Pagi yang
berisik. Ya berisik oleh suara burung yang berkicau dan juga teriakan bocah
itu. Seharusnya aku masih terlelap setelah tertidur mungkin hanya dua atau tiga
jam, tapi suara bocah itu mampu membuat mataku terbuka dan dengan kepala terasa
sakit aku bangun dan melihat bocah itu sudah menyiapkan sarapan di atas meja di
dapur.
“Sesuai
dengan promo, makan tersedia tiga kali sehari. Selamat menikmati.” Tanpa
menunggu jawabanku bocah itu pergi dan meninggalkan ku yang tentu saja masih
berwajah mengantuk dan rambut awut – awutan. Semula aku ingin segera kembali
tidur tapi memcium aroma sarapan yang tersedia di meja membuat perutku langsung
keroncongan. Ya tadi malam aku tiba terlalu larut dan perutku memang tak ku
isi. Apalagi bocah itu juga mengomel dan bilang seharusnya aku tidak datang
selarut itu dan membangunkan seiisi kampung yang telah terlelap. Mana bisa
kutahu kalau aku melakukan perjalanan pagi hari bakal tiba diwaktu malam telah
larut. Akhirnya aku duduk dan menyantap sarapan di atas meja. Semangkuk bubur
ayam yang wangi juga segelas susu. Rasanya nikmat walau aku lebih menghargai
jika diberikan secangkir kopi panas. Biasanya dirumah Rani tak pernah alpa menyediakan
secangkir kopi untukku. Jam berapa pun aku bangun pasti kopi hangat sudah
tersedia. Rani......wanita yang telah kunikahi selama 22 tahun lebih, ya 22
tahun dan kini sudah berakhir. Dia meminta cerai dan kudengar dari Aryo, anak
semata wayang kami bahwa Rani sudah memiliki kekasih dan dalam tahun ini mereka
akan menikah. Kami baru bercerai tidak lebih dari dua bulan dan dia sudah
berencana untuk menikah lagi? Sial, aku pasti sudah diselingkuhi dari dulu. Aku
yang bodoh atau Rani terlalu pintar sehingga aku tak terlihat bodoh? Rasanya
semuanya sama saja.
“Mengapa
seorang penulis terkenal seperti anda memilih menyepi di desa yang mungkin di
peta tak tercantum sama sekali?” Pertanyaan itu membuatku mengalihkan perhatian
dari bunga – bunga yang kupandang tadi kepemilik suara. Bocah itu lagi. Aku
jadi menyesal telah mengirim email permintaan penyewaan rumah dengan nama asli
dan profesiku.
“Bukankah
itu hal yang biasa bagi seorang penulis, menyepi dan mencari inspirasi ditempat
yang sunyi?”
“Mungkin.
Tapi saya pikir anda kesini bukan untuk mencari inspirasi. Novel anda baru
terbit bulan lalu, seharusnya anda sedang melakukan promosi bukan menyepi
disini”
“Untuk
ukuran orang desa, kamu banyak tahu ya.” Itu bukan pujian dan dia pasti tahu
itu.
“Untuk orang
yang akan menyewa rumah saya tentu saya harus menyelidiki siapa sebenarnya
orang itu. Saya tak mungkin mau menerima jika orang itu buronan atau penjahat.”
Setelah berkata seperti itu dia pergi. Bocah aneh.
Depresi.
Mungkin itu awal mulanya. Aku yang shock diceraikan oleh Rani membuka situs –
situs perjalanan dan menemukan katalag bocah itu terselip. Iklan kecil yang
mungkin tak digubris tapi tidak bagiku. Iklan itu bagai penyelamatku. Iklan
yang menawarkan penyewaan rumah didesa kecil yang jauh dari kebisingan yang
aman dan tentu saja tak akan ada yang bisa menemukanku disana. Hanya Aryo yang
kuberitahu ada dimana aku. Bahkan handphone pun tak kubawa. Kalau ada apa – apa
Aryo bisa mengabari ku melalui email. Dan aku baru tahu bahwa hanya dirumah
bocah ini ada telepon dan jaringan internet. Sedangkan rumah – rumah yang lain
tidak. Mereka hanya memiliki listrik untuk penerangan. Bahkan televisi pun
tidak ada. Oh ya, masih ada radio. Bocah ini bernama Aji. Umurnya mungkin tidak
lebih dari 18 tahun, tapi gayanya sudah seperti orang dewasa. Bocah aneh yang
terlihat lembut, ya lembut tapi bukan kemayu. Gerak geriknya terlihat lembut
dan em...apa namanya, ah ya elegan. Untuk bocah lelaki seperti dia rasanya
semua terasa pas dan....aneh.
Dear Papa,
Pa, bagaimana disana? Papa sehat – sehatkan?
Seharusnya Papa ke sini saja, disini pasti lebih menyenangkan. Mama kemarin
menelepon, dia menanyakan kabar Papa. Seharusnya Aryo tak bilang ini pada Papa
tapi Aryo tak ingin Papa punya pikiran jahat pada Mama. Mama mengkhawatirkan
keadaan Papa. Dia minta maaf telah melakukan semua ini. Suatu saat Papa pasti
bisa memaafkan Mama. Aryo yakin itu. Kuliah Aryo disini sudah hampir selesai,
nanti saat wisuda Aryo harap Papa dan Mama bisa datang. Di Sydney sekarang lagi musim semi Pa, bunga – bunga
bermekaran. Indah sekali. Oh ya, dua hari yang lalu Om Yaman menelepon Aryo menanyakan
keberadaan Papa, tapi Papa tenang saja Aryo tak memberi tahu Om Yaman
dimana Papa berada. Dia sepertinya lagi
pusing karena novel Papa baru terbit tapi penulisnya tidak bisa ikut promosi.
Hehehe.... Papa sehat – sehat disana ya. Irene titip salam.
Anak Lelakimu,
Aryo Lainufar
Membaca
email Aryo membuatku teringat lagi dengan Rani, ah tapi sepertinya Rani selalu
bermain dipikiranku. Aryo sekarang sudah 21 tahun, sebentar lagi kuliahnya akan
selesai. Dan aku tahu pasti Aryo tak akan pulang kembali ke Indonesia. Dia
sudah betah di Sydney apalagi pacarnya Irene berada disana. Kalau nanti Aryo
dan Irene menikah berarti aku akan mempunyai menantu orang bule. Aryo, hebat
juga kamu nak. Wajah yang tentu saja asli Indonesia bisa juga menarik perhatian
bule. Ngomong – ngomong soal Yaman, pasti editor ku yang satu itu sekarang
sedang mengomel tiada henti. Sekali – kali mungkin dia harus kubeginikan kalau
tidak dia bisa keenakan. Editor yang lain sibuk menagih tulisan pada pengarang
sedangkan Yaman yang paling tenang karena aku termasuk penulis yang produktif
dan tanpa perlu ditagih, aku langsung menyerahkan karyaku pada Yaman.
“Pak Arkan,
anda ada dirumah?” teriakan itu, ya tak salah lagi bocah itu si Aji.
“Ya, saya
ada dikamar. Ada apa?”
“Hari ini
saya akan mengantar barang kekota, jadi siang ini saya tak bisa menyediakan
makan siang buat anda. Tapi nanti malam pasti akan saya sediakan. Saya minta
maaf untuk itu.” Aku berpikir sejenak lalu berjalan keluar dari kamar. Kulihat
Aji berada di depan kamarku. “Apakah kota letaknya jauh?”
“Kalau dari
sini mungkin makan waktu tiga jam lebih. Kenapa?”
“Boleh saya
ikut?” Aji terlihat memikirkan permintaanku, tapi kemudian mengangguk.
“Tapi saya
tak bisa mengantar anda keliling. Saya harus mengantar kebeberapa tempat dan anda
harus ikut kemana pun saya pergi. Saya tak mau repot mencari anda yang tersesat
nanti”
“oke tak
masalah” Aku tak ingin berdebat dengan Aji jadi aku turuti saja syarat dari
dia.
Rupanya Aji
membawa banyak barang di pick upnya. Ada sayur – sayuran dan buah – buahan juga
tanaman obat yang Aji tanam. Dia mengantar kebeberapa toko dan juga ke pasar
tradisional. Aku bermaksud membantunya tapi dia menolak. Dia menyuruh
berkeliling tapi jangan jauh – jauh seolah – olah aku anak kecil yang bakal
hilang dan tersesat. Aku hanya melihat – lihat dan berjalan tak jauh, bukan
karena menuruti perkataan bocah itu, aku hanya lebih senang duduk dan
memperhatikan kesibukan orang – orang. Kuperhatikan juga bocah itu. Aji kurus
tapi tubuhnya lumayan kekar. Dia terlihat ramah pada setiap orang. Bocah aneh
itu seolah memperlihatkan padaku bahwa dia tak
membutuhkan siapa pun tapi orang lain lah yang membutukannya. Ya, itu
aura yang dia pancarkan. Tak sampai sore Aji sudah selesai mengantar semua
barang. Meski keringat mengucur dibadannya tapi dia tak terlihat lelah. Mungkin
sepiring nasi dan segelas es teh manis yang tadi kami santap sudah mengumpulkan
lagi tenaganya. Kami pun pulang dan aku hanya membeli pajangan mobil yang
terbuat dari kayu.
“Anda
menyukai pajangan kayu?”
“Tidak
juga.” Sebenarnya tadi aku tak berniat membeli tapi ketika melihat wajah ibu –
ibu penjual pajangan tersebut aku merasa iba.
“Kota disini
pasti jauh berbeda dengan Jakarta. Ini hanya kota kecil, kami penduduk desa
memang biasanya menjual hasil panen kami kekota ini.” Sambil mengemudikan mobil
Aji menuturkan cerita. “Selain aku, kadang Pak lurah yang ke kota mengantar
hasil panen kami. Mobil ini pun kami beli bersama. Dari hasil penjualan kami
mengumpulkan uang dan membeli mobil bekas ini.”
“Kamu pernah
pergi ke Jakarta?”
“Jakarta?
Tidak. Tempat terjauh yang kusinggahi hanya kota tadi.”
“Untuk
ukuran orang desa kamu termasuk pintar, bocah.” Aji menyeringai dan membalas
perkataan ku.
“Terima
kasih. Tak selamanya orang desa itu bodoh dan tak tahu apa – apa. Dan lagi Ayah
saya, pemilik asli rumah yang anda tinggali adalah seorang fotografer. Beliau
sudah mengelilingi dunia dan menceritakan semua hal pada saya. Telepon dan
internet dirumah itu juga Ayah saya yang memasang, biar anaknya tahu luas nya
dunia, itu yang dulu dia katakan.”
“Ayah anda
sekarang ada dimana?”
“Disurga,
mungkin. Entahlah. Tiga tahun yang lalu Ayah menghilang. Kata temannya Ayah
masuk kehutan terlarang dan lenyap. Mungkin ayah menemukan istri baru disana
sehingga lupa pulang.” Aji berkata dengan ringan. Aku hanya terdiam tidak tahu
harus memberi tanggapan apa.
“Anda pasti
ingin bertanya soal ibuku, sebaiknya jangan karena aku sendiri pun tak tahu
siapa ibuku. Ayah hanya bilang ibu ku wanita yang baik.”
Setelah itu
perjalanan kami lalui dengan diam.
Sudah
seminggu aku berada di desa ini. Rasanya badan ku dan aku sendiri sudah
terbiasa dengan ritme desa ini. Sebelum burung berkicau aku telah bangun dan
berjalan mengelilingi desa. Orang – orang di desa pun telah mengenal ku, meski
yang mereka tahu sebatas aku penyewa rumah Aji.
“Selamat
pagi Pak Arkan. Sudah sarapan?” Bu Nining yang sedang membersihkan rumput dari
ladang tomatnya menyapaku dengan hangat.
“Sudah Bu
Nining. Ibu juga sudahkan?”
“Sudah dong
Pak. Kata Nak Aji, pagi – pagi sebelum mulai kerja kami itu mesti sarapan, biar
ada tenaga dan tetap sehat. Aji itu kelihatannya ketus tapi dia baik. Setiap
hari selalu mengecek kami yang sudah tua – tua ini. Hehehe....”
Dari Bu
Nining aku baru tahu Aji lah anak paling muda disini. Yang berada disini
kebanyakan para jompo yang ditinggal anak mereka merantau kekota atau kepulau
lain. Tapi para jompo disini terlihat sehat dan tak ada yang pikun. Semua rajin
bekerja.
“Nak Aji itu
dokter kami Pak. Jangan salah Pak, meski Aji itu tidak sekolah tapi dia pinter.
Bisa baca juga tanaman obat nya lebih majur dari resep dokter. Saya dulu pernah
sakit parah, sudah dibawa kedokter yang ada dikota tapi tidak sembuh – sembuh,
si Aji cuma nanya saya sakitnya dibagian apa terus apa saja yang saya rasakan
habis itu dia masakin tanaman obatnya lalu nyuruh saya minum. Besoknya Pak,
saya langsung sembuh. Memang hebat Aji itu Pak.” Bu Nining bercerita dengan
penuh semangat, aku menanggapinya dengan senyuman. Aji, sepertinya bocah itu
ada diseluruh desa ini. Kemana pun aku melangkah pasti bocah ini yang
diceritakan orang – orang disini. Dari penduduk desa juga aku tahu dari kecil
Aji memang sering ditinggal pergi ayahnya dan Aji tak pernah mengeluh. Dia
belajar mandiri dan membuat dirinya berguna bagi semua orang.
“Hei bocah,
lagi apa?” aku duduk disamping Aji yang terlihat sedang memandangi tanaman
obatnya.
“Hanya
bercakap – cakap dengan tanamanku. Mereka bahagia.” Aku memang pernah mendengar
tanaman juga bisa mendengar perkataan manusia dan jika kita menyapa dan menyayanginya
tanaman itu akan tumbuh lebih subur tapi aku tak menyangka Aji juga melakukan
hal itu.
“Anda betah
disini?”
“Ya
begitulah bocah. Disini nyaman.”
“Mengapa
anda suka sekali memanggilku dengan bocah?”
“Karena kamu
memang bocah.”
“Umur saya
sudah 19 tahun dan seharusnya umur segitu bukan bocah lagi. Dan anda juga baru
berumur 48 tahun, dengan memanggilku bocah anda jadi terlihat lebih tua.” Aku
terkekeh mendengar penuturan Aji.
“Oke, oke.
Saya akan memanggilmu Aji bukan bocah lagi.”
“Begitu
kedengaran lebih baik” Senyumnya yang tulus membuat ku juga tersenyum.
“kamu tidak
pernah merasa bosan disini Ji? Disini isinya orang tua semua, hanya kamu anak
mudanya. Apa kamu tidak mau mencari pacar? Masak kamu mau pacaran sama nenek –
nenek.” Tawa ku menular pada Aji. “Bosan? Dulu iya tapi sekarang tidak. Saya
sudah berada dirumah. Desa ini rumah saya. Kalau masalah pacar mungkin suatu
hari nanti saya akan mencari tapi untuk sekarang saya bahagia begini. Saya
tidak merasa kesepian.”
“Apa kamu
tidak mau merasakan jatuh cinta? Biasanya remaja seusia dirimu sekarang sedang
menjalani manisnya jatuh cinta.”
“Setahu saya
anda pengarang novel misteri bukan cinta, mengapa anda lebih tertarik dengan
masalah percintaan saya?”
“Hahaha....kamu
yang sepertinya tidak peduli dengan cinta disitulah letak misterinya bagi saya.
Oh ya, jangan panggil saya dengan sebutan anda. Kedengaran seperti orang
asing.”
“jadi saya
harus memanggil anda dengan apa? Pak? Om? Bang? Mas? Mister? Sir?”
“Hem...Bang
Arkan saja. Nenek saya orang Batak, dulu dia juga suka memanggil saya dengan
Bang.” Penjelasan yang tidak penting tapi sepertinya Aji setuju, dia
mengganggukkan kepalanya.
“saya sudah
punya cinta Bang. Saya mencintai tanaman – tanaman saya, saya mencintai orang –
orang didesa ini dan saya mencintai semua hal di desa ini.” Aku ingin memprotes
bahwa yang dikatakan Aji adalah cinta yang universal bukan cinta untuk satu
orang, tapi aku diam. Bibirku terkatup mengingat tentang Rani. Apakah aku benar
mencintainya? Dulu saat umurku 26 tahun dan Mama yang sedang sakit memintaku
untuk segera menikah dan karena aku belum memiliki pacar menerima saja saat
Mama bilang temannya punya anak gadis yang cocok untuk menjadi istriku. Rani
waktu itu baru berumur 22 tahun. Kami hanya berkenalan singkat dan dalam waktu
satu bulan kamipun melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang harmonis. Tanpa
pertengkaran. Rani selalu siap sedia melayaniku. Dia istri yang patuh, tidak
pernah meminta ini itu. Dan tak lama setelah kami menikah, Aryo pun lahir.
Setelah itu kami menjalani rumah tangga dengan semestinya. Aku pergi bekerja
dikantor dan Rani dirumah menjaga Aryo. Pulang kerja Rani sudah menyiapkan
makanan dan kami pun hanya bicara seadanya. Umur 40 tahun aku memutuskan untuk
berhenti kerja dan fokus menulis novel yang akhirnya bisa membuatku menjadi
penulis kenamaan. Aryo yang sejak SMA kami sekolahkan di Australia juga adalah
anak yang baik.
“Ada apa
bang?” pertanyaan Aji menyadarkanku dari lamunan.
“Sepertinya
aku baru sadar mengapa Rani menceraikanku. Bolehkah aku meminjam telepon?” Aji
tersenyum dan mengangguk.
Trut...trut....tidak
sampai dua kali deringan telepon ku diangkat. Suara Rani yang kukenal menyapa
diseberang sana.
“Halo Ma,
eh...Rani.” mungkin Rani terkejut menerima telepon ku karena dia terdiam cukup
lama lalu akhirnya dia bisa mengeluarkan suara. “Eh, Mas. Em...apakabar?”
“aku sehat –
sehat saja. Kamu bagaimana?”
“Sehat mas.”
Lalu dia terdiam lagi. Kecanggungan yang aneh bagi suami istri yang telah
menikah puluhan tahun.
“Rani...aku
mau minta maaf. Selama ini kamu harus tersiksa menjalani pernikahan yang hambar
denganku. Maaf Rani. Aku baru menyadarinya sekarang. Dulu aku pikir dengan
menafkahimu saja sudah cukup.”
“Maaf mas,
maaf kalau saya terlalu menuntut banyak.....”aku bisa mendengar Rani terisak.
Aku menggelengkan kepala tapi baru sadar Rani tak mungkin bisa melihat gelengan
kepalaku.
“Tidak Rani,
kamu tidak salah. Kita menikah tanpa cinta dan saat menjalani pernikahan kita
aku sama sekali tak berusaha belajar mencintaimu ataupun mengajarkan mu mencintaiku.
Aku membiarkan mu begitu saja. Membiarkan mu dengan tugas yang kupikir memang
sepantasnya dilakukan istri, tapi rupanya disitulah letak salahku.” Makin
terdengar isak tangis Rani.
“Rani...aku
memang tak mencintaimu tapi aku menyayangimu. Baik – baik kamu ya. Berbahagia
lah Rani, aku tahu kamu pasti bisa menemukan lelaki yang benar – benar
mencintaimu dan membahagiakanmu.” Setelah Rani mengiyakan perkataanku, aku pun
mengakhiri telepon.
“Anda
sungguh mulia.” Suara Aji mengagetkanku, tapi aku tak marah. Bocah ini lah yang
membuatku sadar.
“Tidak baik
menguping pembicaraan orang dan sudah saya bilang jangan memanggil saya dengan
anda.”
“hehehe...maaf
saya lupa bang. Makan siang sudah siap ayo kita makan.”
“wah....pas
sekali perut saya sudah keroncongan.” Aku dan Aji pun berjalan ke meja makan.
Menyantap hidangan siang yang terlihat sangat lezat.
Tanpa Aji
sadari dia telah membuatku mengerti akan banyak hal, terutama tentang
hubunganku dengan Rani. Sekarang aku baru menyadari rasa sakit yang selama ini
kualami karena diceraikan Rani adalah rasa sakit harga diri dan kehilangan. Ya,
bukan karena kehilangan cinta tapi kehilangan seseorang yang sudah biasa
bersamaku. Dan disini, kehilangan itu tak terasa lagi. Seorang pemuda bernama
Aji telah membuatku merasa kagum, bukan hanya kagum tapi....entalah aku pun tak
tahu apa yang kurasakan pada bocah itu. Apa yang mesti kujelaskan? Aku ini
penulis misteri bukan penulis novel romantis jadi sepertinya sah – sah saja apa
yang kurasakan dan apa yang terjadi di desa ini biar menjadi misteri yang
kusenangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar