Kamis, 13 Juni 2013

Kebahagian



Penyesalan, selalu datang terlambat. Bukankah selalu seperti itu? Aku ingin berbagi tentang penyesalan yang paling menusuk hatiku, penyesalan yang harus kutanggung seumur hidup tapi setidaknya aku bisa belajar banyak dari penyesalan ini, bukan hanya terpuruk dan menangis menyesal, tapi bangkit dan berusaha menatah kembali kehidupanku.

Saat itu aku berdiri diluar club sambil mengetatkan jaket. Dinginnya malam di Philadelphia menusuk kulitku tapi aku bernapas dengan lega setelah menghirup udara segar.
“Suara bising mobil lebih melegakan daripada suara musik didalam.” Suara itu membuatku berpaling dan mendapati dirinya sedang merangkul badan dengan lengannya. Dia rupanya berbicara sendiri dan sepertinya dia sama denganku, tidak menyukai suasana club yang menurutku bising dan gelap.
“ya, itu benar.” Kataku menyetujui ucapannya meski dia tak sedang berbicara denganku. Dia melihat kearahku dan tersenyum.
“Coba katakan apa alasanmu sehingga bisa keluar dari club? sakit kepala?” Senyumnya miring dan aku suka melihat senyum seperti itu.
“Sepertinya alasan kita sama.” Lalu kami tertawa bersama.
“Khasa, Khasa Kapoor.” Dia memperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Lana Henning.” Aku mengerutkan dahi mendengar namanya. Namanya sangat berbau India tapi dia dengan rambut coklat serta warna biru matanya tentu tak bisa membuatku berpikiran dia orang India dan sepertinya dia mengerti kerutan didahiku.
“Nama India bukan, bingung? Orangtua angkatku dari India dan tentu saja namaku jadi seperti itu. Dan kalau boleh aku tebak, namamu, nama Hawaii?” Senyum miring lagi.
“Ya, kamu benar. Ibu ku orang Hawaii.” Semenjak perkenalan kami, tingkat pertemanan kami pun berlanjut.

Khasa, dia cantik dengan kacamata dan rambut tak lebih dari sebahu juga tentunya senyum miringnya. Aku begitu saja menyukainya. Setelah malam itu, kami bertukar nomor telepon. Mengirim pesan singkat dan bertelepon juga bertemu saat kesibukan tak menyita waktu kami. Pekerjaan ku di klinik kecantikan juga berjalan lancar. Pelanggan bertambah banyak. Rekan usaha sekaligus rekan kerja ku Caroline juga akhir – akhir ini tampak bahagia. Aku baru mengetahui berita lamaran kekasihnya setelah melihat cincin melingkar dijari manisnya.
“Jadi kapan pesta itu akan diadakan?” Aku bertanya turut senang dengan kebahagian Caroline.
“Dua bulan lagi. Itu memang cepat tapi Adam mau kami cepat menikah. Katanya tak perlu repot, kami hanya akan mengadakan pesta sederhana dan Lana, kamu harus menjadi pengiring pengantinku.”
“Oh...itu kehormatan bagiku Caroline, sekali lagi selamat.” Kami berpelukan. Sungguh bahagia melihat sahabatmu bahagia. Klinik kecantikan kami, Lana & Caroline kami bangun dengan susah payah dan tentu saja nama Caroline yang merupakan senior serta guruku membawa pengaruh baik untuk usaha kami.
“Siapa wanita yang kemarin datang menjemputmu? Kamu belum menceritakannya Lana.” Tiba – tiba pertanyaan Caroline membuatku tersenyum. Caroline tahu kalau aku pecinta wanita dan menceritakan Khasa padanya membuatku sedikit tersipu.
“Namanya Khasa. Dia teman baruku. Dia baik.”
“Ow...sepertinya dia lebih dari teman. Coba ceritakan tentang ‘teman’ barumu sayang. Aku begitu penasaran. Seorang Lana yang tertutup akhirnya punya teman kencan.” Caroline berkata sambil menekankan kata teman.
“Dia baik, seperti yang tadi kukatakan. Dia bekerja diperusahaan game, aku kurang paham tepatnya apa bagian pekerjaan dia tapi menurutnya dia dan teman – temannya membuat suatu game hidup dan disukai. Dia anak rumahan, menurut ceritanya dia tinggal bersama kedua orangtuanya tapi ya kamu tahu Caroline, aku belum pernah kerumahnya. Kami masih berkencan dan tentu saja aneh jika kami sudah saling mengunjungi keluarga kami.”
“Oh..dear, tentu saja. Tapi aku rasa kamu tinggal tunggu waktu. Senang melihatmu bahagia seperti ini. Dan jika si Khasa berani menyakitimu, beritahu aku, dia akan kubalas.” Perkataan Caroline membuatku terharu, dia memang sahabat terbaikku.

Malam ini seharusnya kami makan malam bersama, Khasa dan aku tentunya. Tapi Khasa menelepon saat aku masih berada diklinik.
“Maaf, sepertinya malam ini kita harus membatalkan makan malam kita. Hasyiiimmmm....” bersinnya yang keras membuatku tahu dia sedang sakit.
“Sebenarnya flu ini tidak terlalu menyulitkan ku untuk bertemu denganmu, tapi Mom sangat khawatir dan semenjak tadi pagi dia melarangku keluar bahkan meski hanya keluar ke pintu pagar untuk mengambil koran pagi.” Khasa melanjutkan kata – katanya.
“Ya, tidak apa – apa. Memang sebaiknya kamu beristirahat. Lain kali kita bisa makan malam bersama tentunya jika kamu sudah sembuh.” Dari telepon Khasa aku mendengar suara seorang wanita tapi kecil lalu Khasa sepertinya berkata sesuatu.
“Tidak Mom, aku belum menawarinya. Maaf itu tadi Mom, dia menanyakan mengapa kita tak makan malam disini saja.”
“Mengapa tidak?” tiba – tiba kata itu terlepas dari mulutku. Seketika aku menggigit bibirku karena tak sempat berpikir dulu sebelum berkata.
“Eh...kamu tidak keberatan kita makan dirumahku, Lana?” Suara itu meski terdengar serak akibat flu tapi aku bisa mendengar dengan jelas nada riangnya.
“Tidak, aku sama sekali tak keberatan. Tapi tentu saja jika orangtuamu tak keberatan aku ikut makan malam bersama.”
“Tentu saja Mom dan Dad tak akan keberatan. Sebentar, apa Mom, tidak...oh ayo lah Mom, buat apa? Em...Lana, Mom ingin berbicara, bolehkah?”
“eh...ya tentu saja.” Seketika rasa gugup melingkupi ku. Lalu suara keibuan dan ramah itu menyapaku.
“Halo Lana, apakabar? Maafkan putriku yang tidak sopan ini karena membatalkan janji makan malam kalian. Tapi sebagai penggantinya mau kah kamu makan malam bersama kami dirumah kami sayang?” suara ramah itu membuat rasa gugupku perlahan sirna.
“Ya, tentu saja. Saya sangat senang Mrs. Kapoor.”

Maka dengan taksi aku pergi kerumah Khasa sesuai dengan alamat yang dia berikan tadi sewaktu menelepon. Rumah bertingkat dua dan sederhana itu seketika membuatku nyaman. Aku membunyikan bel dan Khasa yang membukakan pintu.
“Apa aku terlambat?” tanya ku setelah melirik jam dipergelangan tanggaku sudah menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh.
“sama sekali tidak. Mom baru meletakkan makanan di meja makan. Dan Lana, kamu cantik sekali malam ini.” Pujian Khasa membuat pipiku bersemu merah. Dia mempersilahkan masuk dan mengenalkanku pada Mr. dan Mrs. Kapoor. Pasangan India terlihat jelas dari wajah mereka dan mereka sangat ramah. Kami menghabiskan makan malam dengan saling bertukar cerita dan tertawa bersama. Sungguh makan malam yang menyenangkan. Selesai makan, Khasa menarikku kekamarnya. Dia menyuruhku duduk diranjangnya dan dia sendiri mengambil sesuatu dari laci mejanya.
“Sebenarnya ini akan kuberikan malam ini jika kita jadi makan malam diluar.” Dia menyerahkan sesuatu berbentuk kotak panjang kecil. Aku menerimanya.
“Bukalah.” Katanya lagi. Aku membukanya. Gelang emas putih cantik tertata rapi dikotak yang baru kubuka.
“Ini....untukku?” tanya ku ragu dan senyum miring itu membuatku hangat seketika.
“ya, ini untukmu. Hanya hadiah kecil. Pakailah.” Dia mengeluarkan gelang itu dari kotak dan memintaku untuk memakainya. Aku memberikan lengan kiriku dan dia memasangkan gelang itu.
“terima kasih.” Kataku dan dia menatapku. Begitu dekat dan perlahan bibirnya memangut bibirku. Ciuman lembut dan hangat. Kami berciuman dan jantungku seakan mau meledak karena kebahagian ini.

Boleh kah kukatakan dengan bahagia kalau Khasa sekarang adalah kekasihku? Ah...tentu saja boleh bukan. Hari – hari ku dipenuhi Khasa dan juga orangtua Khasa. Mereka begitu baik, memperlakukanku seperti putri mereka. Dari cerita Khasa semenjak bayi dia sudah dia adopsi oleh orangtuanya dan dia tak tahu siapa orangtua biologisnya. Dia tak berniat mencari mereka karena baginya pasangan Kapoorlah orangtuanya yang sebenarnya. Khasa satu – satunya anak mereka dan aku bisa melihat dengan jelas kasih sayang diantara mereka. Mereka menerima Khasa yang menceritakan secara terus terang tentang orientasi seksualnya dan tak pernah mempermasalahkan itu. Kadang aku menginap dirumah Khasa dan kadang pula Khasa menginap diapartemenku. Bahagia rasanya saat bangun pagi ada yang mengecup dan memeluk. Dipernikahan Caroline, Khasa menemaniku dan disitu secara resmi aku memperkenalkan Khasa pada Caroline. Semua berjalan lancar dan bahagia. Pagi itu, aku yang baru bangun terkejut tidak mendapati Khasa yang biasanya tidur disebelah kananku, lalu saat aku berpaling kesebelah kiri Khasa ada disitu. Berlutut dibawah tempat tidur dengan tangan memegang kotak cincin.
“Lana Henning, bersediakah kamu menikah denganku sayang?” lamaran itu segera membuat mataku terbuka sepenuhnya dan aku langsung bangun dan duduk ditempat tidur.
“ya, aku bersedia, sangat bersedia.” Mendengar ucapanku, Khasa langsung bangkit dan memelukku. Mengecup wajahku yang menangis terharu. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri beberapa teman dan keluarga. Mom dan ayah tiriku juga datang dari California. Kami memutuskan menyewa sebuah rumah didekat rumah orangtua Khasa.
“Oh...sayang, terima kasih mau menerima putriku yang berantakan ini.” Nyonya Kapoor atau yang sekarang aku panggil Mama Devi mengecup pipiku.
“Mom, seharusnya Mom bilang selamat karena sudah mendapat putri yang sempurna seperti aku.” Khasa bercanda dan Mama Devi tertawa kecil.
“Ya sayang, kamu memang putri paling sempurna kami. Dengar, bahagiakan Lana dan kamu juga pasti bahagia sayang.” Mama Devi mengecup pipi Khasa.

Pernikahan kami berjalan dengan baik. Bahagia dan kadang pertengkaran kecil tapi bisa kami atasi. Suatu hari saat sedang makan dirumah orangtua Khasa, ucapan Mama Devi membuat kami memutuskan hal besar.
“Apakah kalian berpikir untuk mempunyai anak?” pertanyaan itu membuatku dan Khasa saling memandang dan malamnya kami pun berdiskusi tentang hal itu. Kami pun sepakat mempunyai anak, meski usia pernikahan kami baru berjalan tiga bulan tapi keinginan mempunyai anak rupanya sama – sama terbesit dihati kami. Dengan bantuan dunia medis yang canggih saat ini, kami melakukan inseminasi. Donor sperma dan sel telur Khasa ditanamkan didalam rahimku. Kebahagiaan lain menunggu kedatangan anak kami.

Usia kandungan memasuki tujuh bulan saat Khasa menceritakan berita itu.
“Boss senang melihat pendapatan perusahaan meningkat drastis dan sebagai hadiahnya dua minggu lagi semua staffnya akan dia bawa berlibur ke Bali selama seminggu”
“Pulau Bali? Yang di negara mana itu...em...Indonesia ya?”
“Ya sayang, jumlah kami semua tak lebih dari sepuluh orang tapi termasuk aku ada tiga orang yang tak bisa ikut. Berarti tinggal tujuh orang, tapi Boss pasti membawa istri dan kedua anaknya.”
“Kenapa tak ikut saja sayang?” waktu itu aku bertanya dengan enteng.
“Tidak mungkin aku ikut sayang. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dengan perut sebesar ini. Kamu bisa melahirkan kapan saja.”
“Ini baru tujuh bulan sayang. Masih ada waktu dua bulan. Pergi lah sayang, aku tidak apa – apa. Tidak enak menolak Boss yang sudah baik hati mengajak berwisata. Lagipula, Papa dan Mama Devi ada didekat rumah. Kalau kamu kahawatir, aku bisa menginap disana selama kamu pergi ke Bali sayang.” Khasa terlihat senang tapi juga ragu. Setelah kuyakinkan akhirnya dia setuju untuk pergi. Tapi bukan izin ku yang membuatku menyesal. Pertengkaran kami sebelum kami pergi lah yang membuatku menyesal.
“Besok aku sudah akan berangkat, bagaimana mungkin kamu menyuruhku membatalkannya. Tiket sudah dibeli. Tentu Boss tidak akan senang kalau aku tidak jadi pergi.”
“Tapi aku ingin kamu disini saja, jangan pergi.”
“Ayolah sayang, dulu kamu yang menyuruhku pergi, sekarang kamu melarang.”
“Kamu lama sekali, seminggu sayang. Aku akan kesepian.” Sifat manja dan plin planku keluar dan membuat jengkel Khasa. Aku memang kadang selalu bersikap begitu. Mengiyakan disuatu waktu tapi dilain waktu bisa mentidakkan. Selalu itu yang membuat kami bertengkar dan begitu pula malam itu. Keesokan paginya Khasa mengantarku kerumah orangtuanya. Meski kami tak lagi bertengkar tapi aku tahu Khasa masih kesal dengan sikap ku semalam. Dia berangkar ke bandara diantar Papa Kapoor.

Berita itu datang bagai sambaran petir. Baru dua hari Khasa di Bali tapi berita mengejutkan itu membuat lututku lemas. Hari itu Khasa menelepon. Disana malam sedang disini masih pagi.
“Bagaimana keadaanmu sayang? Sehatkan?”
“Sehat sayang. Sekarang lagi di hotel atau dimana?”
“Sekarang kami sedang direstoran. Katanya disini makanannya terkenal enak dan kami akan mencicipi masakan Bali disini. Mom dan Dad juga sehatkan?” kami bertukar kabar tapi setelah itu suara dentuman keras dan teriakan kaget membuat percakapan kami terhenti. Aku bisa mendengar teriakan Khasa dengan jelas tapi setelah itu hanya bunyi telepon terputus. Aku panik dan berusaha menelepon balik tapi tak dapat tersambung. Mama Devi dan Papa Kapoor juga ikut panik. Segera mencari tahu apa yang terjadi. Siangnya kami baru berhasil mendapat kabar. Restoran tempat Khasa dan rekan – rekannya berada telah dipasang bom dan bom itu meledak. Belum bisa dipastikan berapa korban yang selamat. Aku pingsan seketika itu. Mama Devi langsung menangis. Kami dicekam kepanikan luar biasa.

“Aku harus kesana.” Kata ku ketika tersadar. Tapi sepertinya anak kami pun mengalami kepanikan, perutku bergejolak. Aku langsung memegangi perutku. Darah mengucur dan dengan cepat aku dibawa kerumah sakit.
“Biar Papa yang pergi. Lana dan Mama disini saja.” Papa Kapoor akhirnya memutuskan. Dan aku tak dapat menolak. Bayi kami meminta keluar. Hari itu juga aku masuk keruang operasi bersamaan dengan Papa Kapoor yang mengurus penerbangan paling awal ke Indonesia. Mama Devi menemaniku. Tujuh setengah bulan, bayi lelaki kami lahir dengan bobot kecil dan harus dirawat di inkubator karena lahir sebelum waktunya. Kesehatanku terus saja menurun. Menunggu berita dari Papa Kapoor yang tak kunjung membuahkan titik terang. Hari pertama tiba Papa Kapoor memang langsung menelepon tapi belum bisa memberikan kabar bagus.
“Papa tidak tahu, belum bisa dipastikan siapa saja yang selamat. Korban sudah dilarikan kerumah sakit terdekat, tapi pengecekan data korban masih berlangsung. Akan Papa kabari lagi. Ini Papa akan kerumah sakit.” Telepon itu berakhir. Hari ketiga setelah bersusah payah mencari akhirnya Papa Kapoor menemukan Khasa tapi bukan berita bagus yang dia beri.
“Khasa sudah Papa temukan. Dia ada dirumah sakit lain. Tapi...............” Papa Kapoor terdengar enggan melanjutkan kata – katanta. Telepon yang sengaja Mama Devi speakerkan agar aku bisa turut mendengar membuatku menarik napas tertahan. Ranjang rumah sakit yang seharusnya hangat serasa seperti bongkahan es yang sedang kutiduri.
“Kondisi Khasa belum bisa dipastikan. Dokter menyuruhku menunggu. Khasa kehilangan banyak darah dan luka yang berat.” Helaan berat napas Papa Kapoor membuat aku dan Mama Devi menitikkan airmata. Kami takut membayangkan, kami takut apa yang kami cemaskan terjadi. Khasa yang begitu kami cintai harus mengalami semua hal buruk ini.
“Apa Khasa tidak bisa dibawa pulang Pa?” Mama Devi bertanya diantara isak tangisnya.
“Tidak Ma, Papa sudah menanyakannya. Kata dokter itu terlalu berbahaya. Kondisi Khasa belum stabil dan membawanya sejauh itu akan sangat berbahaya.” Menunggu, itu saran yang bisa dokter berikan. Kami semua harus menunggu. Sungguh aku begitu sedih, mengapa aku bertengkar dengan Khasa saat dia akan pergi berlibur, mengapa aku izinkan dia pergi, mengapa harus Khasa, mengapa dan mengapa terus membayangiku.

Dua tahun sudah berlalu semenjak kejadian tragis di Bali. Aku sekarang sedang berada dihalaman belakang rumah mertuaku, dengan Ananda Kapoor, anakku dan Khasa. Ananda, sesuai dengan nama yang diberi Mama Devi sedang asik bermain dengan bolanya. Dia menendang dan berlari mengejar bola itu. Mama Devi menyusulku dan duduk disampingku.
“Lihat, Ananda cepat sekali besar ya. Sepertinya baru kemarin dia belajar berjalan.”
“Ya, waktu cepat berlalu dan sebentar lagi Ananda akan sekolah, lalu tumbuh besar dan mencari pasangan hidupnya lalu pergi meninggalkan kita.”
“Hahaha...Lana, setiap Ibu selalu mencemaskan hal itu, tapi percayalah anak kita meski pergi jauh tapi tetap akan pulang kepasa kita.” Ucapan Mama Devi membuatku tersenyum. kebahagian terbesar tentu melihat anak kita tumbuh dan bahagia. Bunyi suara pintu belakang dibuka membuat Ananda menghentikan permainannya. Dia langsung berlari menghambur kepelukan Grandfanya yang datang.
“Hahaha....mau terbang tinggi – tinggi sayang.” Papa Kapoor mengendong Ananda tinggi – tinggi dan anakku tertawa riang.
“Dad, ingat pinggang Daddy. Ananda sudah semakin berat.” Khasa muncul dibelakang Papa Kapoor dan Papa Kapoor tertawa mendengar ucapan Khasa. Ya, Khasa Selamat. Dia pulang seminggu kemudian bersama Papa Kapoor. Meski kondisinya belum bisa dibilang bagus, Khasa bisa pulang dan dirawat dirumah sakit sini. Meski harus merelakan kaki kanannya, aku bahagia Khasa masih bisa bersama kami. Dengan kaki palsu yang sudah terbiasa Khasa gunakan, Khasa bisa berjalan dan melakukan aktifitas seperti biasa. Dia mengambil Ananda dari gendongan Kakeknya dan mengendong Ananda menuju tempatku dan Mama Devi duduk. Kejadian itu mungkin menjadi trauma yang buruk bagi kami saat itu tapi lama kelamaan kami sudah bisa menerimanya. Kami pun berencana ke Bali jika umur Ananda sudah lima tahun. Kebahagian kami rasanya tak pantas kami campurkan dengan trauma yang sudah berlalu dua tahun ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar