dimulai dari perpisahan mereka tapi petualangan ini juga mimpi Jihan yang telah terwujud. Tak ada penyesalan. Biar semua menjadi kenangan seperti air sungai yang terus mengalir.