Sabtu, 14 Mei 2011

Gadis Indian


Rea berjalan dengan lesu menyusuri trotoar. Berulang kali dia menghela napasnya. Kenangan tentang Julia bermain didalam benaknya. Julia, wanita yang membuat Rea mabuk kepayang. Apapun akan Rea lakukan demi membahagiakan Julia. Tapi kebahagian itu hanya sesaat, Julia meminta putus dengan alasan ingin menikah. Rea tak kuasa mencegah. Julia wanita begitu pula dengan dirinya. Dia tak bisa menikahi Julia. Rea yang ditinggal Julia merasa sedih yang teramat sangat dan lebih merasa hancur lagi ketika didapatinya Julia sedang menggandeng mesra tangan butchy lain.

Jalan terlihat sepi, suasana seperti itu menambah suram hati Rea.
“nak...beli lah buku ini.” Tiba – tiba seorang nenek menghampiri Rea dan menyodorkan sebuah buku.
“maaf nek...”
“ini buku bagus nak. Hanya tiga puluh ribu saja.” Semula Rea bermaksud menolak tapi ketika dilihatnya wajah kuyuh dan baju compang – camping wanita tua itu membuat Rea terenyuh. Rea pun membeli buku itu.
“terima kasih nak. Semoga buku ini bermanfaat.” Nenek itu lalu berlalu dari hadapan Rea. Rea pun berjalan pulang kerumah kontrakannya. Rea yang tinggal sendiri setelah kepergian Julia segera masuk kedalam kamar. Dibaringkan nya tubuhnya kekasurnya yang empuk. Rea teringat dengan buku yang dibelinya tadi. Diambilnya buku itu dan dibacanya judul buku itu.
“Suku Indian, suku kuat dan penuh keajaiban” tanpa rasa tertarik Rea membuka buku itu. Saat membuka buku itu cahaya terang keluar dari buku itu dan menyelimuti Rea. Rea kaget tapi tak ada yang bisa dilakukannya ketika buku itu menyedot tubuhnya. Teriakan Rea pun tertelan bersama tubuhnya yang menghilang.

Rea tersadar, dikejab – kejabkan nya matanya. Bayangan seseorang terlihat berada dihadapan Rea.
“ah...bagus lah kamu sudah sadar.” Suara seorang wanita membuat Rea kebingungan. Bukan karena suara itu tak dikenalnya, tapi karena suara itu mengeluarkan bahasa yang belum pernah Rea dengar dan entah mengapa Rea mengerti apa yang dikatakan gadis itu. Perlahan pandangan Rea menjadi jelas. Seorang gadis cantik tersenyum ramah padanya. Gadis itu...gadis Indian. Dengan pakaian suku indian yang sering Rea lihat ditelivisi atau di buku.
“minumlah ini. Ini teh jahe, akan membuatmu hangat dan segar.” Gadis itu menyodorkan secangkir minuman yang wangi. Rea menerima minuman itu. Dia meneguknya. Terasa enak dan hangat.
“Terimakasih. Em...kamu siapa? Ada dimana aku?”
“saya Embun pagi. Kamu ada diperkampungan indian. Saat mencari tanaman obat, saya menemukanmu pingsan. Dengan bantuan Mata elang saya membawamu kesini.”
“mata elang?”
“Ya, dia adik ku.” Penjelasan Embun pagi membuat Rea makin bingung. Buku itu telah membawanya ketempat yang tak dia kenal dan lebih aneh lagi dia bisa mengerti dan berbicara dalam bahasa indian.
“Kamu pasti hadiah dari langit seperti yang diramalkan nenek Sungai teduh.”
“Hadiah dari langit? Apa maksudmu?”
“Nenek sungai teduh waktu itu meramalkan kalau akan ada seorang wanita yang dihadiahkan dari langit untuk membantu suku kami.” Perkataan Embun pagi sama sekali tak dimengerti oleh Rea. Rea pun meminta Embun pagi untuk membawanya menemui peramal itu. Menurut Rea mungkin peramal itu bisa menjelaskan bagaimana caranya kembali kedunianya.
“Tapi kamu harus ganti pakaian mu dulu. Baju mu seperti milik para wajah pucat. Penduduk desa pasti tak akan suka.” Belum sempat Rea bertanya, Embun pagi telah pergi dan tak lama kemudian kembali dengan membawa pakaian untuk Rea. Saat Rea melihat Embun pagi memberikannya sebuah baju dan rok, Rea segera menolaknya. Dari kecil dia tidak pernah mau mengenakan rok apalagi sekarang. Hal itu membuat Embun pagi tertawa. Tapi kemudian dia pergi lagi dan kembali dengan sebuah celana. “Ini celana Mata rajawali. Kelihatannya cocok dengan ukuranmu.”

Mereka lalu pergi ketempat dimana nenek Sungai teduh tinggal. Embun pagi mengucapkan salam dari luar dan nenek Sungai teduh pun menyuruh mereka masuk. Rea melihat nenek Sungai teduh dengan terkejut. Wajah keriput itu adalah wajah yang sama dengan wajah nenek penjual buku. Serta merta Rea langsung bertanya.
“Nek, apa maksud semua ini?”
“selamat datang dinegeri kami nak. Tenang saja semua akan baik – baik saja.”
“Tapi bagaimana saya bisa kembali kedunia saya?”
“kamu pasti akan kembali tapi bukan sekarang. Saat perang telah usai, saat itu lah kamu akan kembali. Jalani lah harimu disini dengan bahagia.” Senyum nenek Sungai teduh membuat hati dan pikiran Rea tenang. Dia masih tak mengerti tapi diterimanya juga penjelasan itui.

Hari berganti hari, Rea makin betah tinggal disana. Apalagi penduduk suku indian terlihat ramah. Dia juga semakin akrab dengan Embun pagi dan keluarganya. Adik Embun pagi, mata rajawali yang beranjak remaja juga sangat senang dengan kehadiran Rea. Ayah Embun pagi, Kaki bison adalah kepala suku diperkampungan indian dan ibu Embun pagi, Matahari Jingga adalah ibu yang baik dengan kemampuan meramu obat dan makanan yang hebat pula.
“Rea...namamu susah disebut, bagaimana kalau saya memberimu sebuah nama?”
Suatu hari kepala suku, Kaki bison menanyai Rea.
“tentu saja sangat boleh pak. Saya sangat tersanjung.”
“Hahaha...kamu anak yang baik. Hem...baiklah saya akan memberimu nama Bintang Biru. Itu adalah bintang dilangit yang selalu bersinar saat malam maupun pagi. Saya harap kamu juga demikian. Tetaplah bersinar Bintang biru.”
“Bintang biru...ah nama yang bagus. Terimakasih pak.” Dengan api ungun yang menghangatkan tubuh mereka juga cangkir – cangkir teh mereka merayakan nama baru Rea. Malam itu Rea pun berganti nama menjadi Bintang biru.
Bintang biru selalu mengikuti kemana Embun pagi pergi. Setiap pagi Embun pagi selalu berjalan ke hutan untuk memetik tanaman obat.
“eh...mata Rajawali ada dimana? Mengapa dia tak terlihat pagi ini?”
“para lelaki didesa sedang berburu. Yang tinggal hanya kami para wanita dan anak – anak kecil.” Embun pagi berkata sambil tetap memetik tanaman obat.
“mengapa saya tak diajak? Saya juga ingin merasakan bagaimana berburu itu.” Mendengar perkataan Bintang biru, Embun pagi tersenyum dan memandangi Bintang biru. “kita wanita dan tugas kita adalah memasak dan meramu obat. Jangan remehkan tugas itu. Karena tanpa kita para lelaki tak akan bisa kuat berburu maupun berperang.”
“Tapi bukan kah wanita juga boleh ikut berburu dan berperang. Dan tak ada salahnya lelaki sekali – kali memasak ataupun meramu obat.”
Tawa renyah Embun pagi memenuhi hutan. “Bintang biru, kamu selalu menakjubkan. Saya jadi semakin terarik padamu.” Perkataan Embun pagi membuat Bintang biru bersemu. Dia menyukai Embun pagi tapi Bintang biru tak berani mengungkapkannya. “kalau begitu nanti setelah Ayah pulang, kamu bicara lah padanya. Ayah terlihat sangat menyukaimu mungkin dia akan mengizinkanmu ikut berburu. Nah, tanaman obatku sudah cukup, ayo kita pulang.” Embun pagi langsung menggandeng tangan Bintang biru yang membuat Bintang biru kelabakan. Setelah bisa menguasai diri, mereka pun berjalan pulang.

“hahaha....kamu memang anak yang aneh Bintang biru. Ya, baiklah kamu boleh ikut berburu tapi dengan syarat kamu harus bisa menguasai cara berburu. Mata rajawali ajari Bintang biru cara menombak, memanah dan cara berburu yang paling baik.” Mata rajawali mengangguk dan Bintang biru pun terlihat senang.
Maka setiap pagi Bintang biru pun berlatih. Berulang kali Bintang biru melakukan kesalahan dan hal itu membuat Embun pagi dan Mata rajawali tertawa.
“Hei gadis manis, jangan tertawa saja. Ayo kalo bisa kamu juga memanah.” Bintang biru alias Rea langsung menyodorkan busur pada Embun pagi. Embun pagi menolak tapi karena tantangan Bintang biru dia pun bergerak. Dan ternyata Embun pagi bisa memanah. Kedipan nakal dihadiahkannya untuk Bintang biru yang terpelongoh kaget. “jangan kaget kak. Kak Embun pagi juga ikut berlatih saat saya dilatih oleh ayah.” Mendengar penuturan Mata rajawali membuat Bintang biru geram, dikejarnya Embun pagi yang telah berlari dengan mengejeknya. Mata rajawali hanya tertawa melihat tingkah laku kedua kakaknya itu. Embun pagi berlari memasuki hutan dan tak berapa lama kemudian Bintang biru berhasil menyusulnya dan menangkap Embun pagi. Dilingkarkan tangannya kepinggang Embun pagi.
“Kamu sudah tak bisa lari lagi.” Tawa cekikikan Embun pagi membuat Bintang biru juga ikut tertawa. Tiba – tiba Embun pagi berbalik sehingga dia sekarang berhadapan dengan Bintang biru. Keduanya saling memandang dengan tangan Bintang biru yang masih melingkar dipinggang Embun pagi.
“Bintang biru...apakah kamu akan tetap disini?”
“Ya...aku akan tetap disini.” Hembusan napas Bintang biru menghangatkan wajah Embun pagi. Mereka saling menatap dan tanpa aba – aba kedua nya mendekatkan wajah mereka. Bibir mereka bertemu. Ciuman manis dan hangat Bintang biru membuat Embun pagi merasakan keindahan yang sangat. Mereka berpelukan dan berciuman lama.

Bintang biru semakin betah tinggal diperkampungan indian, apalagi gadis yang dicintainya juga mencintainya. Mereka terlihat bahagia. Tapi kebahagian itu dikagetkan dengan berita perang.
“Kulit pucat sudah kurang ajar. Mereka masuk dan ingin menguasai wilayah kita. Hal itu tak bisa dibiarkan. Ayo kita usir mereka dari tanah kita.” Malam itu Kaki bison sang kepala suku berteriak dengan marah. Para lelaki yang ada didesa juga ikut bersemangat. Bintang biru tahu kulit pucat yang dimaksud adalah orang – orang Eropa yang datang dan bermaksud menguasai wilayah indian. Perang pun terjadi. Para wanita dan anak kecil menunggu dengan cemas dirumah.
“Kita tak bisa berpangkuh tangan begitu saja. Ayo kita bantu pak Kaki bison dan Mata rajawali.” Bintang biru berkata pada para wanita yang tinggal didesa.
“Kita tak bisa berbuat apa – apa Bintang biru.” Ibu Embun pagi berkata dengan lirih.
“Tidak, kita bisa. Ayo semua yang mau ikut dengan ku. Yang bisa mengunakan tombak bawalah tombak, yang bisa memanah bawa lah busur dan yang bisa meramu obat bawalah obat untuk menyembuh kan para lelaki hebat kalian.”
“Ya, Bintang biru benar, ayo kita pergi.” Embun pagi pun menyetujui usul Bintang biru. Maka beberapa wanita muda dan juga gadis – gadis didesa itu pun berangkat menuju medan perang. Diperkampungan hanya tinggal wanita tua dan anak – anak kecil. Benar saja dugaan Bintang biru, para lelaki terlihat terluka tanpa ada yang merawat. Para wanita pun segera turun tangan. Perang semakin memakan banyak korban. Bintang biru sedih menyaksikan teman – teman yang dikenalnya menjadi korban. Tapi meskipun kalah dari jumlah maupun senjata, suku indian tak gentar.
“Ini bukan soal kalah atau menang, tapi kami ingin mempertahankan tanah leluhur kami.” Ucapan Kaki bison membuat semangat para prajurit suku indian makin berkobar semangatnya.

Akhirnya perang usai. Kekalahan diterima pihak suku indian. Jumlah korban yang jatuh tak sedikit. Korban dari kulit putih juga banyak. Kulit putih mengajukan genjatan senjata dengan syarat pihak suku indian mundur dan mereka akan diberikan sebuah wilayah yang luas. Semula pihak suku indian menolak tapi karena tak ingin ada lebih banyak korban lagi, Kaki bison menyetujui usul itu.
Mereka kembali ketanah kelahiran mereka bercampur dengan suku – suku indian lain yang telah dipukul kalah oleh kulit putih. Walau kalah, semangat para suku indian tak surut. Mereka bangkit dengan segera dan melakukan kegiatan sehari – hari dengan biasa.
Bintang biru menjadi takut dengan ramalan nenek sungai teduh, dia akan kembali kedunianya setelah perang usai. Kegelisahan yang sama juga melanda Embun pagi. Dia tak ingin kekasihnya pergi, tapi dia tak bisa merubah takdir. Entah mengapa pagi ini kedua orang itu terlihat suram. Bintang biru merasa hari ini lah dia akan kembali dan sepertinya Embun pagi juga merasakannya.
“Bintang biru ku, kamu akan pulang.”
“Tidak disini lah rumahku, rumah dimana ada kamu Embun pagi.” Perkataan Bintang biru sama sekali tak bisa membuat Embun pagi tenang.
“kamu tahu kan hari ini saatnya.” Mata sendu Embun pagi membuat hati Bintang biru sakit. Dipeluknya gadis yang dicintainya itu.
“Berjanjilah, kita akan bertemu dan bersatu.” Ucap lirih Embun pagi.
“Ya, aku berjanji Embun pagi. Jaga dirimu. Aku sangat mencintaimu.”
“saya juga sangat mencintaimu.” Mereka saling berciuman dan perlahan Bintang biru menghilang. Embun pagi hanya bisa menangis melihat kekasih hatinya menghilang dalam pelukannya.



Rea terbangun dengan posisi terbaring diatar tempat tidur. Matanya basah dan Rea tahu semua yang dialaminya bukan mimpi. Rea bangkit dan mencari buku itu, tapi buku itu telah menghilang. Bau tubuh Embun pagi masih melekat tajam. Rea hanya bisa termenung. Baju indian nya pun Rea simpan dengan rapi. Walaupun sedih Rea berusaha bangkit. Dia ingin setegar suku indian yang kuat. Hari – hari Rea pun berjalan kembali seperti semula.
Suatu minggu tiba – tiba Rea dikejutkan dengan bunyi ketukan pintu. Rea pun membuka pintu dan lebih terkejut lagi dengan sosok wanita yang mengetuk pintunya.
“Hai….saya tetangga baru.”
“oh….hai.” wajah wanita itu sangat mirip dengan Embun pagi.
“nama saya Adis. Ini the jahe sebagai salam perkenalan.” Lagi – lagi perkataan wanita itu membuat Rea kaget. Tapi Rea segera menguasai keadaan.
“Rea. Salam kenal dan silahkan masuk” Rea dan wanita itu pun masuk kedalam rumah Rea dengan senyum bahagia yang melekat dibibir Rea.

1 komentar: