Sekarang tinggal Pras, Semi dan Sita berpikir apa yang harus
mereka lakukan selanjutnya. “Sialan. Emangnya kita lagi bikin film apa!” Semi
bersungut kesal. Dia merasa jalannya selalu dihalangi.
“Sebaiknya kita segera ke TPA terdekat, mungkin truk sampah yang
mengangkut patung Anju sekarang sudah sampai di TPA.” Semi menyetujui ide Pras.
Mereka pun pergi ke TPA terdekat. Setelah melihat tumpukan sampah yang
bergunung – gunung, Semi tambah pusing. “Gila! Dari mana kita harus memulai
mencari! Banyak banget sampah – sampah disini.”
“Saya bisa merasakan Anju berada disini. Dekat tapi sepertinya
tertutupi sesuatu.” Ucapan Sita membuat Pras dan Semi langsung memandangi Sita.
“Tunggu dulu, jadi kamu tahu dimana Anju berada?”
“Ya, tapi kita harus jalan dulu. Aku tak dapat melihat langsung
dimana Anju berada tapi aku bisa merasakannya.”
“Oke, ayoo kita mulai.” Pras memberi aba – aba, dan mereka pun
mulai berjalan. Keduanya mengikuti Sita yang berjalan di depan. Pemulung –
pemulung yang sedang mengais – gais tumpukan sampah melihat kedatangan mereka
dengan heran tapi ada pula yang tak perduli.
“Sudah dekat.” Sita memberitahu Semi dan Pras. “Itu disana, di
dalam karung lelaki itu.” Tunjuk Sita pada seorang pemulung yang memang membawa
karung dan alas pengais sampah. Mereka segera mendekati pemulung itu.
“Maaf Pak, apa bapak tadi menemukan patung india?” tanpa basa –
basi Semi langsung bertanya. Si pemulung melihat dengan curiga kemereka. “Kalo
iya emang nya kenapa?”
“Tadi tanpa sengaja pembantu kami membuang patung india itu. Itu warisan
dari kakek kami.”
“Jadi maksud kalian ini patung kalian? Enak saja! Aku yang
nemukan. Jangan ngaku – ngaku.”
“Gini Pak, kami tak bermaksud merebut patung itu. Kami hanya ingin
agar patung itu kembali. Nenek kami sangat menyayangi patung itu karena itu
patung hadiah dari kakek kami. Em...begini saja, kami beli patung itu dari
bapak biar bapak tahu kami tak bermaksud jahat.” Pras berbohong agar pemulung
itu tak marah. Tadi dia sudah melihat beberapa pemulung melirik kearah mereka
dan kalau bapak itu marah dan berteriak, mungkin teman – teman sesama pemulung
tidak akan segan – segan menghajar Pras dan Semi. Si pemulung tampak berpikir. Semi
diam saja karena dia yakin Pras bisa diandalkan dalam negosiasi ini. Sita menunggu
dengan tegang.
“Beli? Hemmm......boleh. lima ratus ribu!” Semi sudah akan protes
tapi Pras menggeleng dan dalam diam Pras memberi isyarat agar Semi tak
terpancing emosi.
“Kami tidak ada uang segitu Pak. Lagipula patung itu memang
berharga bagi kami, tapi kalau bapak jual mungkin tak lebih dari lima ribu. Karena
itu hanya patung souvenir waktu kakek ku ke India. Kami hanya bisa membayar
lima puluh ribu.”
“Jangan bohong! Kalau tak mau bayar ya sudah.”
“Terserah bapak. Hari ini bapak bisa mendapat lima puluh ribu tapi
kalau bapak menolak, mungkin rejeki bapak hanya lima ribu ditukang loak nanti.”
Pras mengajak Semi berjalan pergi. Mereka meninggalkan bapak itu. Sita mengikuti
mereka sambil tetap berpaling kebelakang. Cemas kalau Anju tidak bisa mereka
selamatkan. Pemulung itu didekati temannya. Dia sepertinya bertanya pada
temannya. Mereka bercakap – cakap dalam suara rendah dan tak sampai sepuluh
langka Semi dan Pras berjalan, si pemulung memanggil mereka dan segera berlari
menuju mereka.
“Ya sudah. Sini uang lima puluh ribunya.” Pemulung itu berkata
sambil mengeluarkan patung Anju dari karung. Pras pun segera meraih dompet dan
melakukan tukar menukar dengan pemulung itu. Sita terkesiap melihat patung Anju
yang terlihat kotor. Dia menangis haru akhirnya bisa bertemu Anju lagi.
Di ruang tamu Semi, kini Sita dan Anju berdiri dihadapan mereka. Mereka
terlihat bahagia.
“Terima kasih Semi, terima kasih Pras. Saya sudah mendengar cerita
perjuangan kalian demi menyatukan saya dan Sita. Terima kasih banyak.”
“Sama – sama. Senang rasanya sudah bisa menolong kalian.” Pras
tersenyum pada Sita dan Anju.
“Eh, ngomong – ngomong, patung kalian harus dikembalikan ke India
atau kalian mau kami yang menyimpannya?” pertanyaan Semi membuat Sita melirik
ke Anju dan anggukan Anju memberi kode pada Sita untuk menjawab pertanyaan
Semi.
“Sudah kami putuskan, tolong bakar patung kami. Ini sudah saatnya
kami lahir kembali. Terlalu lama kami mengembara di dunia ini. Mungkin ini
jalan yang Kuasa tunjukan agar kami meninggalkan bumi.”
Mendengar itu tentu saja Semi dan Pras kaget. “Maaf kalau kalian
merasa perjuangan kalian menyatukan kami tidak kami hargai, bukan itu. Kami sangat
berterima kasih pada kalian. Tapi ini lah saatnya. Tolong bakar patung kami
bersama.” Anju meminta maaf tapi Pras dan Semi tak marah. Mereka menghargai
keputusan Anju dan Sita.
“Tidak apa – apa. Ini keputusan kalian. Dan mungkin ini yang
terbaik. Kalau kalian masih dipatung mungkin suatu saat bakal dicuri lagi.”
Semi berkata disertai anggukan Pras.
Sore itu, di halaman belakang rumah Semi Pras dan Semi menyiapkan
api didalam tong besar. Mama Semi semula heran tapi Semi beralasan ingin
membakar tumpukan – tumpukan majalah dan buku – buku yang sudah tak terpakai
lagi.
“Terima kasih Semi, terima kasih Pras. Sekali lagi terima kasih.”
Sita mengenggam tangan Semi dan Pras.
“Aku tidak tahu apakah reinkarnasi itu benaran ada, tapi aku
berharap kalian akan lahir kembali sebagai suami istri.” Semi berkata dengan
haru.
“Kami juga berharap demikian. Kalian orang yang baik. Mudah –
mudahan dikehidupan kami yang selanjutnya kita bertemu lagi.” Anju juga ikut
mengenggam tangan mereka.
Sita memandangi Semi lama. “Semi, semoga dikehidupan selanjutnya
kamu bisa menjadi anak ku lagi.”
“Dulu aku adalah Arjun?”
“Ya Semi, disalah satu kehidupanmu kamu pernah berada dirahim
saya.” Mendengar itu Semi langsung menangis dan memeluk Sita. “Maaf, aku tidak
tahu itu.” Sita mengelus kepala Semi. “Tidak, kamu tak seharusnya meminta maaf.
Saya senang bisa berjumpa denganmu. Senang melihatmu tumbuh besar. Berjanji lah,
jika lahir kembali, jadilah anak kami.”
“Ya, saya mau. Saya berjanji.” Semi juga meraih Anju dan memeluk
mereka berdua.
“Kadang hidup yang kita rencanakan tidak bisa kita duga apa yang
bakal terjadi. Yang Kuasa telah mempertemukan kita, ini lah mujizat dariNya. Selamat
tinggal Semi dan Pras. Baik – baik lah kalian.” Setelah berkata begitu Anju
meminta Pras segera membakar patung mereka. Patung tanah liat mereka pun
terbakar bersama api. Perlahan – lahan bara api yang panas melumat kedua patung
itu sampai hancur dan menjadi abu.
Pras menghapus airmata Semi. “sudah, jangan sedih lagi. Sita dan
Anju sudah bahagia.”
“iya.” Semi dan Pras kemudian berjalan masuk kedalam rumah.
“eemmm....Pras, kalau seandainya aku dilahirkan sebagai seorang
pria apa kamu bakal mencintai aku juga?” pertanyaan Semi membuat Pras
tersenyum.
“Hem....gimana ya. Ya tergantung sih kamu ganteng apa enggak.”
“Wiihhh.....dasar.” Semi langsung mencubit lengan Pras tapi Pras
malah tertawa ngakak dan meraih kepala Semi. Dia mendaratkan kecupan dikepala
Semi.
“Ya, aku bakal mencintaimu, siapapun kamu.” Ucapan Pras membuat
pipi Semi bersemu merah. Karena merasa malu Semi langsung melepaskan tangan
Pras dari kepalanya.
“Ada Mama di rumah. Nanti kena marah. Weeek.....” Semi langsung
berlari meninggalkan Pras tapi Pras masih bisa melihat semu merah di pipi Semi
yang belum lenyap. Senyum bahagia terbentuk di wajah Pras.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar