Jumat, 19 Juli 2013

Kamu, teh, dan novel di Cafe Favorit



Lembar – lembar kertas yang bergerak ditiup angin, sinar matahari yang menembus kaca serta harum teh melati di meja adalah dirinya yang selalu kukenang. Cafe ini sepi pengunjung tapi malah itu yang membuat dia betah berlama – lama menikmati secangkir teh dan membaca novel.

“Aku heran mengapa orang lain begitu menyukai kopi. Bagiku teh adalah segalanya. Mungkin teh tidak sewangi kopi tapi yakin lah, ditengukan pertama kamu akan merasakan kedamaian dan keindahan alam.” Katanya waktu itu. Aku hanya tersenyum. Aku bukan pecinta kopi maupun teh, aku lebih menikmati minuman soda atau pun susu. Dan dia mengerutkan dahinya kala aku menceritakan itu, menurutnya aku aneh dan menurutku dia lah yang aneh.



Namanya Andrea, aku pertama kali mengenalnya melalui media twitter. Aku senang membaca tweet nya. Dia terlihat berbeda. Dengan berani aku mengajaknya berkenalan, mengajaknya bertemu dan dia setuju. Kebetulan kami juga sekota jadi pertemuan kami bisa dilakukan secepatnya. Di cafe favoritnya ini lah kami bertemu. Dia wanita ramah yang membuatku tertawa lepas dan menurutnya aku wanita pendiam dan misterius.

“Kamu selalu mengepal tanganmu dan kadang malah menaruh tanganmu dibawah meja. Itu ciri – ciri wanita misterius dan pendiam.” Katanya waktu itu.

“Benarkah?” aku bahkan tak menyadarinya tapi dia melihat detail apa yang kulakukan.

“Enggak, aku hanya asal ngomong. Percaya ya? Hahahahaha...” Tawa renyahnya memasuki hatiku. Dia terlihat gembira bisa mengerjaiku.



Kami makin dekat tapi tak terikat. Mengalir begitu saja. Tak terucap dibibirnya kata cinta begitu pula bibirku. Tak jarang kami saling bertatap mesra dan saling mengenggam tapi hanya itu tidak lebih. Aku membiarkan saja keindahan ini. Tak ingin merusaknya dengan sentimentil cinta. Sepulang kuliah selalu kuusahakan mampir ke cafe favoritnya karena aku tahu disana lah dia selalu berada. Meminum tehnya dan membaca novel.

“Hidup terlalu disibukan dengan bekerja dan kuliah, aku menikmati hidup santai seperti ini.” Semula aku percaya tentang dirinya yang pengangguran tapi lagi – lagi dia hanya menjahiliku. Menatap raut percayaku dia tertawa renyah lagi, tawa yang selalu merasuk kehatiku.

“Tidak aku bukan pengangguran. Boleh percaya boleh tidak, aku pekerja malam. Jangan dipandang negatif. Aku gitaris dan penyanyi meski hanya di cafe. Tapi bukan dicafe ini. Jadi siangnya aku selalu memiliki waktu banyak untuk meneguk teh dan membaca novel.” Katanya menjelaskan. Setelah melihatku tanpa reaksi, dia mengajakku untuk menonton pertunjukannya nanti malam. Sebenarnya tadi aku sudah ingin mendesaknya untuk mengajakku ke tempat kerjanya, tapi lagi – lagi lidahku keluh. Ah, memang susah menghilangkan sikap pendiamku.



Alunan suara dan petikan gitarnya menghanyutkanku. Aku terbawa menyusuri samudra kehangatannya. Begitu indah dan tak ingin ku lupakan. Kurekam semua tentangnya dalam benakku. Malam bergerak turun dan suaranya mengalun bersama mimpi yang membuatku terlelap.



“Jika aku mati hari ini juga, aku rela. Aku sudah menikmati hidupku dan aku sudah mengenalmu, Fika.” Hari itu kami tidak berada di cafe. Kami berjalan – jalan menyusuri trotoar. Dia tampak sempurna dengan celana panjang, baju kemaja dan jas cokelat. Aku sendiri mengenakan rok panjang dan baju kemeja. Aku tak terlalu mengerti dengan fashion tapi bagiku dia itu indah.

“Kita bahkan belum terlalu saling mengenal.” Aku menanggapi perkataannya.

“Bagiku sudah, aku mengenalmu yang pendiam, kamu yang tak lelah selalu mendatangiku, kamu yang suka mendengar suaraku dan kamu yang mau mendengar semua cerita konyolku, bagiku kamu telah menjadi segalanya.” Senyumnya membuatku tersipu. Apakah kata – katanya itu bisa disamakan dengan pernyataan cinta? Dia mengenggam tanganku dan kami berjalan dalam senyum. Cafe favoritnya berada diseberang jalan, kami melihat lampu telah hijau untuk pejalan kaki. Dengan masih bergenggaman tangan kami menyeberang.

“AWAAASSS!!!!.” Entah teriakan ku, entah teriakannya. Kami tak menyangka truck itu akan menerobos dan melaju dengan kencang.



Semua telah usai, kematian telah memisahkan kami. Aku masih sering mengunjungi cafe favoritnya. Melihatnya disitu. Semua kenangan yang kami lalui bagai rekaman yang terus berputar dibenakku. Di dekat jendela, masih dengan teh dan novel tapi pandangannya menerawang. Ada semburat sedih dimatanya. Pelan airmata jatuh membasahi pipinya. Andrea....aku juga sama kehilangannya. Ucapku. Ingin ku memeluknya, tapi hanya aku hanya bayangan. Kisah kami usai, bersama dengan kematianku. Kami tertabrak dan aku tewas. Andrea selamat dengan membawa luka dihati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar