Kakek sekarang lagi di India. Dipedalaman
India sangat India. Semi seharusnya kesini juga. Kakek mau minta tolong sayang,
tolong jagakan patung yang kakek kirim bersamaan dengan surat ini. Tolong jaga
baik – baik ya sayang.
Dari Kakek
P.S. Jangan simpan sembarangan patungnya
ya Semi sayang.
Pras meletakkan surat dari kakek Semi dan memandangi kekasihnya. “apanya
yang aneh?”
“apanya yang aneh? Ya surat ini dong Prasetyo Arianto. Gimana sih,
jelas – jelas surat ini aneh seanehnya.” Semi melihat Pras mengerutkan
keningnya tanda tidak mengerti dimana letak anehnya surat itu.
“Oke, gini. Kakek udah lama enggak pernah kirim surat, terus tiba –
tiba datang surat dan sebuah patung untuk ku jaga, terus kakek juga tidak
menjelaskan apa pun dan yang paling penting dia sama sekali enggak menanyakan
kabarku!” Semi menjelaskan dengan kesal. Ya dia marah karena kakeknya sama
sekali tak menanyakan kabarnya atau apapun tentang dirinya. Kakeknya juga tak
memberi alamat jelas jadi Semi tak mungkin bisa membalas surat kakeknya. Pras
tersenyum maklum. Dia tahu Semi begitu mengagumi sang kakek yang seorang
arkeolog petualang. Dulu Semi ingin mengikuti jejak kakeknya tapi Mamanya
dengan keras melarang. Mamanya tak ingin Semi seperti ayahnya yang tak pulang –
pulang dan berpetualang entah kemana saja.
“mungkin kakek sedang sibuk jadi tidak bisa menulis panjang –
panjang sayang. Lagipula mungkin ini patung berharga makanya kakek meminta
sayang untuk menjaganya.”
“enggak, patung ini tidak berharga. Cuma patung tanah liat bukan
emas atau didalamya ada permata. Tapi ini patung aneh dan........”
“Dan apa?” Semi menghela napasnya tapi tak menjelaskan lebih
terperinci kata – katanya yang menggantung tadi.
“nanti malam, jam 8 tepat datang lah kerumah. Akan kutunjukan apa
yang aneh.” Semi tak membiarkan Pras bertanya lebih karena dia sudah melangkah
keluar dari kantin tempat mereka tadi mengobrol.
Jam delapan tepat Pras sudah berdiri di depan rumah Semi. Semi
langsung menyuruhnya masuk. “Tunggu sebentar.” Semi masuk kedalam dan
meninggalkan Pras diruang tamu. Tak berapa lama Semi muncul lagi dengan sebuah
patung di tangannya. Semi meletakkan patung berbentuk gadis India di atas meja.
“ayo keluar, mama dan papa ku lagi diruang keluarga. Disini hanya
ada Pras, pacarku yang tadi kuceritakan.”
Pras mengerutkan keningnya ketika melihat Semi berbicara pada
patung yang ada di meja. “Semi kamu kenapa sayang? Kamu.....” Pras tak jadi
melanjutkan pertanyaannya ketika dari patung itu keluar sesosok wanita dengan
mengenakan baju dan kain sari percis seperti patung itu. Seharusnya Pras merasa
takut tapi penampakan itu sama sekali tak membuat perasaan Pras cemas dia malah
merasa melihat seorang wanita India yang cantik dan lembut.
“Pras, ini Sita. Sita ini Pras.”
“Hai.” Sita tersenyum pada Pras. “Hai......” Pras masih belum bisa
menghilangkan rasa kagetnya dan Semi tahu itu. Kemarin dia juga begitu ketika
tiba – tiba Sita muncul di kamarnya.
“Jangan khawatir Pras. Sita ini memang boleh dibilang adalah hantu
tapi dia bukan hantu jahat. Dia mau minta tolong sama kita.”
“minta tolong?”
“Ya, begini dan maaf, sebaiknya saya dipanggil roh saja daripada
hantu. Kedengaran lebih lembut. Saya akan menceritakan kisah saya, kemarin saya
sudah bercerita pada Semi tapi mungkin itu hanya garis besarnya saja. Sekarang
akan saya perlihatkan pada kalian berdua.” Tiba – tiba ada angin kencang yang
menyapu wajah Pras dan Semi yang membuat mereka menutupkan mata. Ketika angin
itu tak ada lagi mereka membuka mata tapi mereka tak ada lagi di ruang tamu
rumah Semi, mereka sekarang berada diperkampungan India. Sita berdiri disamping
mereka. Bagai seorang narator Sita pun mulai bercerita sambil menampilkan
gambar hidupnya di mata Pras dan Semi.
Dua ratus tahun yang lalu ketika aku masih berumur 15 tahun aku
telah dinikahkan dengan seorang pemuda yang umurnya hanya berpaut dua tahun
dari ku. Nama suamiku Amir. Kami tinggal diperkampungan yang masih sangat
menjunjung adat. Sebagai seorang istri tentu saja aku harus melayani suamiku,
menjunjun tinggi martabat suamiku. Suamiku adalah anak seorang pengrajin kain
sari yang bisa dibilang adalah keluarga terpandang di desa kami. Diumurku yang
keenam belas aku melahirkan bayi lelaki sehat yang kami namai Arjun. Keluarga suami
ku sangat senang karena aku berhasil melahirkan keturunan lelaki, penerus
keluarga. Mereka pun mendatang seorang pembantu untuk membantuku menjaga Arjun.
Anju namanya, gadis berumur 18 tahun. Ketika melihat Anju pertama kalinya aku
langsung menyukainya. Dia berperawakan besar dan juga kelihatan kuat untuk
ukuran seorang gadis. Anju gadis yang rajin. Dia selalu siap membantuku. Pagi atau
malam selalu berada disampingku dan Arjun. Makin lama kami makin akrab dan Anju
menceritakan kalau dia gadis sebatang kara yang dibuang orang tuanya karena tak
sanggup lagi memberi makan dia dan adik – adiknya yang banyak. Ketika sedang
mengemis, Anju bertemu dengan Ayah mertuaku dan Ayah mertuaku pun lah yang
membawanya kesini.
“Nyonya orang yang beruntung. Tuan Amir sangat menyayangi nyonya
dan juga Tuan Arjun. Gadis – gadis lain pasti merasa iri pada nyonya.” Aku tersenyum
mendengar penuturan Anju.
“Anju, panggil saja aku Sita saat kita hanya berdua, ah maksudku
bertiga dengan Arjun. Rasanya aneh ada yang memanggilku nyonya. Lagi pula
sekarang kita adalah teman.”
“Tapi....ah baiklah. Sita.” Senyum tulus Anju kubalas dengan
senyum tulus juga.
Hari berganti hari, Arjun tumbuh dengan cepat dan sehat. Dia sekarang
sudah bisa berjalan walau masih selangkah selangkah dan suaranya yang lucu
sudah bisa memanggilku dengan sebutan Ibu. Amir semakin sibuk membantu Ayah
mertua keluar kota untuk menjajahkan kain sari. Aku tak merasa kesepian karena disampingku
ada Anju. Dimalam tanpa Amir, Anju masuk kekamarku dan membuaiku juga Arjun
dalam dongeng – dongeng indah yang dia dengar ketika mengemis dijalan. Dongeng –
dongeng ini membuat kami tertidur dengan lelap. Kusadari betul aku mulai
menyayangi Anju, rasa yang dulu tak begitu kupahami yang mungkin sama seperti
rasa sayang terhadap keluarga. Suatu hari badan Arjun panas, dia demam tinggi. Tentu
saja aku ketakutan dan Ibu mertuaku segera memanggil tabib untuk mengobati
Arjun. Meski telah diberi obat, panas Arjun hanya turun sebentar lalu naik
lagi. Semalaman aku dan Anju menjaga Arjun, tapi malang tak dapat kutolak,
keesokan harinya anak ku satu – satunya meninggal dunia. Tangis ku pecah,
diusia enam belas aku telah menjadi seorang ibu dan diusia delapan belas aku
telah kehilangannya. Rumah langsung berduka. Amir suamiku dan juga ayah mertua
segera pulang ketika mendengar kabar duka ini. Sesampainya dirumah Amir
langsung mencariku dan menampariku. Tak puas hanya menampar dia juga mulai
menghajar badanku.
“Dasar perempuan tak becus, hanya menjaga anak saja kau tak bisa. Bangsat.”
Kemarahan Amir tak dapat kubendung. Aku merasa bersalah tapi Anju yang melihat
itu segera melindungiku. Dia meminta Amir tak memukuliku. Dipeluknya aku dengan
erat agar pukulan Amir tak mengenai tubuhku.
“Kau juga sama saja. Kau sudah ditampung disini, kami beri makan
dan kau juga tak sanggup menjaga anakku!” pukulan Amir kini menghantam tubuh
Anju. Ketika telah puas memukul atau mungkin karena lelah Amir pergi
meninggalkan kami dikamar. Aku menangis dipelukkan Anju. Tangis karena sedih
kehilangan anak dan juga tangis sedih karena merasa telah melakukan kecerobohan
karena membiarkan anakku mati.
“seharusnya aku yang mati bukan Arjun. Dia masih belum lama
didunia ini, dia begitu sehat kemarin dan begitu manis. Mengapa Arjun yang
pergi bukan aku, mengapa......”
“ssssttsss.....jangan begitu, Arjun pasti sedih kalau kamu begini.
Mungkin Arjun hanya sementara dititipkan padamu, mungkin dia akan lahir kembali
dirahim mu. Berdoa lah agar Arjun tenang dan bisa berenkarnasi lagi menjadi
anakmu Sita.” Anju membelai – belai kepalaku, membujukku untuk tenang. Dalam pelukannya
aku menangis sampai jatuh tertidur. Ketika bangun, Anju masih memelukku.
Semenjak Arjun meninggal, Amir tak lagi tidur bersamaku. Dia tak
menganggap ku ada begitu pula dengan keluarganya. Aku dipindahkan tidur dengan
Anju. Mereka tak mengusirku tapi juga tak mempedulikan ku. Perlakuan seperti
itu menyakirkan ku, lebih baik mereka mengirimku pulang kerumah orang tua ku
tapi tak mereka lakukan. Dalam adat tentu saja tak boleh ada perceraian. Hanya Anju
yang membuatku bertahan. Dia yang menjagaku, membangkitkan semangatku. Dia juga
yang selalu tak henti menyuapi aku makan agar aku tak mati kelaparan dan hanya
menangis mengenang Arjun. Suatu hari kudengar Raihan, adik Amir akan menikah
minggu depan. Tentu saja suasana rumah akan ramai lagi setelah berbulan – bulan
yang lalu ditimpah kedukaan. Tapi aku sama sekali tak ingin merayakan
kebahagian Raihan, bukan karena aku membencinya tapi aku merasa masih harus
berduka untuk anakku Arjun. Anju yang tahu hal itu pada hari pernikahan Raihan
mengajakku keluar rumah dengan alasan berbelanja bahan makanan. Kami tak pergi
kepasar tapi malah ke arah bukit kecil di desa. Disana Anju menceritakan
dongeng lagi, dongeng yang telah lama dia tak ceritakan semenjak Arjun pergi.
“Anju...terimakasih selalu berada disampingku, terimakasih kamu
tak meninggalkan aku sendiri dan terimakasih telah hadir dihidupku.” Aku menyandarkan
kepala ku dibahu Anju dan Anju menepuk ringan tangan ku yang melingkar
ditangannya. “Aku lah yang berterimakasih pada Sita, kalau tak ada Sita mungkin
sekarang aku sudah tak ada, seorang pengemis yang mati kelaparan dan penuh
kebencian pada orangtuanya. Dari Sita aku belajar memaafkan, memaafkan semua
orang yang membenciku dan semua orang yang kubenci.” Pelan dan lembut Anju
mengecup puncak kepalaku. Aku membiarkannya saja. Rasa aman dan damai bersama
Anju membuatku sejenak melupakan kesedihan.
Aku tahu kami tak boleh seperti ini tapi tanpa kami duga rasa
sayang kami menjadi lebih. Lebih hangat dari pelukan Amir, lebih berdetak dari
perjumpaan pertama dengan Amir dan lebih lembut dari rasa yang selama ini
kucoba berikan pada Amir. Ya kami saling mencintai, bukan cinta akan nafsu
terselubung kehangatan tubuh tapi cinta yang alami, cinta yang membuat kami
begitu saling membutukan dan cinta tanpa rasa penyesalan. Ku bilang pada Anju
bahwa rasa kami bukan untuk disesali bukan pula untuk dipahami.
“Rasa ini biarlah tetap ada seperti debu yang tak kelihatan tapi
mampu membuat jejak, seperti angin yang tak dapat kita tangkap tapi pelan
maupun cepat dapat menyejukkan, seperti air yang mengalir terus mencari arah
kelautan luas.”
Anju menghadiahi ku dua buah patung berbentuk kami. Patung tanah
liat ini dia buat sendiri.
“Dulu ketika masih bersama keluargaku, ayahku mengajariku cara
membuat patung dari tanah liat walau tak begitu bagus aku berharapa kamu mau
menerimanya.”
Tentu saja aku menerimanya dan dan sangat bahagia. Patung itu
kusimpan dalam lemari agar tak pecah dan diambil orang lain. Meski kami tidur
sekamar tapi aku dan Anju tak pernah melakukan hal yang diluar batas. Anju
menghormatiku yang masih menjadi istri Amir. Dia hanya memelukku ketika malam
memnita kami untuk lelap dan mengecup lembut wajahku agar mimpi indah datang
menghampiri. Aku pun bahagia diperlakukan begitu, rasa kami begitu suci untuk
hanya diluapkan nafsu pemuas dahaga tubuh beronggak daging dan darah ini.
Setahun, dua tahun dan lima tahun pun berlalu. Amir masih belum
memaafkanku, dia menyibukkan diri dengan kerja dan kerja. Aku pernah mendengar
kalau Amir akan dicarikan istri lagi tapi dia tak mau. Mungkin dia takut
kehilangan lagi. Aku juga tak berani menuntut, kubiarkan saja begini. Berada dikamar
belakang, menunggu kedatangan Anju yang bekerja bersama pembantu lain
membersihkan rumah serta pekerjaan lainnya. Anju pernah menyuruhku untuk
membantu menghidangakan makanan bagi keluarga suami ku dan aku setuju. Mungkin dengan
begitu keluarga suami ku bisa melihat dan menyadari kalau aku ada. Tapi kedatanganku
rupanya menjadi bencana. Amir menyapu piring yang kuletakkan didepannya dan
membanting segala macam yang berada didekatnya. Semenjak itu ibu mertua ku
melarangku menampakkan diri didepan anaknya dan semenjak itu pula kamar
belakang menjadi tempat persembunyiaanku.
“aku tak mengerti dengan sifat Amir. Mengapa dia menyalahkan
dirimu terus menerus? Seharusnya dia sadar kematian Arjun bukan karena mu. Apa karena
dia lelaki jadi dia tak punya tanggung jawab menjaga Arjun? Sampai kapan dia
memperlakukan mu seperti ini?” kemarahan Anju membuatku menangis.
“sudahlah, biarkan begini. Mungkin ini yang terbaik. Aku tak
menyalahkan Amir memperlakukanku seperti ini, dia telah kehilangan dan rasa
kehilangan itu tentu sangat menyakitinya.”
“Kamu juga merasakan kehilangan yang sama Sita, dia pengecut hanya
menyalahkan dirimu saja. Rasanya aku ingin menamparnya supaya sadar.”
“Jangan. Aku tak ingin kamu kena masalah. Amir hanya khilaf, suatu
saat dia pasti sadar. Bukan, bukan aku berharap untuk disayanginya lagi atau
melayaninya lagi aku hanya berharap kebenciannya padaku sirna” Anju mendekatiku
dan memelukku. Dia tak berkata apapun hanya memeluk seolah memberikan ku
kekuatan agar aku tabah.
Mungkin dikehidupan lampau aku berbuat buruk sehingga dikehidupan
sekarang aku harus menanggu karma ku. Setelah menyibukkan diri dalam pekerjaan,
suamiku Amir akhirnya jatuh sakit dan tak berapa lama kemudian dia meninggal. Sebagai
seorang istri tentu saja aku sedih. Meski tak memiliki rasa cinta untuknya tapi
aku menyayangi dan menghormatinya. Dalam kesakitannya waktu itu dia
memanggilku, kugenggam tangannya dan kata “maaf” terucap dari bibirnya sebelum
menghembuskan napas terakhir. Aku menangis sedih, dan mengucapkan dengan pelan
kalau aku sudah memaafnya dari dulu. Upacara kremasi pun akan segera dilakukan
dan menurut adat aku yang janda ini seharusnya ikut membakar tubuhku ini,
tradisi sati namanya. Sati adalah adat yang menunjukkan kesetian istri yang rela
membakar dirinya ketika mayat sang suami akan dikremasikan. Dan aku yang hidup
dizaman patuh adat harus melaksanakannya atau muka orangtuaku, mertuaku dan
muka ku sendiri akan tercoreng sebagai istri yang tak setia dan seumur hidupku
aku dan keluargaku serta keluarga suamiku harus menanggung malu karena ini. Hari
itu tiba, hari dimana aku harus berpisah dengan Anju. Anju melepasku dengan
berat hati begitu pula aku.
“Setiap kisah ada akhirnya tapi rasaku padamu takkan pernah berakhir.
Patung – patung dirimu dan diriku akan kusimpan sampai mau menjemputku. Hembuskan
lah rohmu dipatung ini Sita, maka aku akan tahu kamu selalu bersamaku. Pergilah,
dan laksanakan kewajibanmu.” Anju melepasku, dia terlihat telah siap. Aku pun
begitu.
“meski raga ini habis dilumat api tapi jiwa ku tidak. Biar abuku
dibawah aliran sungai gangga tapi jiwa ku akan tetap bersamamu. Aku janji itu.”
Janji yang kutepati sampai hari ini.
Amir terbakar bersama api dan tanpa ragu aku yang mengenakan
pakaian putih melompat keapi yang siap membakar tubuh suamiku dan tubuhku. Panasnya
membakar sampai ketulang – tulangku, lalu ragaku pun lenyap menjadi abu. Abuku dan
abu suamikua dialirkan disungai gangga yang panjang itu dan seperti janjiku aku
menemani Anju dan bersemayam dipatung tanah liat ku.
Sampai disitu gambar hidup Sita lenyap dan mereka kembali keruang
tamu rumah Semi. Semi melihat kearah jam, baru jam delapan lewat sepuluh. Berarti
kisah Sita yang panjang tadi hanya berlangsung sepuluh menit.
“jadi apa yang bisa kami bantu?” Pertanyaan Pras menyadarkan Semi
yang masih takjub dengan kisah Sita.
“Kalian tadi sudah lihat patungku dan patung Anju. Sekarang aku
hanya sendiri, patung Anju hilang. Mau kah kalian menolongku mencarinya?” Semi
sebenarnya kemarin sudah mendengar permintaan tolong dari Sita, tapi semula dia
mengira Anju adalah seorang pria. Kalau dizaman sekarang hal ini disebut
lesbian tapi Semi tak yakin dizaman dulu ada sebutan seperti itu. Semi bukan
homophobia dan Semi juga yakin Pras juga sama, meski Semi baru berkecimpung
langsung maksudnya mengenal langsung cinta sesama jenis Sita dan Anju, entah
mengapa Semi tidak merasakan kejanggalan malah Semi bisa merasakan ketulusan
dari hubungan mereka.
“Tapi bagaimana kami bisa tahu dimana patung Anju berada?” Semi menanyai
pertanyaan yang juga ingin Pras tanyai.
“Tentu kakekmu tak sembarangan mengirim ku ketempat mu, Semi. Patung
kami semula bersama digua yang tak pernah dikunjungi manusia tapi ada
sekelompok manusia yang melakukan ekspedisi di gua itu. Patung kami pun
ditemukan. Kakekmu adalah salah satu dari kelompok para arkeolog itu. Rupanya patung
Anju diam – diam dilarikan teman kakekmu dan dijual kekolektor barang seni di
Indonesia. Aku menemui kakekmu dan meminta tolong padanya. Dan dia pun
menyuruhku untuk bersabar dan berjanji akan membantuku. Dia mengirimku kepada
mu. Katanya cucuku akan membantumu, pasti. Mungkin kakekmu sekarang masih
mencari informasi tentang keberadaan patung Anju.” Bunyi telepon diruang
keluarga sejenak mengusik cerita mereka. Tapi ketika Mama berteriak dan
mengatakan pada Semi bahwa kakeknya yang menelepon dan ingin berbicara padanya,
Semi langsung bangkit dan mendekatkan gagang telepon ketelingannya.
“Kakek.....”
“Semi sayang, sudah berjumpakan dengan Sita?”
“iya kek. Bagaimana kek, ada info apa?”
“Hahaha....kakek tahu pasti kamu tertarik dan ingin membantu Sita.
Kakek sudah mendapat informasi dimana Anju berada tapi ada masalah.”
“apa Kek?”
“Kolektor barang seni itu adalah bos mafia, jadi rasanya bakal
sulit mengambil Anju dengan cara baik – baik. Nah sekarang kakek serahkan
padamu. Kakek tahu kamu pasti bisa menyatukan Sita dan Anju kembali. Sudah dulu
ya sayang, kakek ngantuk mau tidur dulu. Nanti kakek fax kan alamat lengkap
dimana patung Anju berada.” Tanpa menunggu jawaban dari Semi, kakeknya telah
mematikan telepon. Semi berjalan kembali ke ruang tamu dan menceritakan
percakapannya dengan Pras.
“Sepertinya kita mesti memikirkan cara bagaimana mengambil Anju
kembali.” Perkataan Pras dijawab dengan anggukan dari Semi.
Walau terdengar mustahil tapi darah Semi terpacu sampai jantung. Darah
petualangnya telah bangkit.
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar