Penyesalan, selalu datang terlambat.
Bukankah selalu seperti itu? Aku ingin berbagi tentang penyesalan yang paling
menusuk hatiku, penyesalan yang harus kutanggung seumur hidup tapi setidaknya
aku bisa belajar banyak dari penyesalan ini, bukan hanya terpuruk dan menangis
menyesal, tapi bangkit dan berusaha menatah kembali kehidupanku.
Saat itu aku berdiri diluar club sambil
mengetatkan jaket. Dinginnya malam di Philadelphia menusuk kulitku tapi aku
bernapas dengan lega setelah menghirup udara segar.
“Suara bising mobil lebih melegakan
daripada suara musik didalam.” Suara itu membuatku berpaling dan mendapati
dirinya sedang merangkul badan dengan lengannya. Dia rupanya berbicara sendiri
dan sepertinya dia sama denganku, tidak menyukai suasana club yang menurutku
bising dan gelap.
“ya, itu benar.” Kataku menyetujui
ucapannya meski dia tak sedang berbicara denganku. Dia melihat kearahku dan
tersenyum.
“Coba katakan apa alasanmu sehingga bisa
keluar dari club? sakit kepala?” Senyumnya miring dan aku suka melihat senyum
seperti itu.
“Sepertinya alasan kita sama.” Lalu kami
tertawa bersama.
“Khasa, Khasa Kapoor.” Dia
memperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Lana Henning.” Aku mengerutkan dahi
mendengar namanya. Namanya sangat berbau India tapi dia dengan rambut coklat
serta warna biru matanya tentu tak bisa membuatku berpikiran dia orang India
dan sepertinya dia mengerti kerutan didahiku.
“Nama India bukan, bingung? Orangtua
angkatku dari India dan tentu saja namaku jadi seperti itu. Dan kalau boleh aku
tebak, namamu, nama Hawaii?” Senyum miring lagi.
“Ya, kamu benar. Ibu ku orang Hawaii.”
Semenjak perkenalan kami, tingkat pertemanan kami pun berlanjut.
Khasa, dia cantik dengan kacamata dan
rambut tak lebih dari sebahu juga tentunya senyum miringnya. Aku begitu saja
menyukainya. Setelah malam itu, kami bertukar nomor telepon. Mengirim pesan
singkat dan bertelepon juga bertemu saat kesibukan tak menyita waktu kami.
Pekerjaan ku di klinik kecantikan juga berjalan lancar. Pelanggan bertambah banyak.
Rekan usaha sekaligus rekan kerja ku Caroline juga akhir – akhir ini tampak
bahagia. Aku baru mengetahui berita lamaran kekasihnya setelah melihat cincin
melingkar dijari manisnya.
“Jadi kapan pesta itu akan diadakan?”
Aku bertanya turut senang dengan kebahagian Caroline.
“Dua bulan lagi. Itu memang cepat tapi
Adam mau kami cepat menikah. Katanya tak perlu repot, kami hanya akan
mengadakan pesta sederhana dan Lana, kamu harus menjadi pengiring pengantinku.”
“Oh...itu kehormatan bagiku Caroline,
sekali lagi selamat.” Kami berpelukan. Sungguh bahagia melihat sahabatmu
bahagia. Klinik kecantikan kami, Lana & Caroline kami bangun dengan susah
payah dan tentu saja nama Caroline yang merupakan senior serta guruku membawa
pengaruh baik untuk usaha kami.
“Siapa wanita yang kemarin datang
menjemputmu? Kamu belum menceritakannya Lana.” Tiba – tiba pertanyaan Caroline
membuatku tersenyum. Caroline tahu kalau aku pecinta wanita dan menceritakan
Khasa padanya membuatku sedikit tersipu.
“Namanya Khasa. Dia teman baruku. Dia
baik.”
“Ow...sepertinya dia lebih dari teman.
Coba ceritakan tentang ‘teman’ barumu sayang. Aku begitu penasaran. Seorang
Lana yang tertutup akhirnya punya teman kencan.” Caroline berkata sambil
menekankan kata teman.
“Dia baik, seperti yang tadi kukatakan.
Dia bekerja diperusahaan game, aku kurang paham tepatnya apa bagian pekerjaan
dia tapi menurutnya dia dan teman – temannya membuat suatu game hidup dan
disukai. Dia anak rumahan, menurut ceritanya dia tinggal bersama kedua
orangtuanya tapi ya kamu tahu Caroline, aku belum pernah kerumahnya. Kami masih
berkencan dan tentu saja aneh jika kami sudah saling mengunjungi keluarga
kami.”
“Oh..dear, tentu saja. Tapi aku rasa
kamu tinggal tunggu waktu. Senang melihatmu bahagia seperti ini. Dan jika si
Khasa berani menyakitimu, beritahu aku, dia akan kubalas.” Perkataan Caroline
membuatku terharu, dia memang sahabat terbaikku.
Malam ini seharusnya kami makan malam
bersama, Khasa dan aku tentunya. Tapi Khasa menelepon saat aku masih berada
diklinik.
“Maaf, sepertinya malam ini kita harus
membatalkan makan malam kita. Hasyiiimmmm....” bersinnya yang keras membuatku
tahu dia sedang sakit.
“Sebenarnya flu ini tidak terlalu
menyulitkan ku untuk bertemu denganmu, tapi Mom sangat khawatir dan semenjak
tadi pagi dia melarangku keluar bahkan meski hanya keluar ke pintu pagar untuk
mengambil koran pagi.” Khasa melanjutkan kata – katanya.
“Ya, tidak apa – apa. Memang sebaiknya
kamu beristirahat. Lain kali kita bisa makan malam bersama tentunya jika kamu
sudah sembuh.” Dari telepon Khasa aku mendengar suara seorang wanita tapi kecil
lalu Khasa sepertinya berkata sesuatu.
“Tidak Mom, aku belum menawarinya. Maaf
itu tadi Mom, dia menanyakan mengapa kita tak makan malam disini saja.”
“Mengapa tidak?” tiba – tiba kata itu
terlepas dari mulutku. Seketika aku menggigit bibirku karena tak sempat
berpikir dulu sebelum berkata.
“Eh...kamu tidak keberatan kita makan
dirumahku, Lana?” Suara itu meski terdengar serak akibat flu tapi aku bisa
mendengar dengan jelas nada riangnya.
“Tidak, aku sama sekali tak keberatan.
Tapi tentu saja jika orangtuamu tak keberatan aku ikut makan malam bersama.”
“Tentu saja Mom dan Dad tak akan
keberatan. Sebentar, apa Mom, tidak...oh ayo lah Mom, buat apa? Em...Lana, Mom
ingin berbicara, bolehkah?”
“eh...ya tentu saja.” Seketika rasa
gugup melingkupi ku. Lalu suara keibuan dan ramah itu menyapaku.
“Halo Lana, apakabar? Maafkan putriku
yang tidak sopan ini karena membatalkan janji makan malam kalian. Tapi sebagai
penggantinya mau kah kamu makan malam bersama kami dirumah kami sayang?” suara
ramah itu membuat rasa gugupku perlahan sirna.
“Ya, tentu saja. Saya sangat senang Mrs.
Kapoor.”
Maka dengan taksi aku pergi kerumah
Khasa sesuai dengan alamat yang dia berikan tadi sewaktu menelepon. Rumah bertingkat
dua dan sederhana itu seketika membuatku nyaman. Aku membunyikan bel dan Khasa
yang membukakan pintu.
“Apa aku terlambat?” tanya ku setelah
melirik jam dipergelangan tanggaku sudah menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh.
“sama sekali tidak. Mom baru meletakkan
makanan di meja makan. Dan Lana, kamu cantik sekali malam ini.” Pujian Khasa
membuat pipiku bersemu merah. Dia mempersilahkan masuk dan mengenalkanku pada
Mr. dan Mrs. Kapoor. Pasangan India terlihat jelas dari wajah mereka dan mereka
sangat ramah. Kami menghabiskan makan malam dengan saling bertukar cerita dan
tertawa bersama. Sungguh makan malam yang menyenangkan. Selesai makan, Khasa
menarikku kekamarnya. Dia menyuruhku duduk diranjangnya dan dia sendiri
mengambil sesuatu dari laci mejanya.
“Sebenarnya ini akan kuberikan malam ini
jika kita jadi makan malam diluar.” Dia menyerahkan sesuatu berbentuk kotak
panjang kecil. Aku menerimanya.
“Bukalah.” Katanya lagi. Aku membukanya.
Gelang emas putih cantik tertata rapi dikotak yang baru kubuka.
“Ini....untukku?” tanya ku ragu dan
senyum miring itu membuatku hangat seketika.
“ya, ini untukmu. Hanya hadiah kecil.
Pakailah.” Dia mengeluarkan gelang itu dari kotak dan memintaku untuk
memakainya. Aku memberikan lengan kiriku dan dia memasangkan gelang itu.
“terima kasih.” Kataku dan dia
menatapku. Begitu dekat dan perlahan bibirnya memangut bibirku. Ciuman lembut
dan hangat. Kami berciuman dan jantungku seakan mau meledak karena kebahagian
ini.
Boleh kah kukatakan dengan bahagia kalau
Khasa sekarang adalah kekasihku? Ah...tentu saja boleh bukan. Hari – hari ku
dipenuhi Khasa dan juga orangtua Khasa. Mereka begitu baik, memperlakukanku
seperti putri mereka. Dari cerita Khasa semenjak bayi dia sudah dia adopsi oleh
orangtuanya dan dia tak tahu siapa orangtua biologisnya. Dia tak berniat
mencari mereka karena baginya pasangan Kapoorlah orangtuanya yang sebenarnya.
Khasa satu – satunya anak mereka dan aku bisa melihat dengan jelas kasih sayang
diantara mereka. Mereka menerima Khasa yang menceritakan secara terus terang
tentang orientasi seksualnya dan tak pernah mempermasalahkan itu. Kadang aku
menginap dirumah Khasa dan kadang pula Khasa menginap diapartemenku. Bahagia
rasanya saat bangun pagi ada yang mengecup dan memeluk. Dipernikahan Caroline,
Khasa menemaniku dan disitu secara resmi aku memperkenalkan Khasa pada
Caroline. Semua berjalan lancar dan bahagia. Pagi itu, aku yang baru bangun
terkejut tidak mendapati Khasa yang biasanya tidur disebelah kananku, lalu saat
aku berpaling kesebelah kiri Khasa ada disitu. Berlutut dibawah tempat tidur
dengan tangan memegang kotak cincin.
“Lana Henning, bersediakah kamu menikah
denganku sayang?” lamaran itu segera membuat mataku terbuka sepenuhnya dan aku
langsung bangun dan duduk ditempat tidur.
“ya, aku bersedia, sangat bersedia.”
Mendengar ucapanku, Khasa langsung bangkit dan memelukku. Mengecup wajahku yang
menangis terharu. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri beberapa teman dan
keluarga. Mom dan ayah tiriku juga datang dari California. Kami memutuskan
menyewa sebuah rumah didekat rumah orangtua Khasa.
“Oh...sayang, terima kasih mau menerima
putriku yang berantakan ini.” Nyonya Kapoor atau yang sekarang aku panggil Mama
Devi mengecup pipiku.
“Mom, seharusnya Mom bilang selamat
karena sudah mendapat putri yang sempurna seperti aku.” Khasa bercanda dan Mama
Devi tertawa kecil.
“Ya sayang, kamu memang putri paling
sempurna kami. Dengar, bahagiakan Lana dan kamu juga pasti bahagia sayang.”
Mama Devi mengecup pipi Khasa.
Pernikahan kami berjalan dengan baik.
Bahagia dan kadang pertengkaran kecil tapi bisa kami atasi. Suatu hari saat
sedang makan dirumah orangtua Khasa, ucapan Mama Devi membuat kami memutuskan
hal besar.
“Apakah kalian berpikir untuk mempunyai
anak?” pertanyaan itu membuatku dan Khasa saling memandang dan malamnya kami
pun berdiskusi tentang hal itu. Kami pun sepakat mempunyai anak, meski usia
pernikahan kami baru berjalan tiga bulan tapi keinginan mempunyai anak rupanya
sama – sama terbesit dihati kami. Dengan bantuan dunia medis yang canggih saat
ini, kami melakukan inseminasi.
Donor sperma dan sel telur Khasa ditanamkan didalam rahimku. Kebahagiaan lain
menunggu kedatangan anak kami.
Usia kandungan memasuki tujuh bulan saat
Khasa menceritakan berita itu.
“Boss senang melihat pendapatan
perusahaan meningkat drastis dan sebagai hadiahnya dua minggu lagi semua
staffnya akan dia bawa berlibur ke Bali selama seminggu”
“Pulau Bali? Yang di negara mana
itu...em...Indonesia ya?”
“Ya sayang, jumlah kami semua tak lebih
dari sepuluh orang tapi termasuk aku ada tiga orang yang tak bisa ikut. Berarti
tinggal tujuh orang, tapi Boss pasti membawa istri dan kedua anaknya.”
“Kenapa tak ikut saja sayang?” waktu itu
aku bertanya dengan enteng.
“Tidak mungkin aku ikut sayang.
Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dengan perut sebesar ini. Kamu bisa
melahirkan kapan saja.”
“Ini baru tujuh bulan sayang. Masih ada
waktu dua bulan. Pergi lah sayang, aku tidak apa – apa. Tidak enak menolak Boss
yang sudah baik hati mengajak berwisata. Lagipula, Papa dan Mama Devi ada
didekat rumah. Kalau kamu kahawatir, aku bisa menginap disana selama kamu pergi
ke Bali sayang.” Khasa terlihat senang tapi juga ragu. Setelah kuyakinkan
akhirnya dia setuju untuk pergi. Tapi bukan izin ku yang membuatku menyesal.
Pertengkaran kami sebelum kami pergi lah yang membuatku menyesal.
“Besok aku sudah akan berangkat,
bagaimana mungkin kamu menyuruhku membatalkannya. Tiket sudah dibeli. Tentu
Boss tidak akan senang kalau aku tidak jadi pergi.”
“Tapi aku ingin kamu disini saja, jangan pergi.”
“Tapi aku ingin kamu disini saja, jangan pergi.”
“Ayolah sayang, dulu kamu yang
menyuruhku pergi, sekarang kamu melarang.”
“Kamu lama sekali, seminggu sayang. Aku
akan kesepian.” Sifat manja dan plin planku keluar dan membuat jengkel Khasa.
Aku memang kadang selalu bersikap begitu. Mengiyakan disuatu waktu tapi dilain
waktu bisa mentidakkan. Selalu itu yang membuat kami bertengkar dan begitu pula
malam itu. Keesokan paginya Khasa mengantarku kerumah orangtuanya. Meski kami
tak lagi bertengkar tapi aku tahu Khasa masih kesal dengan sikap ku semalam.
Dia berangkar ke bandara diantar Papa Kapoor.
Berita itu datang bagai sambaran petir.
Baru dua hari Khasa di Bali tapi berita mengejutkan itu membuat lututku lemas.
Hari itu Khasa menelepon. Disana malam sedang disini masih pagi.
“Bagaimana keadaanmu sayang? Sehatkan?”
“Sehat sayang. Sekarang lagi di hotel
atau dimana?”
“Sekarang kami sedang direstoran.
Katanya disini makanannya terkenal enak dan kami akan mencicipi masakan Bali
disini. Mom dan Dad juga sehatkan?” kami bertukar kabar tapi setelah itu suara
dentuman keras dan teriakan kaget membuat percakapan kami terhenti. Aku bisa
mendengar teriakan Khasa dengan jelas tapi setelah itu hanya bunyi telepon
terputus. Aku panik dan berusaha menelepon balik tapi tak dapat tersambung.
Mama Devi dan Papa Kapoor juga ikut panik. Segera mencari tahu apa yang
terjadi. Siangnya kami baru berhasil mendapat kabar. Restoran tempat Khasa dan
rekan – rekannya berada telah dipasang bom dan bom itu meledak. Belum bisa
dipastikan berapa korban yang selamat. Aku pingsan seketika itu. Mama Devi
langsung menangis. Kami dicekam kepanikan luar biasa.
“Aku harus kesana.” Kata ku ketika
tersadar. Tapi sepertinya anak kami pun mengalami kepanikan, perutku
bergejolak. Aku langsung memegangi perutku. Darah mengucur dan dengan cepat aku
dibawa kerumah sakit.
“Biar Papa yang pergi. Lana dan Mama
disini saja.” Papa Kapoor akhirnya memutuskan. Dan aku tak dapat menolak. Bayi
kami meminta keluar. Hari itu juga aku masuk keruang operasi bersamaan dengan
Papa Kapoor yang mengurus penerbangan paling awal ke Indonesia. Mama Devi
menemaniku. Tujuh setengah bulan, bayi lelaki kami lahir dengan bobot kecil dan
harus dirawat di inkubator karena lahir sebelum waktunya. Kesehatanku terus
saja menurun. Menunggu berita dari Papa Kapoor yang tak kunjung membuahkan
titik terang. Hari pertama tiba Papa Kapoor memang langsung menelepon tapi
belum bisa memberikan kabar bagus.
“Papa tidak tahu, belum bisa dipastikan
siapa saja yang selamat. Korban sudah dilarikan kerumah sakit terdekat, tapi
pengecekan data korban masih berlangsung. Akan Papa kabari lagi. Ini Papa akan
kerumah sakit.” Telepon itu berakhir. Hari ketiga setelah bersusah payah
mencari akhirnya Papa Kapoor menemukan Khasa tapi bukan berita bagus yang dia
beri.
“Khasa sudah Papa temukan. Dia ada dirumah sakit lain. Tapi...............” Papa Kapoor terdengar enggan melanjutkan kata – katanta. Telepon yang sengaja Mama Devi speakerkan agar aku bisa turut mendengar membuatku menarik napas tertahan. Ranjang rumah sakit yang seharusnya hangat serasa seperti bongkahan es yang sedang kutiduri.
“Khasa sudah Papa temukan. Dia ada dirumah sakit lain. Tapi...............” Papa Kapoor terdengar enggan melanjutkan kata – katanta. Telepon yang sengaja Mama Devi speakerkan agar aku bisa turut mendengar membuatku menarik napas tertahan. Ranjang rumah sakit yang seharusnya hangat serasa seperti bongkahan es yang sedang kutiduri.
“Kondisi Khasa belum bisa dipastikan.
Dokter menyuruhku menunggu. Khasa kehilangan banyak darah dan luka yang berat.”
Helaan berat napas Papa Kapoor membuat aku dan Mama Devi menitikkan airmata.
Kami takut membayangkan, kami takut apa yang kami cemaskan terjadi. Khasa yang
begitu kami cintai harus mengalami semua hal buruk ini.
“Apa Khasa tidak bisa dibawa pulang Pa?”
Mama Devi bertanya diantara isak tangisnya.
“Tidak Ma, Papa sudah menanyakannya.
Kata dokter itu terlalu berbahaya. Kondisi Khasa belum stabil dan membawanya
sejauh itu akan sangat berbahaya.” Menunggu, itu saran yang bisa dokter
berikan. Kami semua harus menunggu. Sungguh aku begitu sedih, mengapa aku
bertengkar dengan Khasa saat dia akan pergi berlibur, mengapa aku izinkan dia
pergi, mengapa harus Khasa, mengapa dan mengapa terus membayangiku.
Dua tahun sudah berlalu semenjak
kejadian tragis di Bali. Aku sekarang sedang berada dihalaman belakang rumah
mertuaku, dengan Ananda Kapoor, anakku dan Khasa. Ananda, sesuai dengan nama
yang diberi Mama Devi sedang asik bermain dengan bolanya. Dia menendang dan
berlari mengejar bola itu. Mama Devi menyusulku dan duduk disampingku.
“Lihat, Ananda cepat sekali besar ya.
Sepertinya baru kemarin dia belajar berjalan.”
“Ya, waktu cepat berlalu dan sebentar
lagi Ananda akan sekolah, lalu tumbuh besar dan mencari pasangan hidupnya lalu
pergi meninggalkan kita.”
“Hahaha...Lana, setiap Ibu selalu
mencemaskan hal itu, tapi percayalah anak kita meski pergi jauh tapi tetap akan
pulang kepasa kita.” Ucapan Mama Devi membuatku tersenyum. kebahagian terbesar
tentu melihat anak kita tumbuh dan bahagia. Bunyi suara pintu belakang dibuka
membuat Ananda menghentikan permainannya. Dia langsung berlari menghambur
kepelukan Grandfanya yang datang.
“Hahaha....mau terbang tinggi – tinggi
sayang.” Papa Kapoor mengendong Ananda tinggi – tinggi dan anakku tertawa
riang.
“Dad, ingat pinggang Daddy. Ananda sudah
semakin berat.” Khasa muncul dibelakang Papa Kapoor dan Papa Kapoor tertawa
mendengar ucapan Khasa. Ya, Khasa Selamat. Dia pulang seminggu kemudian bersama
Papa Kapoor. Meski kondisinya belum bisa dibilang bagus, Khasa bisa pulang dan
dirawat dirumah sakit sini. Meski harus merelakan kaki kanannya, aku bahagia
Khasa masih bisa bersama kami. Dengan kaki palsu yang sudah terbiasa Khasa
gunakan, Khasa bisa berjalan dan melakukan aktifitas seperti biasa. Dia
mengambil Ananda dari gendongan Kakeknya dan mengendong Ananda menuju tempatku
dan Mama Devi duduk. Kejadian itu mungkin menjadi trauma yang buruk bagi kami
saat itu tapi lama kelamaan kami sudah bisa menerimanya. Kami pun berencana ke
Bali jika umur Ananda sudah lima tahun. Kebahagian kami rasanya tak pantas kami
campurkan dengan trauma yang sudah berlalu dua tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar