Kamis, 08 Desember 2011

Duyung di Lautan

bau amis yang diterbangkan angin malam tak membuat Kana bergeming. Dia duduk di atas bebatuan dan menatap kosong lautan yang berkilau oleh cahaya bulan yang membayang di riak – riak kecil air laut. Kana memeluk kedua lututnya, bukan karena dinginnya angin malam tapi lebih karena dia ingin menghilang dan tak terlihat oleh siapa pun. Kampung halamannya ini tak banyak berubah setelah sekian tahun ia tinggalkan. Bahkan dermaga kecil ini juga tak banyak berubah. Kapal – kapal kecil tetap bersandar dan berlayar dari dermaga ini. Bahkan bau amis di dermaga ini masih sama. Pandangan kosong Kana berhenti pada satu titik ketika dia melihat permukaan laut seolah sedang menari dan menimbulkan riak yang terdengar sampai ditempat Kana duduk. Ah, mungkin itu hanya ikan – ikan yang bermain riang di atas permukaan laut, gumam Kana dalam hati. Dia kembali meneruskan lamunannya. Lamunan yang berlari ribuan kilometer dari tempatnya sekarang. Lamunan yang tak ingin diingat lagi tapi tak bisa dilupakan.



“oh wahai cahaya bulan, mau kah engkau jatuh menimpaku, ya menimpaku bukan lautan ini. Aku ingin menjadi terang dan terlihat oleh kekasih ku. Oh wahai bulan bermurah hati lah. jadi lah jembatan untuk mempertemukan ku dengan kekasih ku. Oh wahai bulan, hanya malam tak perlu pagi, hanya malam kau berikan cahaya mu padaku……..”

Kana tersentak dari lamunannya. Suara nyanyian yang terdengar dari jauh tapi begitu jelas membuat Kana bangkit dari tempat nya duduk tadi. Dia mencari asal suara nyanyian itu. tapi yang terdengar sekarang hanya suara angin malam yang bertalu – talu digendang telinga Kana. Ilusi kah itu? atau….tapi Kana terlalu naïf untuk mempercayai hal gaib. Dia menggeleng – geleng kan kepalanya dan mengambil keputusan kalau suara nyanyian itu hanya ilusi nya saja.

“Kak, ayo pulang.” Suara berat itu tak mengagetkan Kana, karena dia tahu itu suara Hendu, adik kembarnya. Hendu tersenyum padanya dan menatap Kana dengan serius.

“ada sesuatu?” tanya Hendu. Kana mengangkat bahunya tanda tak mengerti.

“seperti ada sesuatu, tapi ya sudah. Ayo pulang. Angin malam bisa menjerat mu masuk kedalam lautan.” Mendengar ocehan Hendu, Kana tertawa. “Ah Du, kata – kata mu benar – benar menyadarkan ku kalau aku sudah pulang kekampung halaman kita.”

“kamu masih seperti dulu, tidak percaya dengan cerita – cerita mistis di desa kita. Padahal cerita – cerita itu begitu indah sampai kadang aku tak ingin terpejam demi mendengar semua kisah di desa kita ini.”

“bukan kah semua itu hanya tahayul. Cerita yang didongengkan Bunda untuk menakuti kita agar kita tak nakal. Cerita yang sama yang didendangkan setiap rumah agar anak – anak tak berulah.”

“ah sudah lah Kak, aku tak mau berdebat dengan mu. Ini tak aka nada habisnya. Ayo pulang atau kamu mau aku menyeret mu pulang.” Kana tersenyum dan merangkul bahu saudaranya itu.

“iya, ayo pulang.” Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan yang sudah sepi.

“Kak, jangan sering – sering melamun disini. Bahaya. Melamun lah dirumah saja. Toh hanya ada aku dan Miti.”

“aku tak enak mengganggu penggantin baru.” Seringai Kana membuat Hendu salah tingkah.

“kamu kan hanya melamun, jadi tak mungkin menggangu kami. Kak, aku serius. Jangan sering – sering kesini malam – malam.”

“apa ada hantu yang bakal menculik ku?” tanya Kana dengan nada bercanda tapi Hendu menjawab dengan serius. “Bukan hantu, tapi ikan duyung. Mereka senang menjerat orang – orang kesepian. Mereka akan menghipnotismu dengan suara nyanyian merdu mereka dan setelah kamu terpesona mereka akan mengajak mu kedasar lautan lalu memakan dagingmu.” Kana menatap Hendu dan tertawa terbahak – bahak. Hendu yang melihat Kana tertawa mendengar ceritanya memasang tampang marah.

“hahaha..ya, maaf – maaf. Aku hanya tak habis piker bagaimana bisa kamu percaya cerita seperti itu. itu dongeng untuk anak – anak. Oh ayo lah Du, zaman sekarang tak ada lagi hal seperti itu.” Hendu menghela napasnya.

“terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi berhati – hati lah. ikan duyung itu menjelma menjadi putri duyung yang cantik. Wajah molek mereka akan membuat mu terpesona, suaranya akan meghipnotismu. Kita manusia yang bernapas dengan paru – paru tak akan bertahan hidup didalam lautan. Jangan sampai jatuh cinta pada mereka.” Kana tersenyum dan menatap langit berbintang. Dengan suara lirih Kana berkata, “seandainya saja aku bisa jatuh cinta lagi.” Hendu menepuk bahu saudaranya. “aku senang kamu pulang Kak.” Mendengar itu Kana memeluk pinggang Hendu. Mereka berjalan kembali dengan Kana yang masih melingkarkan tangannya dipinggang Hendu. “Terimakasih Dik.” Bisik Kana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar