Lembar – lembar kertas yang bergerak
ditiup angin, sinar matahari yang menembus kaca serta harum teh melati di meja adalah dirinya yang selalu kukenang. Cafe ini sepi pengunjung tapi malah itu yang
membuat dia betah berlama – lama menikmati secangkir teh dan membaca novel.
“Aku heran mengapa orang lain begitu
menyukai kopi. Bagiku teh adalah segalanya. Mungkin teh tidak sewangi kopi tapi
yakin lah, ditengukan pertama kamu akan merasakan kedamaian dan keindahan
alam.” Katanya waktu itu. Aku hanya tersenyum. Aku bukan pecinta kopi maupun
teh, aku lebih menikmati minuman soda atau pun susu. Dan dia mengerutkan
dahinya kala aku menceritakan itu, menurutnya aku aneh dan menurutku dia lah
yang aneh.
Namanya Andrea, aku pertama kali
mengenalnya melalui media twitter. Aku senang membaca tweet nya. Dia terlihat
berbeda. Dengan berani aku mengajaknya berkenalan, mengajaknya bertemu dan dia
setuju. Kebetulan kami juga sekota jadi pertemuan kami bisa dilakukan
secepatnya. Di cafe favoritnya ini lah kami bertemu. Dia wanita ramah yang
membuatku tertawa lepas dan menurutnya aku wanita pendiam dan misterius.
“Kamu selalu mengepal tanganmu dan
kadang malah menaruh tanganmu dibawah meja. Itu ciri – ciri wanita misterius
dan pendiam.” Katanya waktu itu.
“Benarkah?” aku bahkan tak menyadarinya
tapi dia melihat detail apa yang kulakukan.
“Enggak, aku hanya asal ngomong. Percaya
ya? Hahahahaha...” Tawa renyahnya memasuki hatiku. Dia terlihat gembira bisa
mengerjaiku.
Kami makin dekat tapi tak terikat. Mengalir
begitu saja. Tak terucap dibibirnya kata cinta begitu pula bibirku. Tak jarang
kami saling bertatap mesra dan saling mengenggam tapi hanya itu tidak lebih. Aku
membiarkan saja keindahan ini. Tak ingin merusaknya dengan sentimentil cinta. Sepulang
kuliah selalu kuusahakan mampir ke cafe favoritnya karena aku tahu disana lah
dia selalu berada. Meminum tehnya dan membaca novel.
“Hidup terlalu disibukan dengan bekerja
dan kuliah, aku menikmati hidup santai seperti ini.” Semula aku percaya tentang
dirinya yang pengangguran tapi lagi – lagi dia hanya menjahiliku. Menatap raut
percayaku dia tertawa renyah lagi, tawa yang selalu merasuk kehatiku.
“Tidak aku bukan pengangguran. Boleh percaya
boleh tidak, aku pekerja malam. Jangan dipandang negatif. Aku gitaris dan
penyanyi meski hanya di cafe. Tapi bukan dicafe ini. Jadi siangnya aku selalu
memiliki waktu banyak untuk meneguk teh dan membaca novel.” Katanya menjelaskan. Setelah
melihatku tanpa reaksi, dia mengajakku untuk menonton pertunjukannya nanti
malam. Sebenarnya tadi aku sudah ingin mendesaknya untuk mengajakku ke tempat
kerjanya, tapi lagi – lagi lidahku keluh. Ah, memang susah menghilangkan sikap
pendiamku.
Alunan suara dan petikan gitarnya
menghanyutkanku. Aku terbawa menyusuri samudra kehangatannya. Begitu indah dan
tak ingin ku lupakan. Kurekam semua tentangnya dalam benakku. Malam bergerak
turun dan suaranya mengalun bersama mimpi yang membuatku terlelap.
“Jika aku mati hari ini juga, aku rela. Aku
sudah menikmati hidupku dan aku sudah mengenalmu, Fika.” Hari itu kami tidak berada
di cafe. Kami berjalan – jalan menyusuri trotoar. Dia tampak sempurna dengan
celana panjang, baju kemaja dan jas cokelat. Aku sendiri mengenakan rok panjang
dan baju kemeja. Aku tak terlalu mengerti dengan fashion tapi bagiku dia itu
indah.
“Kita bahkan belum terlalu saling
mengenal.” Aku menanggapi perkataannya.
“Bagiku sudah, aku mengenalmu yang
pendiam, kamu yang tak lelah selalu mendatangiku, kamu yang suka mendengar
suaraku dan kamu yang mau mendengar semua cerita konyolku, bagiku kamu telah
menjadi segalanya.” Senyumnya membuatku tersipu. Apakah kata – katanya itu bisa
disamakan dengan pernyataan cinta? Dia mengenggam tanganku dan kami berjalan
dalam senyum. Cafe favoritnya berada diseberang jalan, kami melihat lampu telah
hijau untuk pejalan kaki. Dengan masih bergenggaman tangan kami menyeberang.
“AWAAASSS!!!!.” Entah teriakan ku, entah
teriakannya. Kami tak menyangka truck itu akan menerobos dan melaju dengan
kencang.
Semua telah usai, kematian telah
memisahkan kami. Aku masih sering mengunjungi cafe favoritnya. Melihatnya
disitu. Semua kenangan yang kami lalui bagai rekaman yang terus berputar
dibenakku. Di dekat jendela, masih dengan teh dan novel tapi pandangannya
menerawang. Ada semburat sedih dimatanya. Pelan airmata jatuh membasahi pipinya.
Andrea....aku juga sama kehilangannya. Ucapku. Ingin ku memeluknya, tapi hanya
aku hanya bayangan. Kisah kami usai, bersama dengan kematianku. Kami tertabrak
dan aku tewas. Andrea selamat dengan membawa luka dihati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar